Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengapa Saya Mengantar Ibu Saya ke Pengadilan untuk Bercerai?

24 Juni 2022   17:00 Diperbarui: 28 Juni 2022   02:49 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
credit tertulis pada watermark.

Disclaimer: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membuka aib atau apapun namanya, namun dibuat untuk tujuan klarifikasi atas berbagai hal yang terjadi di masa lalu yang imbasnya terasa dan berjalan hingga jauh sesudahnya. Di lain pihak, karena saya sendiri yang mengantarkan ibu saya ke pengadilan (bukan pengadilan agama namun pengadilan umum); saya memperoleh tekanan juga dari sikap saya tersebut. Dari keluarga. Juga dari lingkungan sekitar. Poin 'mengapa' ada di akhir artikel.

Tulisan ini dibuat segamblangnya, dengan setransparan mungkin, dengan sudut pandang sayaapa yang saya lihat dan berusaha memahami situasi dari hal yang simpang-siur dalam keluarga saya (dengan masih orangtua sebagai kepala dalam susunan teratas), dibuat sebagai pembelajaran juga karena masukan dari beberapa teman. 

Jika tulisan ini diibaratkan pisau, sedari awal tulisan ditujukan untuk memotong serta menguliti sesuatu yang selama ini tersembunyi di dalam yang (agaknya) sikap yang kasatmata dan terlihat secara keseharian berhasil disalah-artikan oleh sebagian orang di sekeliling, termasuk anggota keluarga sendiri.

*

Sampai keributan terakhir orangtua yang saya tau, saya pikir itu juga tak akan terselesaikan. Karena seperti yang sudah-sudah, komunikasi tidak berjalan dua arah. 

Ketika ibu saya mengajak saya untuk ke KUA kemudian, saya masih membutuhkan beberapa waktu untuk berpikir ke depannya. Hingga akhirnya saya mengiyakannya. 

Mungkin agak aneh jika pasangan Katolik mengurus perceraian ke Pengadilan Agama; karena selain secara umum sebuah perceraian tidak diakui, seharusnya kanal yang pas adalah Pengadilan Negeri. 

Namun ibu saya bersikeras karena dokumen yang dipunya hanyalah bukti nikah secara Islam di KUA Wonokromo setelah sebelumnya diantar ke KUA Pepelegi. 

Dan itupun perlu bolak-balik juga; namun agaknya tak membuat lemah ibu saya (yang saya heran) karena biasanya sering mengeluh jika berkendara jauh apalagi saat itu hanya bersepeda motor.

Selama ini ibu saya meminta diuruskan surat pemberkatan di gereja (karena pada akhirnya ibu saya memeluk Katolik dari sebelumnya Islam). Namun hingga saat terakhir menuju ke pengadilan itu surat pemberkatan gereja itu tak kunjung diurus dengan alasan, "itu hanya buat formalitas". 

Jadi selama menikah, surat resmi dari pihak gereja itu tak pernah ada wujudnya. Baru setelah resmi ada gugatan di pengadilan, bapak saya kelimpungan mengurusnya; yang digunakan sebagai bukti bahwa keduanya diberkati pernikahannya di gereja.

Yang saya pikirkan hanya satu: mengantar ibu saya menuju ke pengadilan sama dengan memisahkan dua orang yang sudah tak sejalan---yang hal ini dilandasi karena satunya sudah terlalu tinggi ego dan bersifat toxic dan hanya menguras energi salah satunya. 

Ditambah lagi minimnya rasa saling mempercayai dan berkembangnya kecurigaan satu sama lain di dalam kehidupan rumah tangga. Ketika saya baru pulang (tadinya saya kerja dan indekos sendiri namun disuruh pulang untuk membantu usaha orang tua---bapak saya mengaku kewalahan dengan pembeli) dan melihat mayoritas waktu keseharian ibu saya dihabiskan untuk rebahan di tempat tidur, saya sudah merasa ada yang tak beres karena di masa lalu saya juga mengalami dan melakukan itu demi membuat saya merasa nyaman sendiri karena sangat tertekan.

Banyak tidur sepulang kerja juga membantu saya memulihkan diri dari berbagai peristiwa buruk masa lalu yang terbawa hingga jauh ke depan. 

Belakangan ibu saya mengaku depresi meski sebelumnya saya sudah menduganya. Hingga kini sulit mengembalikan beban psikis ke titik normal karena serangkaian trauma masa lalu yang belum pulih.

Di keluarga hal komunikasi tadi memang sering tersendat. Penjelasan selalu disanggah tanpa sempat selesai mengutarakan maksud, dan pihak yang berkomunikasi tidak mau menerima pemikiran dari pihak lain. Terutama bapak saya selalu menghindar saat ibu saya ingin bicara atau mengajak perhitungan tentang suatu rencana bersama.

Saya pikir hal ini bukan hal yang sehat. "kakean cangkem! (jw: banyak mulut)" begitu yang terlontar dari bapak saya jika anggota keluarga lainnya ingin menjelaskan dengan gamblang. Padahal masing-masing yang mengemukakan pendapat tentu ada alasannya, namun keengganan mendengar ini bertambah parah tiap tahunnya.

Secara umum, bapak saya salah maksud dan salah paham tentang penerapan istri sebagai 'kanca wingking' dari falsafah jawa. Bahwa peran istri harusnya sejajar dan tidak timpang. 

Hal ini berbeda dengan keseharian dimana bapak saya mendominasi keputusan yang sulit mengakui pemikiran lainnya. Beberapa 'musyawarah keluarga' yang beberapa kali dilakukan pun jika dirunut agaknya bukan untuk berusaha menampung pemikiran dari anggota keluarga lainnya namun lebih ke arah mengarahkan hasilnya ke pemikiran satu-dua orang saja.

Sialnya, saya juga merasa malas berkomunikasi dengan bapak saya berdasarkan berbagai pengalaman yang lalu karena minimnya kesediaan mendengarnya.

Apalagi yang terngiang sejak kecil adalah 'anak jangan membantah orang tua karena durhaka' dan inilah awalnya mengapa tak ada komunikasi yang baik antara anak dan orangtua hingga dewasa. Dari semuanya, akhirnya saya juga sedikit acuh dengan semua yang terjadi meski itu berkurang setelah dewasa. 

Bahkan komunikasi bapak dengan ibu saya sebagai istri yang juga mempunyai pemikiran lain juga jarang akan baik-baik saja; yang kemudian memicu berbagai masalah karena pengambil keputusannya tidak memandang sisi/faktor lain.

Salah satu contohnya (yang kemudian diingatkan oleh adik saya karena saya sendiri sudah lupa) adalah bapak saya 'bagi-bagi uang' kepada penduduk desa masa kecilnya dulu karena merasa sudah berkecukupan, namun tidak melihat lagi pontang-pantingnya ibu saya mengatur keuangan dan untuk kebutuhan sehari-hari saja cenderung pas-pasan. 

Saudari bapak saya keceplosan berterima kasih pada ibu saya karena tanpa bapak saya, keuangannya mungkin sudah bangkrut. Dimana keluarga dari saudari bapak saya tersebut kurang bisa mengelola keuangan karena edukasi keluarganya dan dirinya sendiri. 

Akhirnya, kebutuhan untuk meminjam uang (namun aslinya lebih ke minta uang) itu pun sering terjadi. Namun bantuan bapak ke saudarinya ini pun tanpa persetujuan ibu saya.

Dan itulah yang membuat ibu dan adik saya sangat kecewa. Karena hasil tabungan dan uang yang terkumpul tidak jelas hitungannya dan rupanya dipergunakan untuk membantu saudari bapak saya. 

Padahal rumah dan tanah kakek/nenek (orang tua bapak) pun tidak luput dari incaran akan kebutuhan uang yang seakan tak ada batasnya namun tak mempunyai ilmu mengelola yang baik. Rumah dan tanah yang luas (karena perangkat desa) di sebuah desa Jawa Tengah itu mereka jual.

Tak hanya uang dari pendapatan hasil toko, namun juga merambah lainnya. Semacam waktu transfer (di awal-awal, toko keluarga dibantu supplier kenalan adik saya dengan sistem konsinyasi atau membayar jika ada hasil atau titip jual barang) yang seharusnya tepat waktu guna merawat kepercayaan; selain itu adik saya berhasil mengumpulkan uang gaji kerjanya dan dibelikan perhiasan seperti kalung. Itu pun disuruh menjual guna membantu keuangan saudari bapak saya. Tak hanya kalung emas milik adik, namun juga kalung emas ibu saya.

Hingga terakhir pasca keputusan pengadilan itu, adik saya bilang: "lha iya, punya anak segitu banyak ko bodo semua." Mungkin maksudnya bukan karena minimnya kemampuan berpikir atau tak berpendidikan formal, tapi lebih karena tak bisa membantu keuangan keluarganya dan sebaliknya, masih menggantungkan kehidupan perekonomiannya kepada keuangan orangtuanya meski telah berkeluarga.

Di sisi lain, bapak saya menuduh ibu saya sering membuat keributan dengan tetangga meski kenyataannya keluarga sering didatangi oknum tetangga pengganggu. 

Mulai dari mengklaim barang yang dipinjam sebagai miliknya sendiri, suka mengincip makanan tetangga langsung dari pancinya, utang tak dibayar, kesalahpahaman berasal dari penggunjingan, hingga minta bantuan melerai anaknya yang ribut. Ada lebih banyak tetangga yang tidak mempunyai permasalahan dengan keluarga (terlebih ibu saya) ketimbang segelintir yang mempunyai gangguan kepribadian tersebut sehingga tuduhan tadi agaknya kurang valid.

*

Kembali ke hal persidangan di atas; bahkan pos mediasi yang merupakan pra-pengadilan dimana pihak yang berselisih mempunyai kesempatan/kemungkinan berdamai (dan tidak jadi bercerai) pun bapak saya bungkam. 

Padahal jika merunut masalahnya cukup pelik. Sehingga sesi tanya-jawab yang seharusnya menjadi medio klarifikasi dan kemungkinan rekonsiliasi ini tak berhasil. 

Hanya, yang disayangkan adalah bapak saya selalu menjawab pertanyaan yang diajukan kepada ibu saya; sedangkan ibu saya hanya senyum saja saat itu melihat gelagat demikian. Karena selalu seperti itu, maka sesi mediasi ini tak menghasilkan apa-apa disebabkan tak ada keterangan yang bisa ditengahi.

Entah apakah bapak saya berpikir masalah mesti dipendam ("mikul dhuwur mendhem njero"---Jawa: menjunjung tinggi-tinggi memendam dalam-dalam) namun seperti yang ditulis di awal tulisan ini, masalah-masalah tersebut akhirnya tak terselesaikan. 

Jika adik ipar saya melihat sumber masalah ini adalah uang, maka uang yang mungkin dimaksudnya malah akhirnya menjadi tambah berantakan sepeninggal saya dari rumah (demi nge-kos sendiri) hanya merupakan imbas dari miskomunikasi tadi. Karena ada superioritas dan egoisme serta campur tangan pihak-pihak lain yang seharusnya tidak ada dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga.

Hingga akhirnya semua mesti dibuka di pengadilan. Saya tak bisa berbohong jika selain masalah internal serta salah kaprah pemikiran, ada peran pihak ketiga yang ikut campur keputusan dalam keluarga; yang saya maksud sebagai peran pihak ketiga ini bukan perselingkuhan namun lebih ke pihak yang tidak tahu apapun namun ikut berkomentar sehingga masalah tidak menjadi lebih mudah jalan keluarnya tetapi malah sebaliknya.

Kita yang menjalani, namun orang lain yang bebas berkomentar

Karena kesibukan kerja selain urusan sendiri serta ingatan dan keterangan yang belum terkumpul, maka kisah berikut tak terlaporkan dalam lembar yang diserahkan kepada pihak pengadilan (namun lebih ke rangkuman saja yang diungkapkan secara lisan di ruang sidang). Begitu juga saat klarifikasi mencari solusi yang berlangsung secara tertutup di lingkungan.

Misalnya, saudari bapak saya selalu bilang "wong lanang ko ora nyekel duit" (jw: orang laki masa nggak pegang uang...". Karena hal demikian maka keluarga lalu memutuskan uang sirkulasi toko usaha dipegang seluruhnya oleh bapak saya. 

Kekeliruan fatal, karena di masa lalu pernah demikian dan perekonomian menjadi hancur disebabkan bapak saya kurang bisa 'memegang uang' dan berhemat. Saat keputusan itu diambil, saya masih nge-kost sendiri di daerah Surabaya Barat.

Ditambah lagi: yang belanja dan memasak di rumah adalah ibu saya. Jadi besarnya kebutuhan secara pas jika pemasukan sedang ramai dan sepi bisa disesuaikan dengan banyaknya belanja harian atau bulanan. Sedangkan uang belanja tetap hanya bisa baik saat pendapatan selalu tetap dan stabil seperti saat menjadi karyawan pabrik dengan gaji tetap.

Termasuk saat tetangga yang repot dalam membenahi keadaan rumah tangganya sendiri namun tidak melihat bahwa orang lain juga mempunyai kebutuhan. 

Anak tetangga ini selalu ribut dan bertengkar dimana bapak saya selalu dipanggil untuk melerai mereka berdua. Dan keributan anak ini pun seperti tidak kenal waktu. 

Usaha toko keluarga yang merupakan satu-satunya pendapatan bagi keluarga ini (tentu saja lainnya mempunyai pemasukan sendiri, namun masing-masingnya juga mempunyai kebutuhan pribadi) membutuhkan jam buka yang mesti teratur. 

Pagi buka jam 06.00 hingga pukul 13.00 lalu dilanjut pukul 17.00 sore hingga 21.00 malam. Di sela-selanya adalah waktu istirahat (tidur siang) yang harus selalu rutin kecuali di saat-saat libur untuk berbenah rumah hingga mencuci baju. 

Nah saat istirahat tidur siang ini pun sering terganggu oleh kehadiran tetangga yang mengambil kunci saat dititipkan pagi (yang mengapa tidak digandakan sendiri) atau bila anaknya ribut butuh bantuan melerai ini. 

Terkadang untuk istirahat sangat susah (hingga dibantu dengan meminum obat tidur yang seharusnya tak boleh terganggu atau diganggu), dan ketika istirahat dengan meminum obat tidur ini terganggu, maka efeknya adalah pusing di kepala serta kelesuan badan. 

Yang minum obat ini terutama adalah ibu saya; dan disebabkan fisik dan psikisnya melemah karena kondisi tersebut maka lama-kelamaan menjadi tertekan serta susah untuk membantu menjaga toko dan melayani pembeli lagi dimana sebelumnya bergantian dengan bapak saya.

Dan tak hanya saat istirahat saja, karena saat membutuhkan bantuan di dapur atau saat ramai pembeli bapak saya malah sibuk mengurusi kisruh anak tetangga.

Ibu dan saya (tadinya saya masih di rumah sebelum nge-kost sendiri) berpendapat bahwa bapak saya tidak dapat membantu secara terus-menerus karena minimnya kapasitas disamping membutuhkan tangan profesional seperti psikolog (ibu saya keliru menyebutnya spisikolog) yang lebih kompeten disebabkan situasinya sudah cukup genting karena salah seorang dari dua bersaudara tadi hingga berurusan dengan polisi.. 

Ibu saya yang membutuhkan bantuan dari orang lain di dapur dan pekerjaan rumah tangganya, tidak mendapat respons yang baik sehingga memilih berhenti  sementara dan niat protes pun tidak tertanggapi dengan baik. 

"Engko tak urusane dewe! (jw: nanti akan saya urusi sendiri)" ketika kami membicarakan itu dan hendak menegur yang bersangkutan. Padahal komunikasi oleh bapak saya ke tetangga tadi terkait masalah tersebut---dari yang diraba oleh keluarga---pun tak pernah dilakukan karena ewuh-pakewuh dengan orang lain. Mau diputusi ditegur sendiri dibilang 'melangkahi kepala keluarga'. Tapi pas yang bersangkutan ditegur beberapa kali dari halusan (ibu menegur jika masalah keluarga mesti dibereskan dalam keluarga itu) hingga 'to the point' agaknya dipotong malah ganti dinasehati macam-macam dan dibilang jika anak yang bertikai dan bermasalah tadi 'cocok dengan bapak saya'.  

Alangkah sia-sianya berbicara jika menghadapi makhluk dengan ego terlalu tinggi untuk sekadar mendengar.

Hingga kejengkelan yang memuncak tadi berbuah pertengkaran lain yang kemudian disalahpahami dan diputar-balik seakan ibu saya cemburu jika bapak saya dekat dengan tetangga. Pasalnya sering saat dibutuhkan demi pekerjaan rumah, mencari uang atau melayani pembeli, bapak saya menghilang karena berjam-jam sibuk dengan urusan tetangga.

"Mami (saya dan keluarga akhirnya selalu memanggil dengan sebutan mami pasca pacar kakak saya yang pernah ke rumah) ko tau kalo dibilang cemburu?"

"Lho mami kan ditegur orang lingkungan"

Alangkah kurang ajar, tidak juga merasa jika keluarga orang lain mempunyai kesibukan dan kebutuhan sendiri, malah menggunjingkan orang lain hanya berdasar asumsi sendiri yang kelihatan jelas tidak berwawasan dan tidak tau permasalahan serta ketidaksanggupan berpikir divergen dalam menganalisa yang sebenarnya. Childish. 

credit tertulis pada watermark.
credit tertulis pada watermark.

Sementara entah bagaimana curhat bapak saya kepada tetangga, tetapi tetangga satu lingkungan yang lain bisa berkomentar begini, "mungkin bersalah dengan Tuhan". 

Terang saja ibu saya heran, tetangga bermasalah yang datang mengapa ibu saya yang dianggap bersalah dengan Tuhan? Jika orang-orang bermasalah tadi tidak datang tentunya habis perkara. Bukannya orang itu sendiri yang bermasalah dengan Tuhan sehingga kacau hidupnya dan mengganggu keluarga lain?

Namun pendapat 'mungkin bersalah dengan Tuhan' ini dipegang oleh bapak saya. Jadinya seperti orang buta menuntun orang buta. Tetangga ini buta karena tidak mengetahui situasi dan kondisi yang pas di dalam keluarga namun perkataannya malah dijadikan acuan oleh bapak saya yang buta karena perspektif dan pemahaman yang keliru.

Saya sendiri juga beranggapan bahwa tidak semua hal bersifat ketuhanan atau berhubungan dengan iman. Kadang orang agamis ini mempunyai alasan konyol dengan membenturkan antara 'Tuhan' dan 'selain Tuhan'. Tentu saja ini logika sesat (logical fallacy) dan keimanan serta pikiran logis adalah sama pentingnya, setara dan dapat sejalan berdampingan. 

Ilmu pengetahuan pun juga berkembang sejak dunia beranjak jauh dari masa kegelapan dimana iman dan ketuhanan adalah jawaban untuk semua hal. Segala hal kemudian diteliti dan dicari solusi atau penyebabnya: Bagaimana alasan 'kerasukan' atau 'tanpa rahmat' menjadi sangat tidak ilmiah dibandingkan 'kejatuhan mental' (drop)  dengan sebab-sebab khusus. 

Kerasukan tadi tetap adalah fenomena dan fakta, namun persoalan atau hal mental juga ada. Dewasa ini bisa dikatakan bahwa 'semua hal ada ilmunya', yang ilmu ini pun menjadi bagian dari belajar-mengajar di tingkat dasar hingga perguruan tinggi. 

Dalam hal ini saya juga melihat bahwa hubungan dan komunikasi relasi antar-manusia serta antar-keluarga itulah yang menjadi penyebab dasarnya. Saya bukan pakar psikologi, namun sekelumit pernah mencermati buku-buku, kehidupan orang lain serta kehidupan keluarga saya sendiri.

Dan berhubungan dengan kalimat tersebut, saya melihat pernyataan "mungkin bersalah dengan Tuhan" atau menyimpulkan dengan basis dikotomi antara ketuhanan dan bukan ini pun disebabkan karena kurang dapat mengurai faktor penyebab, latar belakang serta pemikiran yang kurang mengenali permasalahan disebabkan kurangnya asupan akan wawasan. Baik informasi tentang ilmu dan informasi tentang yang terjadi di keluarga saya (dari orangtua).

Maka, ketika ibu saya merasa semuanya sudah tidak sanggup bisa ditahan dan dipendam lagi, jalan terakhir mengantar ke pengadilan agama itulah yang ditempuh. Meski yang diketahui ibu saya kemudian adalah langkah yang ditempuh keliru jalur (karena mestinya ke pengadilan umum).

Namun bagaimanapun, semuanya sudah telanjur terjadi dan keinginan ibu saya bercerai dari pribadi yang membelenggu akhirnya terlaksana; bukan oleh terkabulnya putusan cerai oleh pengadilan agama tersebut, namun disebabkan oleh kematian: bapak saya meninggal setahun lalu.

credit tertulis pada watermark
credit tertulis pada watermark

Tentang detail mengapa saya menuliskan semua ini, disebabkan:

1. Klarifikasi dan meluruskan hal yang simpang siur dan banyak hal tak terjelaskan, bahwa bukan soal uang yang terutama namun komunikasi yang tidak tepat dan banyak kesalahpahaman disebabkan keengganan mendengar dan kekeliruan memilah disamping disebabkan beberapa hal lain.

2. Adanya tuduhan saya menista agama, karena sebagai Katolik bukan menuju ke pengadilan umum namun malah ke pengadilan agama; karena selain disebabkan keterbatasan bukti yang dimiliki (bahkan perselisihan tadi tetangga sekitar pun tak tahu karena tertutup rapat), ditambah hal lain yakni kengototan ibu saya untuk bercerai. Ibu saya berpikiran, jika perihal pengadilan tadi sudah selesai, maka akan diurus juga yang berkaitan dengan gereja. Namun sebelum itu terealisasi, bapak saya menolak untuk diproses terus disebabkan malu dan menganggap bahwa percerian itu sah. Hingga bapak meninggal karena sakit pun, ibu dan saya masih bergantian (juga adik dan ipar saya yang kala itu tinggal bersama) merawat dan membantunya menerima asupan serta obat.   

Selain itu, saksi selain keluarga (tetangga) yang dihadirkan dalam persidangan sudah pasti tak tahu apapun selain kehadiran mereka agaknya cukup menguatkan posisi bapak saya bila 'tak ada perselisihan apa-apa' di keluarga. Padahal kenyataannya hanya kurang dapat mengenali masalah.

3. Adanya tuduhan bahwa saya mengantar cuma untuk mengejar warisan. Hanya, saya sendiri beranggapan ketimbang harus berebut warisan, saya lebih bisa berdikari bekerja dan tinggal sendiri saat itu. Ibu menolak saya pergi karena merasa tidak ada yang bisa memahaminya.

4. Rembetan peristiwa masa lalu ini panjang. Diantaranya adalah adanya kekacauan di peringatan 40 hari meninggalnya bapak saya disebabkan ibu saya berniat mengusir oknum yang membuatnya sakit hati, selain digunjingkan dengan orang satu lingkungan juga karena kekisruhan dan pertengkaran di masa lalu yang berawal dengan kedatangan tetangga tersebut demi kebutuhannya sendiri tanpa berusaha memahami posisi dan kondisi orang lain. Luka batin itu belum pulih.

Nanah yang meradang dan menganga akibat kemarahan dipendam dan terpaksa disembunyikan itu mengakibatkan lemah jantung yang hingga kini membutuhkan obat untuk meredakan dada yang sesak. Obat dalam arti harfiah karena ibu saya bergantung obat yang dibeli dari apotik untuk menjaga stabilitas kesehatannya.

Gejala jantung ini juga membuat dokter Adrianus (dokter kenalan dari adik saya) melihat jika penyebabnya diakibatkan oleh faktor psikis yang kemudian disangkal oleh bapak saya---dengan memotong dan menyanggah jawaban ibu saya untuk pertanyaannya. Mengobati nanah itu pun membutuhkan waktu. Dan tidak bisa instan. 

Selama ini saya yang tinggal hanya berdua serumah dengan ibu saya menyadari bagaimana sulitnya mengajak bangkit seseorang yang jatuh dalam kubangan luka dalam itu. Saya pun akhirnya hanya bisa berusaha memahami.

5. Karena didikan orang tua dan kondisi saya sendiri yang menerima perundungan dari lingkungan sekitar selama bertumbuh-kembang dan mengalami berbagai hal membuat saya lebih lancar menulis ketimbang berkata lisan. Dalam kenyataannya, ada orang yang pintar berdebat dan kemampuan saya berpikir turun drastis jika harus adu mulut. Kelebihan dari menulis seperti ini membuat banyak orang mesti membaca hingga selesai dari keterangan serta pemikiran saya tanpa bisa memotongnya di tengah-tengah pengungkapan. Jika ingin menyanggah, sanggahlah dengan artikel supaya di kemudian hari saya bisa membacanya juga.

6. Tulisan ini dibuat dengan sejujurnya, dan ditulis untuk pencegahan sesuatu yang entah terjadi kelak (atau tidak---saya pun tidak tahu) jika dibutuhkan sebagai referensi atau ketika ada yang terlupa bila saya harus bercerita kembali tentang penyebab awal keretakan yang dimulai sejak lama namun tak kunjung ada solusi yang memadai dan segala permasalahan tadi hanya mencoba dilupakan dan dipendam. Mungkin juga (jika bisa), mencegah perceraian Anda dan seseorang dekat Anda jika memiliki penyebab serupa atau terkait.

Tulisan ini tidak juga bertujuan untuk framing bahwa bapak saya adalah figur yang buruk sepenuhnya, bagaimananapun tiap orang mestinya juga mempunyai sisi baik dan buruk. Yang tidak disadari bapak saya adalah, permasalahan yang sama tadi datang lagi berulang-ulang di kemudian hari tanpa ada penyelesaian yang baik.

*

Sebenarnya ada masih banyak tentang permasalahan dan renik yang belum diungkap disini, namun dari sekelumit ini semoga ada yang mengambil hikmahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun