Saat saya menulis artikel ini, saya menemukan artikel lain yang mengeluhkan kondisi parkir RSUD Dr Soetomo Surabaya. [Klik pada tautan] Dalam artikel tersebut dikeluhkan kenaikan tarif parkir dari 3000 ke 4000 rupiah. Meski pada artikel juga disebutkan tentang tujuan kenaikan tarif parkir yakni demi mengarahkan konsumen khalayak ke angkutan umum karena hasil perbandingan dengan negara lain, namun dalam hemat saya masih sangat perlu dikaji lagi karena ketersediaan moda angkutan dan kondisi yang menyertainya. Apakah kondisi sekitaran RSUD Dr Soetomo juga seperti negara lain?
Saat ini kondisi angkutan umum di sekitaran RSUD Dr Soetomo tak seperti di masa lalu, dimana sekarang moda seperti angkot/mikrolet makin langka dan trayek bus hanya mengarah ke satu terminal tujuan---itu pun bukan terminal antar-kota. Bus kota Semanggi hanya mengarah ke Keputih sedangkan untuk tarifnya tidak mengakomodir mereka yang hanya mempunyai uang tunai. Angkot/mikrolet mungkin lebih cocok buat mereka yang sakit namun berdana cekak seperti saya saat itu dimana standar tarif mereka terukur lebih murah untuk kisaran jarak lebih jauh dibandingkan ojek dan taksi daring. Namun keberadaan angkot ini rupanya tergerus oleh dominasi ojek dan taksi daring sehingga susah didapati pada malam hari lagi, tidak seperti satu dasawarsa lalu.
Dengan kemungkinan tujuan serupa---yakni mengarahkan pada angkutan umum, pada Bulan Februari lalu mami saya sempat dirawat di RSUD Sidoarjo, dimana kondisi serta keberadaan angkutan umum di sana malah lebih parah dan lebih konyol lagi: trayek angkutan umum diharuskan untuk lewat Pasar Larangan yang berada satu blok di belakang RSUD Sidoarjo, ketimbang memudahkan khalayak untuk dapat mencegat angkutan umum di depan bangunan rumah sakit. Jadinya, pasien atau keluarga pasien mesti berjalan sekitar seperempat hingga setengah jam dari kompleks RSUD hanya untuk memberhentikan angkutan umum. Sangat tidak praktis dan tidak efektif untuk kondisi umumnya orang.Â
Di RSUD Dr Soetomo ini meski arus angkutan umum masih bisa dijangkau lewat depan rumah sakit, namun keberadaannya terbilang sangat langka di malam hari saat posisi saya sebagai wali pasien mendapat pengganti. Saya tak menemukan moda angkutan umum selain bus Semanggi selama hampir sejam berada di sekitaran halte. Yang banyak BUKAN TRANSPORTASI UMUM seperti tujuan penetapan aturan tarif parkir, tapi lebih ke angkutan privat macam taksi baik daring/luring---dan ojek daring. Mudah tapi tidak murah.
Dan perlu diingat jika RSUD Dr Soetomo Surabaya ini juga merupakan rujukan dari rumah sakit luar kota juga tak hanya dari dalam kota Surabaya. Pasien sebelah namun sekamar (FYI, kami beberapa kali pindah kamar) malah berasal dari Sidoarjo dan Pasuruan. Apakah moda transportasi umum lokal di daerah tersebut juga sebaik di Surabaya? Bagaimana bila ada pasien berasal dari sudut kabupaten yang terpencil dimana akses moda angkutan umumnya sulit? Setidaknya jika keputusan soal tarif parkir ini mengarahkan ke moda angkutan umum, perlu dipikirkan juga kondisi di kabupaten lainnya. Bukan hanya dalam kota Surabaya, karena pasien juga berasal dari luar kota.
Perbandingan Kondisi Parkir Rumah Sakit
Dalam kurun waktu hitungan hari, saya menjadi pengguna jasa parkir dua rumah sakit berbeda karena kondisi kesehatan mami saya (disamping keinginan efektivitas) yang mengharuskan demikian. Disebut sebagai efektivitas, karena kondisi dan keberadaan pendukung yang terbatas selain juga karena keterbatasan dana (untuk wira-wiri pulang). Di luar itu, ada pertimbangan lain: saya hanya berdua tinggal serumah dengan mami saya. Jadi juga berpikir jika membawa sepeda motor tersebut cenderung 'lebih aman' ketimbang meninggalkannya di rumah tanpa pengawasan; karena tak ada siapapun lagi---kecuali tetangga dengan urusannya masing-masing. Ditambah, selain kami tak mempunyai CCTV pemantau, perumahan kawasan tempat tinggal saya agaknya masih tergolong daerah rawan.
Saya belum mencantumkan pada paragraf sebelumnya jika saya juga ditarif banyak saat motor masih berada di RS Royal Surabaya. Meski begitu saya tak begitu mempermasalahkannya karena di sana ADA PERTIMBANGAN TERTENTU. Saat mami saya akan dirujuk ke RSUD Dr Soetomo Surabaya, saya minta izin untuk pulang sebentar ke dokter di RS Royal Surabaya. Praktis, saat itu tak ada seorang pun mendampinginya sebagai wali pasien. Namun pada saat itu jarak tempuh dari rumah (dengan motor) kurang-lebih hanya sekitar 10-15 menit, jadi posisi saya bisa dikesampingkan sejenak. Saya mesti membawa pulang pakaian kotor atau beberapa benda lain disamping mami saya membutuhkan selimut dan beberapa barang, selain membersihkan badan karena mami saya diantar ke sana dalam kondisi gawat, saya tak terpikir untuk membawa barang apapun.
Saya pulang dengan ojek daring, sedangkan saya kembali ke rumah sakit Royal Surabaya menggunakan sepeda motor demi menghemat waktu---tak menunggu lama akan kedatangan dan fleksibilitas: bisa bolak-balik jika ada yang ketinggalan.
Meskipun demikian, saya tak bisa menggunakan sepeda motor itu saat mami saya diantar dengan mobil Ambulans karena harus ada satu pendamping keluarga di dalam Ambulans.
Sopir Ambulans tadi juga memberi wejangan jika saya baru bisa dan sebaiknya mengambil motor bila mami saya sudah mendapat kamar di RSUD Dr Soetomo, lepas dari kamar IGD. Singkatnya, motor kemudian terpaksa saya tinggal dan menginap di RS Royal Surabaya.
Jadi, saat saya berada di RSUD Dr Soetomo pun sepeda motor masih terparkir di RS Royal Surabaya. Motor tadi baru bisa saya ambil saat mami saya sudah mendapat kamar khusus buat perawatan pasien paru selama beberapa hari, dimana saat itu ada pengganti posisi saya sebagai pendamping/wali pasien yakni adik saya dan suaminya, selama semalam. Pada saat pengambilan motor (kata staf penjaga pintu keluar parkir RS Royal Surabaya), mestinya saya terkena tarif sebanyak Rp. 55.000 untuk jangka waktu 4 hari parkir. Namun ada pertimbangan potongan biaya Rp 40.000,- jika disertai laporan tentang sebab-musababnya. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku.