"Aku setuju dengan teori itu. Sangat masuk akal," lanjutnya.
"Aku tak meragukan penilaianmu. Tapi bisa saja tak sesederhana itu."
"Barangkali kadang kita cenderung khawatir dengan sesuatu yang sangat sederhana masuk akalnya."
"Baiklah. Teori itu dari anakmu?"
"Tidak juga. Dia selalu mengirimkan tautan menarik tentang pesawat hilang itu."
Anak laki-laki Pak Umar tinggal di Bandung dan mengambil kuliah teknik Aeronautika di perguruan tinggi yang sama dengan sang ayah. Pak Umar sendiri adalah seorang insinyur Geologi. Dia sudah dua puluh tahun bekerja dan menetap di Lhokseumawe, sebuah kota di pesisir Timur Aceh.
"Tapi pesawat itu tidak mendarat di sana."
"Pesawat itu melewati Langkawi. Radar menangkapnya terakhir kali di ujung Utara Selat Malaka. Ia mungkin lepas kendali. Bisa jadi pilot pingsan karena asap kebakaran lalu kendali diambil alih autopilot. Atau bisa juga tidak," sang Insinyur menyesap kopinya dengan tenang, "Mungkin ada pertimbangan lain. Masalah komunikasi itu misalnya. Atau, pilot tak berhasil menurunkan kecepatan pesawat akibat mesin rusak. Yang jelas pesawat gagal mendarat di sana. Lalu pilihan lain adalah sebuah landasan di Kepulauan Andaman."
"Ya, semua bisa terjadi. Semua masih berupa spekulasi." Sahabatnya yang keturunan Melayu Deli meneguk segelas teh Liang dingin dan mencoba melirik layar televisi.
Sekilas, di sudut meja dekat pintu masuk kedai kopi, seorang laki-laki muda berkulit cokelat gelap akibat sering terpanggang matahari memperhatikan mereka dengan malu-malu. Dia duduk sendirian, memakai topi, berpakaian sederhana, namun cukup rapi.
Pemilik kedai, bagaimanapun, memiliki naluri untuk mengenali setiap pelanggannya meskipun secara sepintas dan tidak kentara. Laki-laki muda itu baru datang satu kali dan penampilannya berbeda dari pelanggan hariannya, para karyawan perusahaan gas dan kontraktor pertambangan, beberapa pensiunan dan sebagian kecil anak muda yang tinggal di kompleks-kompleks tak seberapa jauh dari situ. Dia masuk memesan segelas kopi hitam, duduk menjauh dari pelanggan lain dan menonton berita sore bagai baru pertama kali melihat televisi, hingga percakapan Pak Umar mengaburkan perhatiannya.