Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Punya Skill? Bagaimana Jika Itu diambil darimu?

12 Agustus 2015   09:00 Diperbarui: 12 Agustus 2015   09:10 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi: Jalan mana yang akan Anda pilih jika terpaksa? image source: high_low_road.jpg/saffrodite"][/caption]

**gambar ilustrasi: Jalan mana yang akan Anda pilih jika terpaksa?
image source: high_low_road.jpg/saffrodite

------------------------------------------------------------------------------------

Pertanyaan pada judul di atas adalah lebih kepada saya sendiri. Sebagai seorang deskomviser, tak mudah bagi saya untuk memperoleh keahlian saya. Disamping kesulitan finansial dan kebutuhan akan durasi waktu yang cukup, saya berkutat dengan banyak kesulitan teknis sepanjang pembelajaran untuk pencapaian tersebut. Meski saya sekarang merasa saya sendiri bukanlah seorang yang sangat ahli.

Saat artikel ini mulai ditulis, saya berpikir dalam-dalam tentang jawaban atas pertanyaan dari judul di atas. Hal ini disebabkan oleh adanya seseorang yang berhasil mengingatkan saya kepada seorang teman di masa lalu dikarenakan kondisi seseorang tadi.

Seseorang yang saya maksud ini adalah seorang pria yang berniat melamar posisi sebagai sopir pada perusahaan tempat saya bekerja (dengan bidang jasa rental mobil; masih perusahaan yang sama saat saya menulis artikel ini [ tautan ]).
Saya tak tahu keistimewaan yang melekat padanya. Tapi kondisinya yang terlihat dan terasa pada saat itu membuat saya terhenyak.

Pelamar kerja sopir tadi datang bersama pengantarnya pada hari Kamis (6/8/2015) saat tengah hari, lalu bertanya tentang lowongan kerja perusahaan yang baru saja dilihatnya melalui surat kabar. Saya adalah satu-satunya yang ada di ruang tamu perumahan yang digunakan sebagai ruang kerja tersebut pada saat itu. Karena itulah, rasanya tak bisa tidak untuk menyambut kedatangan kedua pria tadi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dari balik pintu pagar.

Kemudian saya menyadari bahwa... pengantar tadilah yang sering berkomunikasi dengan saya ketimbang pelamar tersebut. Mengapa bisa begitu? Karena saya melihat pelamar yang berminat kerja sebagai sopir tersebut mempunyai keterbatasan tak terduga. Yaitu tak dapat berbicara jelas dan cenderung tuna wicara. Dia bisa bersuara dan berusaha mengungkapkan sesuatu; tapi saya tak kunjung dapat menangkap apa maksudnya.

Secara keseluruhan saya melihat fisiknya cukup sehat dan tegap. Posturnya sendiri sedikit lebih lebih tinggi dari saya. Saat itu, saya seperti berpikir bahwa pelamar disabilitas tersebut mesti mengalah dari takdirnya. Entahlah, tetapi saya tak dapat membayangkan seorang dengan tuna wicara ini mampu menghadapi orang dengan baik sesuai bidang pekerjaannya. Meski saya menghargai tekad dan semangatnya untuk bekerja yang mungkin lebih dari orang normal pada umumnya. Karena posisi yang dilamarnya mengharuskan berbicara dan berkomunikasi dengan orang lain yaitu klien yang diantarnya. Dengan beberapa orang lain saja dia membutuhkan bantuan 'penerjemah', apalagi dengan klien. Apakah 'penerjemah'nya akan selalu mengantarnya dan menjadi jembatan komunikasi saat bertugas?

Saya membandingkan jabatan seorang sopir (rental mobil) dan jabatan saya sebagai desainer grafis (atau saya menyebutnya sebagai deskomviser—mengikuti perubahan istilah desainer grafis>desain komunikasi visual/deskomvis). Bidang deskomviser ini bersifat relatif. Artinya, di satu perusahaan dia bisa saja bekerja di belakang layar dengan pekerjaan sesuai yang hanya diumpani oleh atasan/bos tanpa adanya pembicaraan dengan 'orang luar' atau klien (macam posisi kerja saya sekarang yang lebih banyak ke arah content writer ketimbang deskomviser). Kalaupun ada komunikasi dengan 'orang luar', yang ada hanya melalui email yang bisa diketik. Tapi terkadang, di perusahaan lain ada deskomviser yang juga dituntut untuk presentasi atau mengkomunikasikan segala sesuatunya dan berhadapan dengan klien yang meminta jasanya. Salah satunya adalah pada biro iklan, event organizer, percetakan atau digital printing.
Pekerjaan seorang sopir (apalagi rental mobil) membutuhkan kecakapan bicara karena merupakan 'pekerjaan lapangan', meskipun dia hanya sebagai kurir. Bagaimana dia bertanya alamat kepada seseorang jika seandainya tersasar alamat?

Saya tak tega untuk menolak dua orang tadi hingga saya mempersilakannya untuk balik demi membawa surat lamaran yang belum dibuatnya. Saya berpikir mudah karena segala keputusan akhir ada di tangan bos saya, juga karena soal menerima atau menolak lamaran calon sopir bukan wewenang saya karena mereka bukan berada di bawah kendali saya. Mereka berniat datang lagi esok harinya yang ternyata ditepati. Namun kali ini datang bersama seorang wanita. Dan seperti yang telah saya duga sebelumnya bahwa lamaran tersebut akan ditolak oleh bos saya.

Terkejut karena kondisinya mirip dengan yang dialami seorang teman

Satu hal yang membuat saya kaget sehari sebelumnya adalah saat pria pengantar tersebut menjelaskan bahwa pria ini mempunyai SIM A, pernah bekerja sebagai sopir, bahkan pernah menyetir truk. Astaga!
Setelah saat itulah ialah masa dimana draft ide artikel ini mulai dibuat dan bertengger pada papan dashboard saya, meski isi artikelnya sendiri hanya terdiri dari tiga paragraf paling awal yang sempat Anda baca tadi selama seharian itu—karena beberapa waktu setelahnya yang saya lakukan hanya termangu.

Kondisinya mengingatkan saya akan seorang teman sekelas SMP dulu. Teman SMP tadi awalnya adalah seorang yang bisa bicara dengan lancar, bersemangat tinggi dan gemar berpetualang dengan sepeda kayuh maupun motor. Hingga dia mengalami kecelakaan hebat yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit karena tak sadar selama berminggu-minggu dengan bantuan selang untuk asupan gizi dan lainnya, serta terbaring sepanjang hari di ranjang rumah sakit tersebut yang terkadang dengan penampilan tubuh nyaris telanjang bulat.

Nampaknya kecelakaan hebat ini membuat segalanya tak lagi sama. Entah syarafnya menjadi tak berfungsi baik, kinerja otak yang terganggu atau bagaimana; tapi kecelakaan itulah yang membuatnya sulit bicara setelahnya dan banyak berusaha bersuara tapi sulit saya tangkap apa maksudnya.

Karena itulah saya merasa keterangan dari pengantar pria itu jujur mengenai masa lalunya.

Ketika usia telah menginjak kepala tiga, agaknya telah banyak waktu dihabiskan oleh seseorang untuk pembelajaran demi membuat pekerjaan serta tugas-tugas kesehariannya lebih efektif dan efisien. Kemungkinannya, tak terkecuali seorang sopir. Skill mereka berkembang jauh sejak saat mulai belajar berkendara pertama kali: menghapal rute, jalan baru, belajar mesin dan masalah mobil jika beroleh masalah mendadak selain mogok, mengasah refleks kapan menginjak rem dan sebaliknya, beradaptasi dengan kesemrawutan jalanan dan pengemudinya yang ugal-ugalan serta banyak lagi.

Ada banyak kejadian serupa di dunia yang menimpa banyak profesi. Seorang pemain sepak bola, pemain tenis atau olahraga lainnya yang harus berhenti bertanding selamanya karena cedera. Atau seorang seniman yang harus mengakali mata pencariannya saat tiba-tiba buta. Atau seorang nelayan yang harus berhenti melaut karena tertimpa kayu kapalnya lalu lumpuh.

Saya tak dapat membayangkan jika kejadian seperti itu menimpa saya. Apalagi hingga saat ini telah banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya tercurah meski imbal-baliknya belum juga saya peroleh dikarenakan standar gaji, harga dan pendapatan di Indonesia yang rendah secara umum terhadap bidang ini. Perbandingannya, saya melunasi kredit motor saya selama tiga tahun; padahal dengan pekerjaan yang sederhana bahkan dipandang orang sebagai pekerjaan 'remeh' (dari sumber tulisan seorang Kompasianer Tjiptadinata Effendi), seseorang bisa segera memiliki mobil bekas dengan standar gaji yang tinggi di Australia. Bila dipikir, selama ini saya menerima standar gaji ala Indonesia; tapi ternyata banyak kebutuhan yang harus mengikut standar internasional. Seperti kebutuhan software/hardware komputer serta perangkat pendukung (peripheral)-nya.

Jikalau ada kejadian (kecelakaan tertentu) yang menimpa saya, mungkin pada saat itu saya harus mengalah bersama takdir saya; meski saya juga mesti sibuk mencari tahu bagaimanakah saya mencari uang dan melanjutkan hidup secara mandiri dengan bekerja atau berusaha selain pada bidang yang saya tekuni saat ini.

Bagaimana jika Anda dihadapkan pada situasi dan pertanyaan yang sama?

---

**Artikel ini juga diposting pada blog pribadi saya di http://webid.web.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun