"Jadi anggapan Brimob disana di duga mobil itu digunakan oleh perusuh. Padahal bukan. Perusuh yang mencari perlindungan masuk mobil dengan bawa alat-alat ini ada batu, bom molotov, seperti ini. Jadi clear ya tidak ada masalah apa-apa," kata Argo menambahkan.
Menanggapi cuitan akun resmi polisi tersebut, pakar keamanan Siber, Pratama Persadha, Polda Metro Jaya bisa termasuk penyebaran hoaks.
"Itu akun Polda termasuk penyebar hoaks sebenarnya," kata Pratama saat dikonfirmasi Antara di Jakarta, Kamis, 26 September 2019.
Pada prinsipnya, kata dia, semua pihak bisa menjadi penyebar atau memproduksi hoaks, baik sengaja maupun tidak disengaja. Jika disengaja, bisa terjadi karena ada penyediaan informasi yang kurang baik sehingga terjadi kesalahan informasi atau missinformasi.
"Seharusnya akun aparat kepolisian tidak bertindak layaknya 'buzzer' politik," katanya.
Menurutnya, sebelum akun @TMCPoldaMetro mengunggah postingan itu, ada akun buzzer yang mengunggah video tersebut. Jika akun resmi tersebut mengambil konten dari akun buzzer, jelas hal tersebut sangat berbahaya.
Menurut Pratama, mekanisme konten yang diunggah harus melewati jalur yang jelas. Kalaupun informasi itu didapat dari sesama aparat kepolisian, bisa ditelusuri.
Sejumlah bukti menunjukkan betapa dahsyatnya hoaks yang melanda sebuah kawasan. Seperti halnya konflik yang terjadi di negara lain seperti Suriah yang dipandang sebagaian pakar sebagai akibat dari kuatnya hoaks yang beredar.
Bahkan baru-baru ini di dalam negeri, Papua diguncang hoaks dan menimbulkan sejumlah konflik yang berakibat pada kerugian dari semua kalangan.
Dari Krisis Realitas kembali pada Kesadaran Realitas
Hoaks sejatinya bukan barang baru, dia ada di setiap fase kehidupan. Hoaks kaitannya dengan berita palsu pernah muncul dan menggemparkan publik di Amerika Serikat. Salah satu contoh historis adalah "Great Moon Hoax" tahun 1835, di mana New York Sun menerbitkan serangkaian artikel tentang penemuan kehidupan di bulan.