Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengapa Saya Mengantar Ibu Saya ke Pengadilan untuk Bercerai?

24 Juni 2022   17:00 Diperbarui: 28 Juni 2022   02:49 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
credit tertulis pada watermark

Hingga kejengkelan yang memuncak tadi berbuah pertengkaran lain yang kemudian disalahpahami dan diputar-balik seakan ibu saya cemburu jika bapak saya dekat dengan tetangga. Pasalnya sering saat dibutuhkan demi pekerjaan rumah, mencari uang atau melayani pembeli, bapak saya menghilang karena berjam-jam sibuk dengan urusan tetangga.

"Mami (saya dan keluarga akhirnya selalu memanggil dengan sebutan mami pasca pacar kakak saya yang pernah ke rumah) ko tau kalo dibilang cemburu?"

"Lho mami kan ditegur orang lingkungan"

Alangkah kurang ajar, tidak juga merasa jika keluarga orang lain mempunyai kesibukan dan kebutuhan sendiri, malah menggunjingkan orang lain hanya berdasar asumsi sendiri yang kelihatan jelas tidak berwawasan dan tidak tau permasalahan serta ketidaksanggupan berpikir divergen dalam menganalisa yang sebenarnya. Childish. 

credit tertulis pada watermark.
credit tertulis pada watermark.

Sementara entah bagaimana curhat bapak saya kepada tetangga, tetapi tetangga satu lingkungan yang lain bisa berkomentar begini, "mungkin bersalah dengan Tuhan". 

Terang saja ibu saya heran, tetangga bermasalah yang datang mengapa ibu saya yang dianggap bersalah dengan Tuhan? Jika orang-orang bermasalah tadi tidak datang tentunya habis perkara. Bukannya orang itu sendiri yang bermasalah dengan Tuhan sehingga kacau hidupnya dan mengganggu keluarga lain?

Namun pendapat 'mungkin bersalah dengan Tuhan' ini dipegang oleh bapak saya. Jadinya seperti orang buta menuntun orang buta. Tetangga ini buta karena tidak mengetahui situasi dan kondisi yang pas di dalam keluarga namun perkataannya malah dijadikan acuan oleh bapak saya yang buta karena perspektif dan pemahaman yang keliru.

Saya sendiri juga beranggapan bahwa tidak semua hal bersifat ketuhanan atau berhubungan dengan iman. Kadang orang agamis ini mempunyai alasan konyol dengan membenturkan antara 'Tuhan' dan 'selain Tuhan'. Tentu saja ini logika sesat (logical fallacy) dan keimanan serta pikiran logis adalah sama pentingnya, setara dan dapat sejalan berdampingan. 

Ilmu pengetahuan pun juga berkembang sejak dunia beranjak jauh dari masa kegelapan dimana iman dan ketuhanan adalah jawaban untuk semua hal. Segala hal kemudian diteliti dan dicari solusi atau penyebabnya: Bagaimana alasan 'kerasukan' atau 'tanpa rahmat' menjadi sangat tidak ilmiah dibandingkan 'kejatuhan mental' (drop)  dengan sebab-sebab khusus. 

Kerasukan tadi tetap adalah fenomena dan fakta, namun persoalan atau hal mental juga ada. Dewasa ini bisa dikatakan bahwa 'semua hal ada ilmunya', yang ilmu ini pun menjadi bagian dari belajar-mengajar di tingkat dasar hingga perguruan tinggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun