Anak tetangga ini selalu ribut dan bertengkar dimana bapak saya selalu dipanggil untuk melerai mereka berdua. Dan keributan anak ini pun seperti tidak kenal waktu.Â
Usaha toko keluarga yang merupakan satu-satunya pendapatan bagi keluarga ini (tentu saja lainnya mempunyai pemasukan sendiri, namun masing-masingnya juga mempunyai kebutuhan pribadi) membutuhkan jam buka yang mesti teratur.Â
Pagi buka jam 06.00 hingga pukul 13.00 lalu dilanjut pukul 17.00 sore hingga 21.00 malam. Di sela-selanya adalah waktu istirahat (tidur siang) yang harus selalu rutin kecuali di saat-saat libur untuk berbenah rumah hingga mencuci baju.Â
Nah saat istirahat tidur siang ini pun sering terganggu oleh kehadiran tetangga yang mengambil kunci saat dititipkan pagi (yang mengapa tidak digandakan sendiri) atau bila anaknya ribut butuh bantuan melerai ini.Â
Terkadang untuk istirahat sangat susah (hingga dibantu dengan meminum obat tidur yang seharusnya tak boleh terganggu atau diganggu), dan ketika istirahat dengan meminum obat tidur ini terganggu, maka efeknya adalah pusing di kepala serta kelesuan badan.Â
Yang minum obat ini terutama adalah ibu saya; dan disebabkan fisik dan psikisnya melemah karena kondisi tersebut maka lama-kelamaan menjadi tertekan serta susah untuk membantu menjaga toko dan melayani pembeli lagi dimana sebelumnya bergantian dengan bapak saya.
Dan tak hanya saat istirahat saja, karena saat membutuhkan bantuan di dapur atau saat ramai pembeli bapak saya malah sibuk mengurusi kisruh anak tetangga.
Ibu dan saya (tadinya saya masih di rumah sebelum nge-kost sendiri) berpendapat bahwa bapak saya tidak dapat membantu secara terus-menerus karena minimnya kapasitas disamping membutuhkan tangan profesional seperti psikolog (ibu saya keliru menyebutnya spisikolog) yang lebih kompeten disebabkan situasinya sudah cukup genting karena salah seorang dari dua bersaudara tadi hingga berurusan dengan polisi..Â
Ibu saya yang membutuhkan bantuan dari orang lain di dapur dan pekerjaan rumah tangganya, tidak mendapat respons yang baik sehingga memilih berhenti sementara dan niat protes pun tidak tertanggapi dengan baik.Â
"Engko tak urusane dewe! (jw: nanti akan saya urusi sendiri)" ketika kami membicarakan itu dan hendak menegur yang bersangkutan. Padahal komunikasi oleh bapak saya ke tetangga tadi terkait masalah tersebut---dari yang diraba oleh keluarga---pun tak pernah dilakukan karena ewuh-pakewuh dengan orang lain. Mau diputusi ditegur sendiri dibilang 'melangkahi kepala keluarga'. Tapi pas yang bersangkutan ditegur beberapa kali dari halusan (ibu menegur jika masalah keluarga mesti dibereskan dalam keluarga itu) hingga 'to the point' agaknya dipotong malah ganti dinasehati macam-macam dan dibilang jika anak yang bertikai dan bermasalah tadi 'cocok dengan bapak saya'. Â
Alangkah sia-sianya berbicara jika menghadapi makhluk dengan ego terlalu tinggi untuk sekadar mendengar.