Puan Maharani secara resmi dilantik menjadi Ketua DPR RI periode 2019-2024. Puan juga menjadi Ketua DPR perempuan pertama.Â
Puan yang sebelumnya menjabat Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Menko PMK), maju dari Dapil V Jawa Tengah dengan memperoleh 404.034 suara.Â
Dalam pelantikannya, Puan menyampaikan pidato pertamanya ruang rapat paripurna DPR RI. Puan mengatakan, sejumlah tantangan akan dihadapi anggota dewan pada era revolusi industri 4.0.
Menurutnya, era teknologi digital menguasai hampir setiap kehidupan manusia. Hal itu menciptakan kondisi kehidupan masyarakat dan negara terbuka secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Selain itu menurutnya persaingan global semakin tajam serta berbagai permasalahan memiliki karakter dan substansi yang berbeda-beda.
Selain itu, Puan juga mengingatkan seluruh anggota DPR RI untuk tetap menjaga keutuhan NKRI. Dia meminta untuk tetap bersama-sama memantapkan dan meneguhkan Pancasila sebagai ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara, UUD Negara Republik Indonesia 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meskipun jumlahnya keterwakilan perempuan di DPR masih dinilai belum memenuhi aturan, dari sisi jumlahnya meningkat. Jumlah perempuan terpilih untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPR untuk periode 2019-2014 hanya berjumlah 118 orang atau 21 persen dari jumlah kursi DPR (575).Â
Meski demikian, undang-undang telah mensyaratkan parpol peserta pemilu untuk mengalokasikan 30 persen calon legislatif untuk kaum perempuan.
Banyak pihak memandang, persoalan feminisme di Indonesia bisa dibilang masih dipandang sebelah mata. Hal itu dapat dibuktikan dengan sejumlah kasus kekerasan yang menimpa perempuan.Â
Komnas Perempuan mencatat, tahun 2018 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 14 persen. Jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) 2019 sebesar 406.178, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 348.466.Â
Sebagian besar data bersumber dari kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Data ini dihimpun dari 3 sumber yakni PN/PA sejumlah 392.610 kasus, dari Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 13.568 kasus; dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan sebanyak 415 kasus yang datang langsung, dan 367 kasus melalui telpon dan dari Subkomisi Pemantauan yang mengelola pengaduan melalui surat sebanyak 191 kasus dan 261 melalui surat elektronik.
Feminisme, merupakan terminilogi yang berasal dari kata "femina" yang berarti memiliki sifat kewanitaan. Di era modern, feminisme dimaknai juga sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Dengan kata lain, ideologi tersebut bertujuan menegakkan satu transformasi sosial untuk menciptakan keadaan yang setara.
Dalam Journal of Government and Civil Society dikatakan feminisme sebagai ruh gerakan wanita merupakan kesadaran atas penindasan dan pemerasan kaum wanita yang berlangsung dalam satu sistem sosial, baik di tempat kerja ataupun dalam keluarga, hal itu juga diikuti oleh tindakan sadar dari wanita maupun lelaki untuk merubah keadaan tersebut.
Menurut definisi ini, seorang feminis mampu mengenali diskriminasi atas dasar jenis kelamin, dominasi lelaki, serta system patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya.
Seorang aktivis feminisme Nawal El Saadawi, mengatakan, perempuan harus terbebaskan dari sistem patriarki dan mulai mengubahnya serta berusaha mengangkat harkat dan martabatnya dengan mengusung gagasan perubahan dan modernisasi.
Menurutnya, perempuaan harus kuat dimulai dari pribadi. Perempuaan harus bisa terbebaskan dan berani membuka selubung pikiran. Selubung tersebut yaitu kesadaran palsu, kesan-kesan minor, dan sikap lemah yang dilekatkan pada perempuan.Â
Dengan hal itu akan muncul kesadaran baru yang menyadari sejatinya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran tersebut menurutnya akan menjadi menjadi suatu kekuatan politik yang memiliki otoritas dalam mengambil keputusan yang besar.
Sementara itu salah satu tokoh teosofi muslim, Ibnu Arabi, memandang berbeda terkait feminisme. Pandangannya dipandang humanis dalam mendedah perempuan. Menurutnya perempuan kemuliaan perempuan tidak sekadar dimuliakan. Kemuliaan yang ada pada perempuan merupakan kodrat sebagai pantulan kasih sayang Tuhan yang bersifat universal.Â
Perempuan memiliki status yang tinggi di hadapan Tuhan. Pada diri perempuan melekat pengejawantahan Tuhan sebagai Yang Mahakasih. Sifat Rahim pada perempuan merupakan bentuk kerahiman Tuhan. Menurutnya, pengejawantahan sifat Tuhan itu pada perempuan merupakan terjadi paling sempurna.
Seorang laki-laki bahkan, diistimewakan dalam hukum agama, tetapi pada diri perempuan kualitas-kualitas spiritual sejati ditampakan. Bahkan, para teosof memandang relasi gender sebagai suatu hal yang kodrati. Karena kualitas-kualitas feminin dan maskulin merupakan perwujudan kasih sayang Tuhan dalam kehidupan. Karena itu, Tuhan di dalam dirinya terdapat sifat-sifat feminin dan maskulin sekaligus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H