Satu hal yang membuat saya kaget sehari sebelumnya adalah saat pria pengantar tersebut menjelaskan bahwa pria ini mempunyai SIM A, pernah bekerja sebagai sopir, bahkan pernah menyetir truk. Astaga!
Setelah saat itulah ialah masa dimana draft ide artikel ini mulai dibuat dan bertengger pada papan dashboard saya, meski isi artikelnya sendiri hanya terdiri dari tiga paragraf paling awal yang sempat Anda baca tadi selama seharian itu—karena beberapa waktu setelahnya yang saya lakukan hanya termangu.
Kondisinya mengingatkan saya akan seorang teman sekelas SMP dulu. Teman SMP tadi awalnya adalah seorang yang bisa bicara dengan lancar, bersemangat tinggi dan gemar berpetualang dengan sepeda kayuh maupun motor. Hingga dia mengalami kecelakaan hebat yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit karena tak sadar selama berminggu-minggu dengan bantuan selang untuk asupan gizi dan lainnya, serta terbaring sepanjang hari di ranjang rumah sakit tersebut yang terkadang dengan penampilan tubuh nyaris telanjang bulat.
Nampaknya kecelakaan hebat ini membuat segalanya tak lagi sama. Entah syarafnya menjadi tak berfungsi baik, kinerja otak yang terganggu atau bagaimana; tapi kecelakaan itulah yang membuatnya sulit bicara setelahnya dan banyak berusaha bersuara tapi sulit saya tangkap apa maksudnya.
Karena itulah saya merasa keterangan dari pengantar pria itu jujur mengenai masa lalunya.
Ketika usia telah menginjak kepala tiga, agaknya telah banyak waktu dihabiskan oleh seseorang untuk pembelajaran demi membuat pekerjaan serta tugas-tugas kesehariannya lebih efektif dan efisien. Kemungkinannya, tak terkecuali seorang sopir. Skill mereka berkembang jauh sejak saat mulai belajar berkendara pertama kali: menghapal rute, jalan baru, belajar mesin dan masalah mobil jika beroleh masalah mendadak selain mogok, mengasah refleks kapan menginjak rem dan sebaliknya, beradaptasi dengan kesemrawutan jalanan dan pengemudinya yang ugal-ugalan serta banyak lagi.
Ada banyak kejadian serupa di dunia yang menimpa banyak profesi. Seorang pemain sepak bola, pemain tenis atau olahraga lainnya yang harus berhenti bertanding selamanya karena cedera. Atau seorang seniman yang harus mengakali mata pencariannya saat tiba-tiba buta. Atau seorang nelayan yang harus berhenti melaut karena tertimpa kayu kapalnya lalu lumpuh.
Saya tak dapat membayangkan jika kejadian seperti itu menimpa saya. Apalagi hingga saat ini telah banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya tercurah meski imbal-baliknya belum juga saya peroleh dikarenakan standar gaji, harga dan pendapatan di Indonesia yang rendah secara umum terhadap bidang ini. Perbandingannya, saya melunasi kredit motor saya selama tiga tahun; padahal dengan pekerjaan yang sederhana bahkan dipandang orang sebagai pekerjaan 'remeh' (dari sumber tulisan seorang Kompasianer Tjiptadinata Effendi), seseorang bisa segera memiliki mobil bekas dengan standar gaji yang tinggi di Australia. Bila dipikir, selama ini saya menerima standar gaji ala Indonesia; tapi ternyata banyak kebutuhan yang harus mengikut standar internasional. Seperti kebutuhan software/hardware komputer serta perangkat pendukung (peripheral)-nya.
Jikalau ada kejadian (kecelakaan tertentu) yang menimpa saya, mungkin pada saat itu saya harus mengalah bersama takdir saya; meski saya juga mesti sibuk mencari tahu bagaimanakah saya mencari uang dan melanjutkan hidup secara mandiri dengan bekerja atau berusaha selain pada bidang yang saya tekuni saat ini.
Bagaimana jika Anda dihadapkan pada situasi dan pertanyaan yang sama?
---
**Artikel ini juga diposting pada blog pribadi saya di http://webid.web.id