Berbagai cara dilakukan oleh Pemerintah dan Dunia Usaha untuk mengurangi emisi karbon dalam rangka menyelamatkan bumi untuk kehidupan yang layak bagi generasi akan datang. Salah satu forum internasional yang terkenal adalah disepakatinya prokokol Kyoto tentang pengurangan emisi karbon, meskipun negara penghasil emisi karbon terbesar yaitu Amerika Serikat dan China menolak mengimplementasikan protokol Kyoto.
Untuk memperkuat komitmen pengurangan emisi karbon (CO2), pada konferensi perubahan iklim PBB atau COP 21 di tahun 20154 telah disekapati pembatasan kenaikan pemanasan global di tahun 2100 sebesar 2 derajat celcius. Namun, pembatasan pemanasan global terancama tidak tercapai karena sepanjang 2014-2106 telah terjadi akumulasi emisi karbon sebesar 36 miliar ton. Laju penambahan emisi karbon bergerak cepat karena di tahun 2017 menurut laporan dari The Washington Post sebagaimana mengutip laporan jurnal Environmental Research Letter, emisi 2017 diperkirakan sudah mencapai 37 miliar ton CO2. Penyebab utamanya berasal dari China yang justru emisi karbon di tahun 2017 naik 3,5% akibat penggunaan bahan bakar fosil secara masif. India melaku menjadi salah satu negara yang mengalami peningkatan emisi dengan cepat, meskipun Amerika mampu menurunkan emisi sebesar 0,4% dan Uni Eropa sebesar 0,2%.
Peningkatan emisi karbon telah meningkatkan suhu dunia sehingga memicu berbagai bencana alam, serta ketidakteraturan iklim, gelombang panas yang melanda Eropa dan India yang membunuh ratusan orang adalah salah satu dampak yang ada. Meningkatnya suhu udara menyebabkan melelehnya lapisan es di berbagai belahan penjuru dunia yang meningkatkan tinggi permukaan laut dunia yang sejak seabad terakhir meningkat sampai 20 cm, adapun dalam 2 dekade terakhir kenaikan permukaaan laut mencapai 3,2 mm per tahun atau dua kali lipat dari kecepatan 80 tahun yang lalu.
Industri Biang Kerok Kenaikan Emisi Karbon
Revolusi industri adalah biang dari meningkatnya emisi karbon, sejak ditemukannya mesin ketel uap sebagai cikal bakal industri modern di Inggris tahun 1800an, kemudian ditemukannya bahan bakar fossil dalam hal ini minyak sebagai pengganti uap air untuk menggerakkan mesin industri, serta penggunaan batubara yang masif karena murah dan mudah diperoleh, maka pencemaran bergerak dengan cepat dan suhu udara meningkat drastis.
Perubahan ekonomi dunia yang didominasi oleh perubahan ekonomi yang bertumpu ada moda transportasi bergerak dan hunian mendorong peningkatan terhadap mobil dan tempat tinggal yang sangat cepat. Dampaknya adalah industri besi baja berkembang sangat pesat karena besi baja adalah industri dasar yang menopang semua industri yang ada, kemudian industri semen, industri petrochemical, industri kaca, industri keramik dan lainnya. Kesemua industri tersebut membutuhkan panas tinggi untuk beroperasi, seperti industri semen yang membutuhkan panas 1.400 oC untuk memanaskan kiln dalam pembutan semen.
Penerapan Waste Heat Recovery Power Generation adalah Revoluasi Industri Semen Untuk Penurunan Emisi Karbon
Setiap ton semen membutuhkan energi sekitar 120 kWH/ton atau jika saat ini kapasitas terpasang industri semen di Indonesia mencapai 90 juta ton, dibutuhkan 1.080 MWA MWA atau setara dengan 1,08 GWA yang setara dengan Rp 8,6 triliun/tahun dan menghasilkan emisi karbon sekitar 2,4 juta ton/tahun. Perkembangan teknologi, menghasilkan teknik untuk memanfaatkan sisa panas gas buang pembakaran semen (Waste Heat Recovery Power Generation/WHRPG) menjadi sumber listrik yang mencapai sekitar 30% dari total konsumsi listrik.
Melihat potensi industri semen di Indonesia yang masih berkembang pesat karena konsumsi semen per kapita masih dikisaran 280 kg/tahun sedangkan China sudah diatas 1.000 kg/tahun dan Malaysia diatas 600 kg/th maka kebutuhan semen di Indonesia akan terus meningkat.
Sebagai market leader Semen Indonesia yang memiliki kapasitas terpasang di Indonesia yang mencapai sekitar 34 juta ton atau menguasai 32% kapasitas terpasang nasional mendapatkan kepercayaan dari Pemerintah Jepang melalui program "Joint Development Mechanisme" dengan membangun WHRPG di Semen Padang pabrik Indarung Padang sebesar 8 MWA dan WHRPG di Semen Gresik pabrik Tuban sebesar 28 MWA. Tercatat hanya 2 perusahaan semen tersebut yang telah selangkah lebih maju menggunan WHRPG untuk meningkatkan daya saing produksi sekaligus berkontribusi dalam menyelamatkan lingkungan. WHRPG pabrik Semen Gresik di Tuban menghabiskan investasi Rp 638 miliar dan mampu menghemat konsumsi listrik sebesar 152 KWH pertahun dengan biaya penghematan Rp 120 miliar per tahun dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 122.000 ton per tahun.
Dicky Edwin Hindarto, selaku Kepala Sekretariat JCM Indonesia mengatakan, "Dari 29 proyek JCM yang telah dan sedang diimplementasikan di Indonesia, Proyek WHRPG di Semen Indonesia ini selanjutnya bisa menjadi acuan bagi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Â Kegiatan ini harus direplikasi sehingga pada akhirnya peran pelaku non pemerintah meningkat untuk pencapaian target pengurangan emisi nasional".
Pembangunan WHRPG di Semen Indonesia merupakan proyek dengan investasi terbesar senilai US$ 50 juta dengan subsidi dari pemerintah Jepang sebesar US$ 11 juta. Â
Sukses Terapkan Pengurangan Emisi Karbon, Dirut Semen Gresik Gatot Kustyadji Di Undang Menjadi Pembicara Acara di Jerman
Upaya promosi ekonomi, investasi, budaya, pariwisata dan lainnya yang dilakukan Pemerintah melalui Pavilion Indonesia secara bergiliran di negara-negara tertentu adalah upaya menunjukkan kontribuasi Indonesia dalam berbagai upaya mewujudkan millenium development goals sustainability (MDGS). Promosi pada perusahaan yang beroperasi di Indonesia yang mampu memberikan kontribusi pagi penyelamatan iklim dunia adalah salah satu topik yang dipresentasikan pada acara Pavilion Indonesia 2017 di Bonn Jerman yang berlangsung dari tanggal 6-17 Nopember 2017.
Diundangnya Semen Gresik sebagai satu-satunya industri semen Indonesia di acara tersebut menunjukkan pengakuan atas capaian kinerja Semen Gresik dalam pelestarian lingkungan. Kebetulan juga di Jerman di awal tahun 2017 dijadikan ajang road show penolak pabrik Semen yang salah satunya adalah menolak pabrik Semen Rembang oleh Gunarti yang berasal dari Pati dengan pemutaran film Samin vs Semen yang dibuat oleh Dandhy Laksono yang menuduh pabrik Semen Gresik di Rembang akan merusak lingkungan dan menghancurkan pertanian. Menarik, apakah ada LSM penolak pabrik Rembang yang akan mendebat sesi Dirut Semen Gresik Gatot Kustyadji di acara tersebut.
Jadi sekarang percaya pada WALHI, Komnas HAM, Gunretno, Gunarti, Joko Priono yang gencar tolak pabrik Semen di Rembang milik Semen Gresik ataukah percaya pada pulik Jerman dan Pemerintah Indonesia yang mempromosikan Semen Gresik sebagai salah satu industri ramah lingkungan di Indonesia?. Jaman Now jangan hanya percaya pada "konon", "katanya", "share berita HOAX". Tapi manfaatkanlah era digital dengan browsing data dan referensi. Percaya pada ilmu pengetahuan.
Tidak Ada Alasan Bagi Pemerintah Untuk Tidak Mendukung Operasional Pabrik Semen Gresik di Rembang
Selain hambatan LSM, ternyata Pemerintah sendiri turut menghambat beroperasinya pabrik Semen Gresik di Rembang secara penuh. Telah dipenuhinya 35 jenis perijinan, AMDAL, RKL/UPL dan lainnya tidak menjamin pabrik Semen Gresik di Rembang yang beralamat di Tegaldowo Gunem Rembang Jawa Tengah dapat beroperasi. Tekanan dari LSM menyebabkan Kantor Staf Kepresidenan yang dipimpin Teten Masduki meminta operasional pabrik Rembang ditunda/batasi dengan melarang mengambil batu kapur dari CAT Watuputih sampai Kajian Lingkungan Hidup Srategis (KLHS) selesai dibuat, akibatnya Pabrik Semen Gresik di Rembang harus mengambil bahan baku batu kapur di Tuban sehingga hanya bisa beroperasi 60% dari kapasitas.
Padahal KLHS bukanlah dokumen legal, namun KLHS menjadi acuan dalam penyusunan dokumen legal seperti pemetaan area yang ditambang atau tidak. Selama dokumen legal belum berubah mestinya Semen Gresik diperolehkan untuk menambang di Tegal Dowo sebagai cadangan batu kapur yang dimilikinya. Yang lebih aneh lagi, tambang batu kapur yang diberikan ke Semen Gresik di Rembang hanya sekitar 320 hektar dari total 10.250 hektar yang ada, atau hanya 3% dari total tambang kapur di Rembang. Lalu mengapa yang 3% dipermasalahkan padahal sudah teruji sampai tingkat dunia kepedulian terhadap lingkungan, namun yang 97% tidak dimasalahkan dan sebagian sudah menambang sejak tahun 1970an.
Bahkan dalam berbagai kesempatan Dirut Semen Gresik Gatot Kustyadji memberikan jaminan bahwa pabrik Semen Gresik di Rembang adalah pabrik paling modern di Indonesia dan paling ramah lingkungan, indikatornya antara lain konsumsi energi per ton hanya 90 kWA/ton dibandingkan rata-rata industri semen yang berada di angka 120 kWA/ton, faktor klinker hanya 0,78 sedangkan industri semen umumnya di angka 0,85-0,9. Membangun pengolahan air untuk menampung air hujan sebagai pendingin mesin dan memiliki pengolahan air mandiri yang tidak akan mengambil air tanah. Transportasi dari lahan batu kapur ke lokasi pabrik yang jaraknya 5,3 km tidak menggunakan truk, tetapi menggunakan long belt convenyor
Di Jaman Now, memang kadang Pemerintah tidak mendukung perusahaan dalam negeri yang merupakan bagian dari BUMN Semen Indonesia. Sedangkan semen asing mulus beroperasi di Indonesia meskipun langgar peraturan seperti Semen Anhui Conch di Kabupaten Boloang Mongodow yang ditutup paksa Bupati Yustika karena tidak kantongi ijin lengkap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI