BAB 1
Masalah lingkungan yang perlu ditangani adalah lahan kritis, yang utamanya disebabkan oleh erosi air akibat tingginya curah hujan. Lahan kritis memiliki ciri-ciri seperti penutupan vegetasi kurang dari 25%, kemiringan lereng 15% atau lebih, dan gejala erosi seperti erosi permukaan, alur, dan parit. Indikasi perkembangan lahan kritis dapat dilihat dari jumlah DAS kritis yang terus meningkat. Upaya perbaikan melalui rehabilitasi lahan kritis memerlukan data akurat tentang distribusi dan jumlah lahan kritis untuk strategi yang efektif. Namun, informasi tentang luas hutan yang masih utuh masih belum pasti karena berbagai aktivitas destruktif seperti penebangan liar dan pembakaran hutan terus berlanjut. Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan) pada tahun 2002 mencatat bahwa Indonesia memiliki 96,3 juta ha lahan hutan terdegradasi, akibat penebangan liar, kebakaran hutan, konversi hutan, perluasan pertanian, dan konflik sosial. Diperkirakan sebagian besar lahan terdegradasi tersebut terdapat di kawasan hutan produksi, konservasi, dan lindung.
BAB 2
Degradasi lahan adalah proses hilangnya potensi kegunaan atau fitur yang tak dapat digantikan. FAO membagi lahan kritis menjadi enam tipe, termasuk erosi oleh air, erosi oleh angin, penurunan kesuburan tanah, salinisasi, penurunan jumlah air, dan penurunan muka air. Di Indonesia, lahan kritis biasanya disebabkan oleh erosi air hujan karena tingginya curah hujan. Jenis erosi meliputi erosi alur, lempar, parit, saluran, dan total. Istilah lahan kritis masih bervariasi di Indonesia, tergantung pada departemen yang menggunakan istilah tersebut sesuai dengan tugasnya, seperti Departemen Kehutanan dan Departemen Transmigrasi. Â Â
BAB 3
Penanganan lahan kritis menekankan penggunaan data yang ekonomis dan mudah diperoleh. Penginderaan jauh dianggap sebagai alternatif yang tepat karena relatif murah, mudah diakses, dan cepat diunduh tanpa mengorbankan akurasi dan kebaruan data. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena tanpa kontak langsung dengan mereka. Prosesnya meliputi pengumpulan dan analisis data, melibatkan sumber energi, perjalanan energi melalui atmosfer, interaksi dengan permukaan bumi, dan sensor pada pesawat terbang atau satelit. Sistem penginderaan jauh terdiri dari berbagai komponen yang berinteraksi untuk memperoleh informasi tanpa kontak langsung dengan obyek atau fenomena yang diteliti.
BAB 4
Perangkat utama untuk menangani data spasial adalah Sistem Informasi Geografis (SIG), yang dapat mengumpulkan, menyimpan, memanggil kembali, mentransformasi, dan menampilkan data spasial untuk tujuan tertentu. SIG memungkinkan analisis yang luas terhadap aspek topologi, atribut non-spasial, dan kombinasi data non-spasial dan spasial. SIG konvensional menggunakan peta dan tabel, namun memiliki keterbatasan dalam analisis dan pengambilan keputusan. Perkembangan teknologi komputer digital memungkinkan integrasi data spasial dan non-spasial dalam satu sistem. Subsistem SIG meliputi pengumpulan data, pembentukan data dasar, analisis, dan penerapan. Komponen pendukung SIG termasuk hardware, software, dan brainware.
 BAB 5
Dalam pemodelan erosi berbasis raster, data primer dan sekunder diperlukan. Data primer dikumpulkan langsung dari lapangan, sedangkan data sekunder berasal dari sumber yang telah mengumpulkan dan mengolah data sebelumnya. Pengumpulan data primer melibatkan penentuan sampel dan jumlahnya, serta kerja lapangan untuk mengumpulkan data penutupan/penggunaan lahan, bentuk lahan, dan sampel tanah untuk diuji di laboratorium. Metode stratified sampling digunakan untuk menentukan lokasi sampel, dengan jumlah sampel yang disesuaikan dengan luas masing-masing kelas secara proporsional.
 BAB 6
Suharsono (1998) melakukan penelitian untuk mengembangkan model prediksi muatan sedimen tersuspensi menggunakan data penginderaan jauh dan data hujan. Hasilnya adalah 11 model yang cukup akurat, dengan tingkat keakuratan antara 72,57% hingga 90,65%. Hazarika dan Honda (2001) mengestimasi laju erosi tanah di DAS Mae Ao, Thailand Utara menggunakan citra Landsat-TM dan SIG. Estimasi laju erosi turun dari 1,24 mm/tahun menjadi 0,91 mm/tahun selama 4 tahun, karena perubahan pola pertanian dan kegiatan konservasi. Namun, laju erosi masih dianggap tinggi. Darmawan (2005) mengembangkan model pemetaan erosi di Kalimantan Timur menggunakan data satelit Landsat-TM dan DEM. Modelnya mempertimbangkan faktor tanah terbuka, topografi, dan jenis penutup lahan untuk mengidentifikasi daerah yang rentan terhadap erosi.
 BAB 7
Bab ini membahas pemodelan erosi berbasis raster di DAS Merawu, Jawa Tengah. Model-model seperti USLE dan erosi model Honda memiliki batasan karena dikembangkan di lokasi yang berbeda. Deskripsi DAS Merawu meliputi lokasi, luas, geologi, topografi, curah hujan, jenis tanah, dan penutupan lahan. Data, perangkat keras dan lunak, serta tahapan penelitian juga disajikan. Hasil analisis erosi model USLE dan model Honda juga dibahas, dengan rata-rata erosi sebesar 10,41 mm/tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H