***Kepada BoyÂ
Yang lama masih berhembus pada yang baru, walau embun telah menyegarkan kepala bahwa ada yang mengatur segalanya. Karena sayap-sayap di sekitar kita. Karena pembopong pasti mengenali rasa malu yang belum berlalu. Terlebih: keinginan mendekap surganya. Karena kawinan darahlah jika itu jua adalah penghalang. Dan surga kilang dimana anak-pinak bertengger dalam pinangan sejarah.Â
Sejarah kita.Â
Dan kau masih menatapnya tak percaya andai kantongmu tiada.Â
Tak pelak, terdengar sang naga bertumbangan satu-satu masa itu. Perceraian kepala suku dengan moyangnya. Perpisahan kekasih dengan belahannya. Kakek nenek dengan cucunya. Penari jaipong yang berlari-lari hari demi hari. Ketika atmosfer semakin gerah, ranah kalbu ditekan untuk diperah.Â
Ketika kau melihatnya bercumbu, nyata itu. Karena duka kau tak bisa bersama. Dan lukamu yang mungkin jua menggoresnya, mungkin memang berasal dari kubangan rejeki yang masih kaucari dengan nafas tersengal-sengal.Â
Hanya kepadanya, yang sekarang dia peluk tiap pulang jam empat: karena semua mempersoalkan harga dan gizi pada isi sebuah piring; Termasuk sapi yang mulai memahami mengapa kehabisan tenaga membajak lahan lama-lama. Pun tak dapat keping, kamu pun pusingÂ
"Lingkaran tak sampai," jika begitu ucapmu
Dan cinta kita bertemu di surga, yang entah ada.Â
/2009Â
Satu dari sekian judul yang terposting ke FB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H