Mohon tunggu...
Kemandirian Industri
Kemandirian Industri Mohon Tunggu... -

Akun untuk saling berbagai dalam penguatan industri nasional yang mampu menyeimbangkan aspek profit, aspek masyarakat dan aspek lingkungan. Pembangunan akan merubah fungsi lingkungan. Dengan teknologi dan SOP yang baik, dampak dapat diminimalisir bahkan ditiadakan

Selanjutnya

Tutup

Money

Setelah 2016 Pertamina Kalahkan Petronas, Sayang 2017 Kembali Terpuruk

28 Mei 2017   06:16 Diperbarui: 28 Mei 2017   08:07 5606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gegap gempita prestasi Pertamina tahun 2016 yang untuk pertama kalinya laba mampu kalahkan Petronas serta menjadi perusahaan migas dengan keuntungan terbesar ketiga didunia, sepertinya segera berakhir. Kinerja keuangan Pertamina Kuartal 1 (Januari-Maret) 2017 sungguh mengecewakan. Pada saat pendapatan Pertamina naik 19% justru keuntungannya turun 25% menjadi USD 760 juta dibandingkan periode yang sama 2016 sebesar USD 1,01. Dengan kurs rupiah Rp 13.000/dolar, maka penurunan keuntungan Pertamina dari Rp 13,13 triliun (Jan-Mar 2016) menjadi Rp 9,88 trilun (atau berkurang Rp 3,25 triliun).

Tentu ini ironis dengan kondisi Pertamina tahun 2016 yang pendapatannya turun 25%, namun keuntungan justru naik 121%. Momentum “operational excellence” yang diraih 2016 tidak mampu dipertahankan di 2017.

Hal ini menunjukkan “efisiensi” yang telah diraih di 2016 tidak terjadi di 2017. Bahwa “lemak-lemak” dan anasir jahat yang 2015-2016  berhasil dihilagkan di Pertamina secara konsisten, kembali lagi di 2017. Logikanya jika di 2016 saat pendapatan turun namun keuntungan naik bisa dipertahankan di 2017, maka mestinya saat pendapatan naik di 2017 keuntungan Pertamina mestinya mengalami 2X kenaikan : pertama dari efisiensi yang terus bisa dilakukan, kedua dari selisih kenaikan pendapatan. Jika diilustrikasikan dalam bentuk rumus :

Laba Pertamina = E + DP

Dengan E adalah efisiensi dan DP adalah selisih pendapatan (DP + jika pendapatan lebih tinggi dibadingkan pendapatan sebelumnya, DP – jika pendapatan lebih rendah dibandingkan pendapatan sebelumnya)

Kenaikan Harga Minyak 2017 Bukan Berkah Bagi Pertamina, Tapi Musibah

Ada sebuah ironi, jika di tahun 2012-2014 saat harga minyak mentah dunia tembus USD 120 – USD 100 laba Pertamina disumbangkan dari sektor hulu (upstream) pada kisaran 70%. Lalu di tahun 2015 saat harga minyak mentah dunia USD 40-50 Dirut Pertamina Dwi Soetjipto beserta jajaran Direksi kompak melakukan efisiensi khususnya pada pengolahan (kilang) dan unit operasi lainnya, maka saat harga minyak dunia turun lebih dari 50%, keuntungan Pertamina hanya turun sekitar 2%. Artinya ada yang tidak efisien pada operasional Pertamina dan bisa dilakukan efisiensi. Kepercayaan bisa melakukan “operational excellence” dilanjutkan di tahun 2016 sehingga efisiensi semakin besar dan mencapai USD 1,38 miliar, maka meskipun keuntungan operasi hanya USD 1,77 miliar juta maka total keuntungan Pertamina 2016 bisa mencapai USD 3,15 miliar

Sayangnya kenaikan harga minyak dunia di kuartal pertama 2017 bukanlah berkah, tetapi musibah. Ini sebagaimana statemen Dirut Pertamina Elia Massa Manik dalam paparan kinerja Pertamina 24/5/2017 di kantor pusat Pertamina yang dikutip salah satu media online detik.com Direktur Utama Petamina, Elia Massa Manik, menjelaskan penurunan laba bersih perseroan terjadi akibat berubahnya harga minyak dunia.
 "Ini karena naiknya harga crude yang sebabkan laba bersih turun 25%,"

Efisiensi Pertamina 2017 Menurun

Naiknya pendapatan yang justru mengurangi laba Pertamina menunjukkan bahwa efisiensi Pertamina mengalami penurunan, ini tentu hal yang ironi. Bagaimana nantinya jika pendapatan Pertamina kembali mengalami penurunan seperti di tahun 2015 dan 2016, tentu saja keuntungan Pertamina akan turun terus. Biaya terbesar Pertamina diluar impor crude oile dan BBM adalah pada sektor hulu dan pengilangan. Jika melihat bagaimana inisiatif Break Through Project (BTP tahun 2016 yang digagas Dirut Pertamina sebelumnya Dwi Soetjipto yang penopang utamanya adah disektor hulu dan pengilangan. Maka dengan anjloknya keuntungan Pertamina, maka dapat diprediksi bahwa efisiensi kedua sektor ini juga turun.

Impor Akan BBM Meningkat di 2017

Dapat diprediksikan pula bahwa impor BBM akan meningkat di 2017. Secara normal tentu saja akan terjadi, kenaikan konsumsi BBM saat ini belum diimbangi dengan penambangan kapasitas kilang Pertamina. Proyek RDMP tahap 1 baru selesai tahun 2019 di Kilang Balikpapan yang diselenggarakan secara Swakelola. Proyek kerjasama RDMP dengan ARAMCO diprediksikan baru 2021 selesai beroperasi. Kilang baru di Bontang dan Tuban belum jelas kapan akan dibangun. Isunya malah bisa batal dibangun karena kebutuhan investasi yang besar. Perubahan sistem operasi di TPPI Tuban yang karena kesulitan bersaing akibat belum terintegrasinya produk petroleum menjadi terus merugi dan di era Dirut Dwi Soetjipto, TPPI Tuban yang canggih dimodifikasi untuk menghasilkan BBM berkualitas tinggi. Produksi Pertamax kilang Pertamina 50% di tahun 2016 disumbang TPPI Tuban, konon kabarnya akan dikembalikan seperti saat desain awal (sudah pasti rugi). Maka jika ini dilakukan 50% BBM Pertamax akan kembali impor.

Singapura yang 2016 panas-dingin karena kelebihan 1,2 juta barrel BBM dan ekspor ke Indonesia sempat menciut, maka di 2017 akan bernafas lega. Pertamina akan kembali mengimpor BBM. Tinggal tunggu waktu saja, untuk publik akhirnya mengetahui bahwa salah satu sebab meningkatnya “ketidakefisienan Pertamina” adalah volume impor BBM yang kembali meningkat. Yang dituntungkan tentu saja Singapura dan para trader BBM. Meskipun Petral bubar, tetapi Mafia Migas ternyata sudah menemukan kembali cara untuk eksis.

Kemandirian Energi Jokowi Terancam Gagal

Melihat roadmap Kemandirian Energi 2016 berupa Indonesia bebas impor BBM di tahun 2023 saat proyek peningkatan kapasitas kilang Pertamina dan ekspansi hulu selesai di 2023 dengan kapasitas kilang Pertamina mencapai 2 juta barrel dengan konsumsi BBM sekitar 1,9 juta barrel praktis tidak akan tercapai. Mundurnya berbagai proyek peningkatan kapasitas kilang Pertamina, bahkan ada kemungkinan ada yang dibatalkan maka sampai periode Jokowi 2019 habis, bahkan Jokowi bisa  2 periode sampai 2024 maka “Janji Nawacita Kemandirian Energi” tidak akan tercapai.

Visi besar Jokowi bolehlah bagus, namun itu semua hanya sebatas mimpi dan diatas kertas. Tentu ini bahaya karena itu adalah janji kampanye. Tentu saja pada akhirnya Jokowi akan sama dengan Presiden sebelumnya yang belum mampu mengentaskan Indonesia dari ketergantungan energi pada pihak asing. Baru era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang akan tercatat Indonesia swasembada energi. Masih ada waktu bagi Presiden Jokowi untuk melakukan perombakan dan revolusi mental dalam pengelolaan energi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun