Saat pertemuan itu saya bilang langsung kepada Mas Wahyu jika mereka mending baikan; saya sendiri tak tahu apa masalah yang menyebabkan hubungan mereka bubrah, namun tetap menjalin pertemanan akan memudahkan saya untuk berkomunikasi dengan keduanya. Dan itu mungkin hanya berlaku jika hubungan mereka baik-baik saja.
Saya rasa disebabkan keduanya adalah Kompasianer, jadi jika aktif berkomunikasi kepada salah satunya mungkin bisa menyebabkan berat sebelah atau malah prasangka: memahami salah satu namun abai memahami lainnya, dalam hal ini Mbak Lin.
Terus terang, saya lebih dulu tahu Mas Wahyu daripada Mbak Lin sebelum mereka berbalas puisi dan kemudian memutuskan menikah.
Saya masih ingat teguran beberapa Kompasianer setelahnya akan puisi keduanya yang dianggap terlalu vulgar untuk ditayangkan, dan saya tak tahu... mengapa kisah 'semerah' itupun bisa kandas.
Tapi desakan saya atas apa yang tidak saya ketahui penyebabnya ini pun mental. Ya, lalu juga berpikir ini adalah masalah privasi mereka berdua juga; jadi kemudian saya membiarkannya begitu saja.
Beberapa bulan kemudian Mas Wahyu menghubungi saya lagi via SMS (atau WA) tentang kedatangannya ke Surabaya. Saya membalasnya, saya tak bisa menemuinya karena hari kerja dimana pemberitahuannya mendadak (dan tak sempat bilang bos saya untuk izin ganti hari kerja). Lalu Mas Wahyu bilang tak mengapa.
Entah, sejak ketemuan tanggal 11 Agustus 2017 di Stasiun Gubeng ini saya berpikir Mas Wahyu membutuhkan teman curhat dan semangat. Saya masih sempat membaca tulisannya tentang Suster Yuni dan beberapa aktifnya di media sosialnya, namun tak sempat kopdar lagi setelahnya.
Selamat jalan Mas Wahyu, terima kasih atas inspirasinya. selamat menempuh hidup baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H