Masa Kemerdekaan
Hari Buruh Nasional kembali dirayakan sejak kemerdekaan. Pada tanggal 1 Mei 1946, sejarah saat hari buruh mencatat di Kabinet Sjahrir adalah alasan diperbolehkan merayakan adanya Hari Buruh, bahkan menganjurkannya.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 juga memerintahkan bahwa setiap 1 Mei, para buruh boleh untuk tidak bekerja. Undang Undang juga memerintahkan perlindungan anak dan hak wanita sebagai pekerja. Adanya undang-undang ini memicu aksi para buruh pada 1 Mei.
Pada tanggal 19 Mei 1948, ratusan bahkan ribuan petani dan buruh mogok kerja menekankan untuk pembayaran upah yang tertunda. Aksi ini juga banyak memicu terjadinya aksi aksi lainnya. Pemogokan buruh terhenti saat Perdana Menteri Mohammad Hatta membuat pertemuan dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) pada tanggal 14 Juli 1948
Setelah 2 tahun, pada 1950, para buruh meminta kembali haknya, yaitu Tunjangan Hari Raya (THR). Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No. 1 Tahun 1951, adalah awal dari keterlibatan militer dalam isu perburuhan.
Masa Orde Baru
Dalam sejarah tercatat hari buruh saat Orde Baru, merayakan hari buruh sangat dilarang karena sama persis seperti aktivitas dan paham komunis.
Pada tahun 1960, buruh digantikan dengan istilah karyawan dimasa kini. Karyawan berasal dari 2 suku kata yaitu Karya (Kerja) dan -Wan (Orang).
Masa Reformasi
Pada saat masa Reformasi, hari buruh dirayakan kembali di banyak kota secara rutin, dan membawa berbagai persyaratan mulai dari kesejahteraan sampai penghapusan system alih daya. Legalisasi konvensi ILO No. 81 tentang kebebasan berserikat buruh di reformasikan pertama kali oleh BJ Habibie sebagai presiden saat itu.
Pada Tanggal 1 Mei 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadikan hari buruh sebagai hari libur nasional. Hingga bergantinya tahun ke tahun, tanggal 1 Mei dijadikan ajang menuntut hak hak para buruh, dari pembayaran upah yang tertunda, upah yang layak sesuai jam kerja, hak cuti untuk wanita hamil dan haid, sampai Tunjangan Hari Raya (THR).