Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[SRINTIL] Jalan-jalan Sendiri

24 Agustus 2014   19:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:41 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Srintil jalan-jalan sendiri. Dibalut pakaian compang-camping menyusuri malam, sedang kalau siang hampir selalu bersembunyi dan tertawa cekikikan. Beberapa anak kecil yang memergokinya makan rumput di siang hari lari tunggang-langgang segera melapor kepada orangtuanya. Dan karena laporan itulah yang menyebabkan berubahnya pemikiran warga bahwa Srintil bukan setan. “Srintil” adalah julukan yang  diberikan kepadanya, karena mirip dengan nama putri almarhum kepala desa yang meninggal dunia—mati tak lama setelah melihat putrinya berjalan telanjang malam-malam sambil membawa bunga. Hanya kepada istrinya kepala desa ini berkisah sebelum hembusan terakhir nafasnya.

Srintil. Tatapnya tajam. Apatis.

Dia menghilang dari pandangan warga, sejak tersiar kabar di desa; bila sang pujaan hati Srintil menikah tiba-tiba dengan orang lain tanpa sepengetahuannya. Beberapa lama berselang, ayahnya yang kepala desa meninggal sehingga posisinya digantikan langsung oleh wakilnya. Tak kuasa menemukan apa yang dicari, berbulan-bulan lewat akhirnya warga kampung memutuskan mengakhiri pencariannya atas Srintil. Ibunya yang sedih akhirnya mengikhlaskan kepergiannya. Mungkin terseret air sungai yang meluap, begitu pikir mereka. Karena hari-hari itu hujan turun sangat deras di lembah…

Ketika bertahun-tahun kemudian sewaktu warga desa menyangkanya telah mati, dia muncul. Dan berhasil membuat beberapa pemuda lari ketakutan oleh rambutnya yang awut-awutan pada suatu malam. Srintil seperti mata-mata yang licik, bisa menghilang dan muncul begitu saja. Tapi tak juga ditemukan waktu dicari hingga lelah payah. Pintar sekali dia bersembunyi. Sejak beberapa kali kemunculannya yang nyaris telanjang, atas inisiatif beberapa warga desa; kemudian diadakanlah rapat darurat malam-malam di pendopo bagaimana mengatasi kegemparan desa ini. Anehnya, beberapa lama saling berembug dan berbantahan, tak lama kemudian muncullah seseorang yang entah darimana asalnya. Beberapa warga malah mengira orang tersebut adalah dukun karena cara berpakaiannya dan penampilannya yang cenderung eksentrik.

“Apakah semuanya membicarakan Srintil?” Tanya orang yang datang itu.

“Iya. Kalau boleh tahu siapa ya ki? Maaf… sebagai kepala desa yang mengenali baik warganya, saya tak pernah melihat wajah ki…”

“Saya Paito, suami Srintil.”

“Srintil sudah menikah?”

“Maaf, saya juga awalnya tak tahu kalau ini desa asalnya. Mungkin dia minggat karena sesuatu. Karena dia dulu bilang dia sebatang kara… sampai akhirnya meninggalkan saya pula…”

“Mari…. mari… monggo pinarak. Mungkin kita bisa berunding bagaimana mencari pemecahannya. Bagaimana ki mengenal Srintil?”

“Saya memberinya pertolongan. Tampaknya dia sebelumnya dirasuki roh halus sehingga nyaris telanjang sambil berjalan-jalan terseok. Saya kemudian mengusir roh halus ini, dan merawatnya. Saya memakaikannya baju mendiang istri saya yang meninggal dunia. Selain membelikannya baju lain. Saya mempunyai putri yang ikut membantu saya merawatnya. Kami adalah petani, tapi saya juga punya ilmu lain… yang bisa membantu beberapa orang desa kami mendapatkan jodohnya. Menyembuhkan penyakit dan lainnya…”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun