Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengapa Saya Mengantar Ibu Saya ke Pengadilan untuk Bercerai?

24 Juni 2022   17:00 Diperbarui: 28 Juni 2022   02:49 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahkan komunikasi bapak dengan ibu saya sebagai istri yang juga mempunyai pemikiran lain juga jarang akan baik-baik saja; yang kemudian memicu berbagai masalah karena pengambil keputusannya tidak memandang sisi/faktor lain.

Salah satu contohnya (yang kemudian diingatkan oleh adik saya karena saya sendiri sudah lupa) adalah bapak saya 'bagi-bagi uang' kepada penduduk desa masa kecilnya dulu karena merasa sudah berkecukupan, namun tidak melihat lagi pontang-pantingnya ibu saya mengatur keuangan dan untuk kebutuhan sehari-hari saja cenderung pas-pasan. 

Saudari bapak saya keceplosan berterima kasih pada ibu saya karena tanpa bapak saya, keuangannya mungkin sudah bangkrut. Dimana keluarga dari saudari bapak saya tersebut kurang bisa mengelola keuangan karena edukasi keluarganya dan dirinya sendiri. 

Akhirnya, kebutuhan untuk meminjam uang (namun aslinya lebih ke minta uang) itu pun sering terjadi. Namun bantuan bapak ke saudarinya ini pun tanpa persetujuan ibu saya.

Dan itulah yang membuat ibu dan adik saya sangat kecewa. Karena hasil tabungan dan uang yang terkumpul tidak jelas hitungannya dan rupanya dipergunakan untuk membantu saudari bapak saya. 

Padahal rumah dan tanah kakek/nenek (orang tua bapak) pun tidak luput dari incaran akan kebutuhan uang yang seakan tak ada batasnya namun tak mempunyai ilmu mengelola yang baik. Rumah dan tanah yang luas (karena perangkat desa) di sebuah desa Jawa Tengah itu mereka jual.

Tak hanya uang dari pendapatan hasil toko, namun juga merambah lainnya. Semacam waktu transfer (di awal-awal, toko keluarga dibantu supplier kenalan adik saya dengan sistem konsinyasi atau membayar jika ada hasil atau titip jual barang) yang seharusnya tepat waktu guna merawat kepercayaan; selain itu adik saya berhasil mengumpulkan uang gaji kerjanya dan dibelikan perhiasan seperti kalung. Itu pun disuruh menjual guna membantu keuangan saudari bapak saya. Tak hanya kalung emas milik adik, namun juga kalung emas ibu saya.

Hingga terakhir pasca keputusan pengadilan itu, adik saya bilang: "lha iya, punya anak segitu banyak ko bodo semua." Mungkin maksudnya bukan karena minimnya kemampuan berpikir atau tak berpendidikan formal, tapi lebih karena tak bisa membantu keuangan keluarganya dan sebaliknya, masih menggantungkan kehidupan perekonomiannya kepada keuangan orangtuanya meski telah berkeluarga.

Di sisi lain, bapak saya menuduh ibu saya sering membuat keributan dengan tetangga meski kenyataannya keluarga sering didatangi oknum tetangga pengganggu. 

Mulai dari mengklaim barang yang dipinjam sebagai miliknya sendiri, suka mengincip makanan tetangga langsung dari pancinya, utang tak dibayar, kesalahpahaman berasal dari penggunjingan, hingga minta bantuan melerai anaknya yang ribut. Ada lebih banyak tetangga yang tidak mempunyai permasalahan dengan keluarga (terlebih ibu saya) ketimbang segelintir yang mempunyai gangguan kepribadian tersebut sehingga tuduhan tadi agaknya kurang valid.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun