Tulisan ini menyambung tulisan sebelumnya, ditambah dengan berawal dari kejengkelan saya berkeliling mencari uang koin atau recehan. Karena dalam beberapa waktu, hal ini terasa lebih sulit dari yang saya perkirakan. Di samping itu, ada keanehan tertentu saat melihat sebagian orang di negeri ini memperlakukan uang seperti halnya sebuah barang yang dijual di pasar. Dan saya melihat ini tidak seperti sesuatu yang adil: sesuai UU masyarakat diharuskan menggunakan uang rupiah untuk transaksi, namun masyarakat umum harus membeli rupiah tadi lebih tinggi daripada nilai yang seharusnya.
Sebagai contoh di hampir semua marketplace besar. Tak hanya hitungan puluhan namun hingga ukuran karton. Tak hanya yang mulus seperti digunakan untuk seserahan mahar atau cinderamata atau lainnya namun juga yang burik dan lebih cocok buat uang kembalian. Silakan dicek.
Seorang ibu bahkan menanyakan kepada saya berapa uang koin yang akan dihargai jika dia akan tukarkan ke saya karena sekian waktu juga mengumpulkan uang logam kembalian. Terus terang saya kaget dengan pertanyaannya, yang lalu saya jawab saja; sesuai nominalnya. Jika 10 keping 500an maka akan dihargai 5000,-. "Oh begitu." Dia menjawab santai saja; namun perasaan saya berkata ada indikasi seakan berharap lebih. Meskipun pengamen dan mbak yang pernah tukar pun saya beri tips sekadarnya sebagai imbalan saya menghargai usahanya dalam pengumpulan uang koin tadi. Namun ini pun bukan termasuk 'harga resmi' bahwa saya akan selalu menambah berapa persen dari jumlah nominal keseluruhan yang diberikan tadi. Bukan.
Jika saya bilang, hal ini lebih parah dari penimbunan sembako macam minyak goreng atau pupuk untuk petani. Karena semahal-mahalnya minyak goreng atau sembako, secara umum kita tak dapat menggunakannya untuk membayar barang lain. Kecuali kita mengenal dekat penjual yang kita ajak transaksi dengan sistem barter tersebut. Karena barter semacam ini sangat riskan, terutama saat di pasar ada banyak penjual dan pembeli dengan potensi kecurangannya masing-masing. Barang merek A misalnya, di pasaran kita bisa jumpai antara ORI (original), KW Super, KW1 hingga KW entah tingkatan kualitasnya. Dan yang demikian mungkin akan mengaburkan batas mana yang asli dan palsu. Bahkan masakan pun ada yang berbahan B tapi ditulis A.
Kembali ke topik awal yakni uang koin. Sebagaimana fungsinya sebagai alat pembayaran yang sah, keberadaannya cukup krusial menyangkut kebutuhan masyarakat. Khususnya mereka yang belum tersentuh uang elektronik yang lebih mudah ditransfer atau dikondisikan jika kita menggenggam gadget/gawai. Bahkan mereka yang sering bertransaksi dengan uang digital ini pun masih juga diketahui menyimpan atau mengumpulkan recehan karena seringnya mereka bersinggungan dengan pedagang kecil, tukang parkir, polisi cepek dan lain-lain.
Seperti yang saya tulis pada artikel sebelumnya, saat ini saya harus mengelola (lebih tepatnya terpaksa) toko alat tulis kecil milik ortu di seberang sekolah (SMPN) pasca meninggalnya bapak saya. Dan kebutuhan akan uang koin ini cukup banyak serta rutin, karena harga alat tulis ini akan terasa mahal jika dibuat kelipatan 500,- tidak seperti rokok yang mungkin tak terlalu signifikan untuk tiap kenaikan sebesar 500,-. Belum seberapa lama saya mengelola toko tersebut, ada bantuan dari pengamen serta ibu-ibu yang kebetulan mempunyai (mengumpulkan) uang kembalian dalam jumlah cukup banyak. Namun karena kebutuhan cukup tinggi, uang koin tersebut pun lebih cepat habis.
Urutannya begini: jika uang pecahan 1000,- habis, maka akan butuh koin lima-ratusan cukup banyak disebabkan untuk mencapai nilai seribu sama dengan 2 x 500,-. Uang pecahan 500,- inipun cukup cepat berkurang yang akan segera diikuti uang pecahan 100,- serta 200,-. Butuh 5 x 100,- untuk menjadikannya setara dengan 500,-. Tapi uang pecahan 2000,- yang diterbitkan belakangan malah cukup banyak dan mudah didapatkan di pasaran. Uang dengan nominal tersebut biasanya mengumpul di tukang parkir (motor) baik pinggir jalan maupun ruko.
Seorang satpam Bank A menyambut saya di pintu masuk sambil menanyakan perihal kedatangan saya. Setelah saya ungkapkan jika saya mencari uang koin/recehan, satpam tersebut menyarankan saya supaya datang di kisaran waktu 09.00-12.00 dengan memberi alasan selama ini banyak yang menukarkan uang receh pada jam sekian.
Namun jam segitu adalah waktu krusial, jam sekolah masih aktif dan waktu pulang sekolah ada di kisaran 11.00-12.00 (jam sekolah lebih pendek disebabkan masih pandemi dan sekolah masih ujicoba masuk 100%yang beberapa minggu lalu kembali sepi disebabkan PPKM dan ada beberapa siswa di beberapa sekolah terindikasi Covid19). Jadi waktu lengangnya mungkin hanya ada pada Hari Jumat disebabkan siswa-siswi sekolah pulang di bawah jam 11.00 dan merupakan hari kerja terakhir banyak bank. Saat saya kembali ke bank tersebut pukul 11.00 pada hari Jumat, statusnya terulang; kembali tidak ada. Dan kesemuanya tak bisa dipastikan kapan tersedianya.
Mengapa bukan hari lain? Saya hanya tinggal serumah berdua dengan ibu saya dan di usianya yang hampir 70 ini kurang bisa membantu keseharian mengelola toko. Jadinya, serabutan harus melakukan apa saja, kemana saja, dengan uang yang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bisa dibayangkan kondisi saat tulisan ini tayang dan hampir dua tahun kolaps karena pandemi, serta disebabkan hal lain.
Karena saya pernah langsung menuju kantor BI di daerah Tugu Pahlawan Surabaya. Hasilnya, ditolak satpam disebabkan uang recehan dan pecahan kecil tadi sudah didistribusikan ke bank umum. Jadi jika berkebutuhan pun harusnya bisa langsung ke bank umum tadi. Dan karena itu pulalah, beberapa waktu lalu saya hingga berkeliling ke beberapa bank di beberapa kantor cabang baik kecil dan besar. Dari bank swasta saya diarahkan ke bank BUMN; dari yang saya punya rekeningnya hingga yang tak pernah jadi nasabah di sana. Dari kantor cabang pun diarahkan untuk menuju bank yang lebih besar. Namun hasilnya nihil. Hingga saya mencoba menghubungi humas BI dan beroleh kabar dari BI via email jika dulu ada keberadaan mobil keliling yang mengakomodasi penukaran uang kecil yang dihentikan sementara selama pandemi. Akibatnya, cukup memusingkan untuk sementara waktu itu (kurang lebih dua-mingguan) dan setelahnya mesti bergantung lagi pada pengamen keliling.
Beberapa tahun lalu sempat viral, banyak netizen yang keberatan hingga mengecam dan membuat MEME serta berbagai status atau twit jika uang kembalian diganti permen itu buruk. Namun apakah mereka juga mengecam penjualan uang koin baik yang mulus (untuk seserahan mahar dan lain-lain) atau yang bopeng, burik dan sejenisnya hanya untuk kembalian? Belum lagi akan uang koin dan receh yang dilempar ke kolam entah untuk cari peruntungan, atau iseng dilebur menjadi logam dan dilubang atau diubah bentuk menjadi cincin dan lain sebagainya.Â
Harapan saya, jika sembako macam minyak goreng mempunyai satgas untuk operasi pasar di lapangan demi mengontrol persediaan berbanding kebutuhan; seharusnya peredaran uang yang masih berlaku dan digunakan (sebelum diganti oleh terbitan yang lebih baru) ini juga dipantau. Karena mereka bukan golongan numismatik atau pecinta uang kuno dan langka, namun sudah mengambil untung besar terhadap mata uang kecil dan lumayan susah ditemukan di tingkat menengah; yang seharusnya tersebar merata di masyarakat tetapi hanya tertimbun di segelintir pencari keuntungan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H