Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Nganu, Saya Mau Ngomongin Kebutuhan Listrik (dan Perangkat)

26 Maret 2019   10:31 Diperbarui: 26 Maret 2019   10:54 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konektivitas. Gambar oleh Pixabay/TheDigitalArtist

Beberapa tahun lalu, ada seorang kawan K ngomongin (menulis) tentang peralatan yg terus tertancap ke steker/colokan listrik akan tetap menyedot daya meskipun kecil. 

Perangkat rumah tangga ini mencakup TV, speaker, mini-WIFI, AC, dsb. Banyak dari perangkat ini sengaja dibiarkan tetap tertancap untuk memudahkan pengguna dalam menyalakannya---hanya tinggal mengambil remote control dan tombol 'power'. Namun hal ini secara akumulatif (dari ribuan rumah dan pengguna) memang menyedot listrik yang tidak sedikit bila dikalkulasi. 

Tentu hal ini tidak sejalan dengan semangat 'eco-friendly' yakni mengurangi ketergantungan listrik demi membuat lingkungan lebih baik. Karena sebagian pembangkit listrik berasal dari sumber 'tidak terbarukan', yang efeknya turut menghangatkan bumi dan memicu perubahan iklim.

Saya sendiri punya kebutuhan tertentu—yang kebetulan saya temukan menjadi satu fitur MotherBoard PC (personal computer) yang saya beli. Yakni fitur anti-pengembunan (dehumidizer) dari salah satu pabrikan motherboard. Tapi pemilik PC harus menancapkan kabel powernya ke listrik dimana PC itu akan menyala sendiri sesuai interval waktu yang kita set untuk menghidupkan kipas. Jadi PC saya akan menyala 12 jam sekali sejak terakhir kali digunakan selama 2 menit. 

Saya merasa beruntung mendapatkan fitur semacam ini karena di masa lalu, MB dan perangkat PC saya hingga berkarat karena tidak dioperasikan selama 2 bulan lebih. Setidaknya fitur anti-pengembunan ini cukup membantu ketimbang bolak-balik harus menyalakan PC secara manual.

Saya pikir kebutuhan listrik disini (selama menancapnya kabel) tidak begitu besar---yang bukannya meremehkan semangat eco-friendly, namun bandingkan dengan penyedotan listrik saat perangkat PC tidak dalam keadaan optimalnya: Misalnya peripheral---misalnya saya secara tidak sengaja membeli cardreader yang buruk (kemampuannya mengkopi kapasitas 32GB dari sebuah SDCard membutuhkan lebih dari 5 jam saat komputer menyala penuh). 

Namun saya kemudian mendapatkan peripheral yang baik meskipun murah, melakukan proses dengan kapasitas tersebut dalam sekian menit saja. Pengguna PC Desktop akan memakan lebih banyak sumber daya dibanding laptop.

Kebutuhan listrik lain yang lebih besar adalah saat pengguna menggunakan modem atau sambungan internet yang buruk. Pengguna lain yang mempunyai sambungan kencang dapat mempersingkat waktu akses mereka ketimbang yang lebih 'misqueen'. 

Sistem ponsel yang mempunyai waktu pengisian daya baterai lebih singkat pun akan mengurangi masalah kelistrikan yang dikeluhkan para penggiat statistik. Sayangnya, perangkat-perangkat dengan kemampuan demikian berbanding lurus dengan harga. 

Mereka yang lebih siap duit untuk meminang koneksi 5G yang terbit sebentar lagi mungkin akan mengantongi beberapa poin pengiritan ketimbang saya yang hanya mempunyai gawai 3G. Harga laptop baru dengan spesifikasi PC gaming atau bidang 'kelas berat' mungkin lebih besar dibandingkan versi PC rakitannya.

*

Di negara maju, komputer adalah salah satu perangkat yg dibiarkan menyala semalaman dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah untuk berbagi berkas/file via P2P torrent. Jadi sistem ini memungkinkan pengguna PC mengunduh berkas secara simultan dari beberapa sumber (PC biasa) melalui aplikasi khusus. 

Bandingkan dengan jika sebuah berkas diletakkan di server oleh situs tertentu yang memang lebih terjamin dan aman (karena biasanya tentu lebih bebas virus atau malware), tapi banyak pengguna---termasuk juga pemilik situs akan terikat aturan-aturan baku bin rumit yang diberlakukan oleh penyelenggara/pemilik server/hosting. 

Belum lagi bila konektivitasnya down atau pada tahap maintenance. Jika melalui torrent, ada banyak komputer personal lain yang dapat berperan sebagai backup jika salah satunya mengalami penurunan performa.

Layanan crowdsourcing berbagi berkas ini memang cukup menguntungkan karena sebagian besar berkas yang dibutuhkan pengguna ada di situ. Malah dari daftar yang ada, kita akan berpotensi mengunduh berkas lain yang terlihat menarik dan melenceng dari tujuan awal pengunduhan. Misalnya sebuah software/program bajakan. 

Biasanya developer software asli hanya memberi tenggang waktu 7-30hari (tergantung kebijakan developer) untuk pengguna yang menggunakan versi trial dari produk mereka meski berfungsi secara penuh. 

Bila ingin penggunaan yang lebih panjang maka harus membeli. Para pemula sering menggunakan software bajakan selain belum ada duit, waktu normal 'icip-icip'nya bisa diperpanjang menjadi selamanya, karena beberapa orang butuh lebih dari 30 hari untuk menguasai workflow sebuah software sekaligus mencari peruntungan rezeki dari situ. Beberapa pengguna yang sadar beralih ke software original meski ada juga yg keenakan karena kenyamanan menggunakan gratisannya.


Kembali ke topik, kebutuhan akan berkas itu pun turut membuat pemilik PC berbagi sumber daya miliknya untuk menyediakan akses berkas yang sama bagi pemilik PC lain. Karena ada satu-satunya aturan di dunia torrent: yakni jangan "hit and run", maksudnya terkoneksi hanya jika ada butuh. Selain installer software, yang banyak diunduh biasanya adalah film.

*

Dan ternyata ada sistem renderfarm yang serupa dengan sistem torrent tadi yakni sekumpulan PC biasa dengan berbagai spesifikasi, saling terhubung untuk melakukan tugas rendering yg dibutuhkan salah satu member dari kumpulan tadi. Rendering adalah sebuah proses komputasi yang dijalankan untuk mendapatkan 'hasil akhir' yang diharapkan. 

Misalnya, bila kita menyunting video dari beberapa video sumber sekaligus lalu ditambah penerapan efek atau pengubahan format file---atau juga bila kita memberikan efek/adjustment untuk foto/gambar kita. Maka ada proses yang berjalan di 'belakang layar' yang disebut sebagai rendering. Istilah ini yang saya tahu memang erat kaitannya pada bidang grafis. Entah pada bidang lain.

Jadi seorang pengguna PC pun akan merelakan sumber daya (maksudnya kemampuan) PC miliknya digunakan untuk kepentingan seseorang/beberapa orang. Imbasnya tentu jika kita membutuhkan sumber daya PC lain buat melakukan hal yang sama. Sistem renderfarm semacam ini jauh lebih murah ketimbang membeli sebuah PC baru dengan spesifikasi tinggi khusus untuk tugas merender. 

Pengeluaran yang terlihat dan tercatatnya, tentu saja adalah biaya listrik dan sambungan internet. Yang keduanya akan sangat mungkin dihindari oleh pengguna internet bersistem kuota atau yang 'misqueen' dan sebagian besar diantaranya ada di negara-negara berflower bergaji pas-pasan.

Lalu siapa pengguna sistem renderfarm ini? Yang saya tahu adalah sekumpulan pekerja grafis sekaligus pengguna software 3D baik gratisan atau berbayar yang terhubung dengan salah satu provider renderfarm. 

Pemrosesan rendering yg sering memakan waktu lebih dari semalam bakal dipercepat menjadi beberapa menit karena banyaknya dukungan perangkat (PC lain). 

Demi menjaga membernya tak lari, para pengguna yang "saling memanfaatkan" pun diganjar sistem poin yang bermanfaat dan bisa digunakan 'pada waktunya' yakni saat ada kebutuhan yg sama.

Bila seorang pejabat atau orang kebanyakan memikirkan mengapa konsumsi listrik perkapita negara maju sangat tinggi, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah "persatuan" dari pemilik PC sekaligus penggiat grafis yang berbagi-pakai-sistem perangkat mereka. Mungkin ada bidang lain juga yang terdapat 'sistem bersama' semacam ini, tapi biarlah ditulis oleh mereka yang lebih tahu dari saya soal kejelasannya.

*artikel ini bukan untuk mengendorse pihak/produk tertentu meskipun terlihat demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun