“Dulu di tahun 70an, Petronas Belajar ke Pertamina, kini Sang Guru harus belajar kepada Sang Murid, karena Petronas sudah mengalahkan Pertamina”, kalimat tersebut sering diucapkan oleh pengamat, kolunnis, wartawan, bahkan pejabat Indonesia. Yaa....betapa merana nasib Sang Guru, ketika Sang Murid sudah sebegitu maju bisnisnya, seolah-olah Sang Guru masih berkutat dengan masalah internal.
Bahkan ada pula cerita Seorang alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) bernama Ilen Kardania mengatakan, gaji perusahaan migas di Indonesia, seperti Pertamina lebih rendah dibandingkan perusahaan migas asing. "Kalau Petronas mau menggaji sampai Rp 500 juta per bulan, di sini kita tidak mampu. Nah Pertamina kan lebih besar dari Petronas. Iya dong," ungkap Ilen kepada detikfinance di kantor Kemenko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (6\/7\/2013, sebagaimana diberitakan detik.com).
Ya, melihat apa yang disampaikan llen diatas, bagaimana Pertamina lebih besar dari sisi aset dibandingkan Petronas, namun keuntungannya jauh lebih kecil, sehingga Petronas bisa menggaji pegawainya jauh lebih besar dibandingkan Pertamina. Ya...wajar jika anak bangsa lebih bangga bekerja di Petronas, karena pada tahun 2012, Petronas saat harga minyak dunia bertengger di atas angka US$ 100 per barrel Petronas setor ke kas negara Malaysia Rp 190 triliun sedangkan pada tahun yang sama Pertamina hanya setor ke negara Rp 7 triliun. Bedanya jauh banget 27 X lipat.....wowwww...amajing. Lebih amajing lagi setoraan Petronas ke APBN Malaysia mencapai 40% dari total APBN Malaysia, sedangkan setoran Pertamina hanya 1,6% dari total APBN Indonesia di tahun 2012. Bagaimana 118 BUMN Indonesi di tahun 2012 keuntungan total hanya Rp 128 triliun, kalah hanya dari 1 perusahaan Petronas.
Maka tidak salah, sempat pula publik berujar pada saat Medco gencar ekspansi ke negeri Magribi (Aljazair, Tunisia dll), Lebih baik Pertamina dijual saja ke Medco supaya lebih baik lagi pengelolaan bisnisnya.
Mengapa publik dan juga Pemerintah geram terhadap Pertamina, tentu wajar karena dengan aset yang superjumbo dan dijuluki BUMN terbesar di Indonesia, impian para anak bangsa untuk bekerja di Pertamina, namun kontribusi ke bangsa Indonesia sangat minim. Pertamina malah menjadi sapi perahan pihak-pihak lain yang selama ini menyusu ke Pertamina.
Lihatlah bagaimana Pertamina sangat tergantung dengan impor BBM. Yaa...dengan kapasitas kilang yang dimiliki hanya 800 ribu barrel kebutuhan BBM mencapai 1,4 juta barrel, lalu yang 600 ribu barrel dari mana?. Solusi paling mudah adalah impor BBM, maka Petral yang merupakan anak usaha Pertamina berubah menjadi lebih berkuasa dan strategis dibanding induknya Pertamina. Bagaimana 60% belanja Pertamina untuk impor BBM. Artinya Petral mengelolan 60% pengeluaran Pertamina.
Petral yang duduk manis di Singapura, tidak punya aset mengendalikan 60% operasional Pertamina. Mari berhitung di tahun 2012 (saat harga minyak mentah dunia kisaran US$ 100), jika kebutuhan impor 400 ribu barrel/day x BBM impor rata2 US$ 140 x 365 hari x Rp 12.000 = Rp 245 triliun. Bagaimana tinggal duduk dibelakang meja proyek senilai Rp 245 triliun datang menghampiri. Itulah sosok Petral yang begitu menggerogoti Pertamina dan tidak memberikan kontribusi yang berarti. Jika impor 400.000 BBM/day x 365 day = 246.000.000 barrel, yang setara dengan 39,3 miliar liter. Setara dengan 39,3 miliar liter x 0,76 = 29,3 miliar kg atau 29,3 juta ton. Jika diangkut dengan kapal berukuran 50.000 DWT, membutuhkan 599 kapal.
Lalu siapa yang menikmati bisnis pelayaran, bisnis asuransi, bisnis jasa freight forwarding, LC perbankan dan lainnya. Jadi multiplier effect dinikmati oleh trader yang umumnya menggunakan kapal asing, asuransi asing, LC bank asing dan lainnya. Misal tarif LC 0,125% (Bank Sinarmas) maka dengan impor senilai Rp 245 triliun maka perbankan akan menikmati jasa sebesar Rp 30,75 miliar.
Kilang minyak paling baru terakhir dibangun tahun 1994 atau dibangun jaman Presiden Soeharto atau 23 tahun yang lalu. Sejak tahun 2014 Presiden sudah berganti 5 kali dari Habibie sampai Sby, Menteri BUMN sudah berganti berkali-kali, Dirut Pertamina sudah berganti berkali-kali tapi kilang minyak tidak bertambah. Indonesia makin banyak impor BBM. Mengapa Indonesia tidak bangun kilang minyak? Karena tidak punya uang, jualan BBM rugi IRR hanya 8%, resiko besar dan lainnya. Lebih enak impor, makanya sering diberitakan ada lingkaran istana, lingkaran menteri, lingkaran direksi Pertamina yang terlibat impor. Bahkan ada eks Direktur Pertamina Suroso Atmomartoyo yang dipenjara karena korupsi impor minyak.
Yang senang tiada kepalang adalah Singapura, negeri kecil yang tidak punyak minyak, tapi punya kilang minyak dengan kapasitas sekitar 1,4 juta barel dengan konsumsi dalam negeri Singapura hanya 150 ribu barrel, artinya Singapura harus mencari pasar ekspor sekitar 1,25 barrel agar kilang minyaknya tidak “menjadi besi tua”. Maka Indonesia dengan potensi pasar impor BBM sebesar 400 ribu barrel/day adalah potensial, sudah besar pasarnya dekat pula jaraknya sehingga biaya logistik menjadi murah.
Eeitt......tunggu dulu, jika tahun 2025 nanti konsumsi BBM Indonesia bertambah menjadi sekitar 2,2 juta barrel dan kalau kapasitas kilang Pertamina tidak bertambah tetap 800 ribu barrel (tambah tua, tambah sering rusak, waktu operasi makin berkurang bisa produksi 700 ribu barrel di tahun 2025 sudah bagus). Maka Indonesia butuh 1,4 juta barrel BBM. Nahh...lho...Singapura yang awalnya harus ekspor jauh-jauh agar kelebihan 1,25 juta barrel terserap (Indonesia 400 ribu dan 825 ribu negara lain), maka 100% bisa diekspor ke Indonesia. Makin kaya tuch Singapura.
Indonesia makin sengsara karena impor minyak harus pakai Dollar, Agar punya Dollar harus ekpsornya diatas impor, agar punya devisa. Jika devisa kecil dan impor besar maka kurs rupiah akan jauh terhadap dollar, akibatnya impor minyak butuh uang lebih banyak lagi. Akibat lainnya impor produk/jasa lainnya juga akan semakin mahal. Harga HP mahal, harga Laptop mahal, harga obat mahal, harga pakaian mahal (bahan baku masih impor), semua serba mahal.
Langkah berani Presiden Jokowi dan Dirut Pertamina Dwi Soetjipto untuk bubarkan Petral lalu membangun kilang minyak dengan cara bangun kilang baru di Tuban 300 ribu barrel, di Bontang 300 ribu barrel, upgrading/RDMP di Cilacap, Balongan, Balikpapan dan lainnya maka di tahun 2025 diperkirakan Pertamina akan produksi BBM 2,2 juta barrel dengan sebagian besar sudah standar Euro 5. Bandingkan dengan kilang Singapura yang masih Euro 3. Dengan kampanye energi ramah lingkungan, suatu saat negara-negara yang impor BBM akan gunakan Euro 5, nahh...lho...pasar ekspor Singapura jika konsumsi BBM dalam negeri Indonesia bisa ditekan, maka potensi untuk pertama kalinya Pertamina bisa Ekspor BBM. Dollarr...Dollar.....Devisa akan masuk ke Indonesia.
Setelah puluhan tahun dibawah ketiak Petronas, untuk pertama kalinya di tahun 2016 keuntungan Pertamina berada diatas Petronas. Ya....Pertamina juga mencetak sejarah dengan meraih keuntungan terbesar sejak Pertamina ada. Di tahun 2016 Pertamina raup untung sekitar Rp 40 triliun meningkat 127 % dibandingkan keuntungan tahun 2015 yang sebesar Rp 17,6 triliun. Setelah menyehatkan keungan Pertamina, maka saatnya Pertamina menggeber gas untuk membangun kilang minyak baru.
Tapi sayangnya Mafia Migas yang selama ini menikmati keuntungan dari “inefisiensi Pertamina”, buruknya pengelolaan Pertamina tidak tinggal diam. Mulai bergerak untuk menjatuhkan Pertamina. Akankah Revolusi Pertamina akan padam?......Api Revolusi Kemerdekaan Pertamina akankah mampu menjadikan “Indonesia Swasembada Energi”?. Kerusakan kilang Pertamina menjadi perbincangan hebat dan disebut-sebut Direksi Pertamina gagal. Yang paling mendasar adalah apakah ada kelangkaan BBM di Indonesia, “TIDAK ADA” artinya kerusakan kilang sudah dimitigasi oleh Pertamina dan solusinya juga sudah ada. Apakah Pertamina akan bangkrut? Dilihat saja di tahun 2017 nanti kinerjanya seperti apa?. Siapa sangka Pertamina ditengah kinerja harga minyak dunia yang jauh dan dahulu di tahun 2012-2013 kinerja Pertamina disumbang oleh sektor hulu yang berkontribusi 70% dari keuntungan Pertamina yang saat itu total keuntungan Pertamina sekitar Rp 37 triliun (kurs US$ 12.900), saat hulu masih jatuh karena harga minyak rendah, siapa sangka ditahun 2016 Pertamina cetak rekor Rp 40 triliun yang terbesar dikontribusi dari sektor hilir. Yaa....sektor hilir yang dulu dianaktirikan, saat harga minyak dunia jatuh jusru menjadi penyelamat Pertamina. Yakinlah dalam waktu 3 tahun di tahun 2017 keuntungan Pertamina bisa tembus Rp 70 triliun.
Tunggu seri tulisan berikutnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H