Berbicara musibah yang menimpa Semen Indonesia, penting untuk mencermati apakah karena faktor persaingan bisnis semata, ataukah ada faktor upaya penguasaan ekonomi Indonesia secara sistematis dan pada akhirnya membuat negara Indonesia tergantung pada perekonomian negara lain.
Konflik penolakan pabrik Semen Rembang adalah pintu masuk bagi asing untuk menguasai sektor usaha yang peran negara melalui BUMN masih kuat. Dalam struktur bisnis di Indonesia terdapat 4 sektor yang peran negara melalui BUMN masih kuat : 1, Telekomunikasi melalui BUMN Telkom yang menguasai 60% pasar. Namun mesti diingat dari 60% tersebut sebanyak 35% kepemilikan Telkomsel dimiliki Singtel Singapura, sehingga praktis penguasaan BUMN Telkom adalah 60% x 65% atau 39%. Artinya jika operator telekomunikasi Indosat, XL, dll serta Singtel bergabung, maka 71% telekomunikasi dikuasai asing, 2. Perbankan, melalui Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI dan BTN pada kisaran 37%. Pangsa pasar akan naik menjadi 45% jika seluruh BUMN disektor keuangan digabungkan, 3. Energi. Keberadaan Pertamina dan PGN ternyata belum mampu menguasai sektor energi. Untuk sektor hulu Pertamina hanya kuasai 24%, sektor hilir minyak Pertamina (penugasan BBM subsidi) bisa kuasai 95% dan PGN kuasai 65% gas. Secara keseluruhan jika hulu-hilir digabung, maka BUMN sektor energi masih berada di angka 60%, 4. Semen, BUMN semen gabungan Semen Indonesia dan Semen Baturaja kuasai 44% pasar semen domestik, meskipun kapasitas gabungan keduanya hanya 34%. Dari jumlah tersebut Semen Indonesia kuasai 42% pasar dengan kapasitas terpasang 32%.
Dari 4 (empat) karakter sektor usaha diatas, maka sektor telekomunkasi, perbankan dan migas relatif lebih mudah jika Pemerintah akan memperkuat BUMN disektor tersebut. Sektor telekomunikasi misalnya, akan sangat ditentukan oleh penguasaan pita spektrum frekuensi yang selama ini dilelang dan dialokasikan secara merata. Jika Pemerintah memutuskan sektor telekomunikasi dikuasai oleh Telkom, cukup alokasi spektrum frekuensi saja yang dialihkan (sesuatu yang tidak tampak secara fisik dan negara 100% bisa lakukan apa saja setiap saat). Sektor Perbankan, membatasi perbankan asing sangat mudah. Persulit saja ijin pendirian bank asing di Indonesia ataupun penambahan cabang bank asing di daerah. Lhaa....perbankan Indonesia (BUMN atau Swasta) mau buka cabang di Singapura dipersulit oleh Pemerintah Singapura, buka di Malaysia juga dipersulit. Jadi jika mau Bank BUMN kuasai 70% perbankan nasional agar negara tidak rentan terkena krisis keuangan sangat mudah langkahnya. Sektor Energi, tentu lebih mudah lagi, apalagi amanat UUD 1945 pasal 33 sudah sangat jelas kehadiran negara. Apalagi disektor migas sangat tergantung pada kontrak pengelolaan blok Migas yang memiliki “jangka waktu tertentu”. Dari 2015 sd 2019 puluhan blok migas yang habis masa kontraknya, termasuk Blok Mahakam. Pemerintah dengan mudah bisa menunjuk Pertamina untuk mengelola blok tersebut. Di jamin pengusaaan hulu Pertamina akan naik drastis dari 24% menjadi 65% di tahun 2020.
Sektor yang sangat sulit tentu saja industri semen. Sektor ini masuk kategori bukan hajat hidup orang banyak sehingga tidak bisa menggunakan UUD 1945 pasal 33. Sehingga penguasaan industri sektor semen adalah kinerja korporasi semata untuk melakukan berbagai upaya secara bisnis memperkuat portofoliu usahanya. BUMN Semen harus punya modal, SDM dan lahan bahan baku yang semuanya sangat tergantung pula dengan peraturan dan kebijakan Pemerintah Daerah. Campur tangan negara dapat hadir melalui 341 ijin di sektor migas, dibandingkan ijin di sektor semen yang hanya 35. Dari jumlah 35 sebagian besar adalah ijin di daerah. Tentu dapat dibaca bagaimana “bentuk ijin di daerah” terkait SDA yang cenderung di obral, sesuai data yang pernah diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di media bahwa lebih dari 4.000 IUP di daerah bermasalah.
Semen Indonesia bagai asing di negeri sendiri
Fakta Rembang, yaaa fakta keberadaan Semen Rembang tidak dapat dipungkiri bahwa BUMN Semen Indonesia bagai asing di negeri sendiri. Bagaimana program pemerataan pembangunan Jokowi hanya dapat diwujukan melalui interkonekasi antar daerah membutuhkan dukungan infrastruktur untuk mengurangi biaya domestik. Tentu saja, infrastruktur darat sangat dibutuhkan agar mampu menghubungkan antara daerah penghasil dengan daerah pemasaran. Akankah program infrastruktur Jokowi akan menggantungkan diri pada perusahaan semen asing? Akankah perusahaan semen asing “menggunakan SDA sebagai bahan baku”, dipasarkan di Indonesia “dibeli oleh rakyat Indonesia” lalu keuntungannya “ dibawa pergi ke negara asal semen asing”. Lalu Indonesia dapat apa?, jawabannya cuma dapat “infrastruktur” dengan resiko “perusahaan asing enggan mereklamasi bekas tambang” ditinggal pergi seperti lobang-lobang raksasa di Kalimantan bekas tambang batubara ataupun lubang raksasa di Bangka Belitung bekas tambang liar timah.
Publik mesti sadar, bahwa perusahaan asing bukanlah “sinterklas” yang akan bagi-bagi hadiah. Perusahaan adalah perusahaan yang akan mengedepankan keuntungan. Tanpa sejarah dan kultur perusahaan yang memiliki jati diri ke-Indonesia-an niscaya pasca berhentinya perusahaan beroperasi maka akan meninggalkan berbagai masalah dikemudian hari. Lihatlah Lafarge-Holcim perusahaan asing milik Perancis dan Swiss yang bersekongkol dengan ISIS di Surihh, sekedar agar tetap beroperasi.
Pabrik Semen di Rembang, menunjukkan bahwa Fakta Rembang berbicara, BUMN Semen dimusuhi oleh LSM dan oknum masyarakat yang bukan warga Rembang, tetapi adalah kumpulan masyarakat dari Pati. Bagaimana pendirian pabrik yang sudah sesuai dengan regulasi dan bahkan berada di luar Bentang Alam Karst sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 2641/K 40/MEM/2014 Tentang Kawasan Bentang Alam Karst Sukolilo terus saja dituduh macam-macam. Padahal jelas di Keputusan Menteri ESDM Nomor 2641/K 40/MEM/2014 Tentang Kawasan Bentang Alam Karst Sukolilo yang tidak boleh ditambang adalah Pati, Grobogan dan Sukolilo. Justru perusahaan semen asing Indocement melenggang mulus di Pati, karena LSM dari Pati sibuk menolak pabrik Semen Rembang.
Indonesia Dalam Kepungan Perusahaan Semen Asing.
Dalam buku Road To Semen Indonesia yang ditulis Dwi Soetjipto, nampak peta industri semen yang “diawal kemerdekaan” adalah industri yang diinisiasi oleh Pemerintah. Setelah Indonesia merdeka Presiden Soekarno membangun Semen Gresik tahun 1957. Lalu pasca bergabungnya Irian Barat pasca Komando Dwikora, Presiden Soeharto siapkan pembangunan Kawasan Indonesia Timur dengan mendirikan pabrik Semen Tonasa tahun 1968. Artinya Presiden pasti sadar bahwa semen adalah kebutuhan pokok untuk mendapatkan “kebutuhan papan” yang layak. Memang semen bukan kebutuhan pokok untuk makanan, tetapi semen adalah kebutuhan pokok untuk papan (rumah) yang layak. Tahun 1980an adalah tahun swasta nasional berlomba-lomba membangun industri semen. Maka muncullah Semen Cibinong milik Hasjim dkk, Indocement milik Salim, Sudwikatmono dkk, Semen Cibinong milik Ibrahim Risyad, Semen Nusantara dan lainnya. Sampai tahun 1995 industri semen swasta nasional mendominasi di Indonesia.
Krisis ekonomi 1998 menjadi titik balik bagi terpuruknya industri semen nasional. Krismon tersebut menyebabkan industri semen berjatuhan dikuasai asing, seperti Semen Cibinong dan Semen Nusantara dikuasai Holcim Swiss, Indocement dikuasai Heidelberg Jerman, lalu Semen Gresik sudah dijual sebagian sahamnya kepada Cemex Meksiko.