Aku melihat beberapa fenomena orang-orang terlambat menghadapi fase penyangkalan-penyangkalan itu. Beberapa dari mereka baru bersedia dites ketika sudah dalam kondisi sesak. Ada yang bertahan tidak mau di swab padahal ciri-ciri gejalanya sudah sangat mengarah. Bahkan beberapa ada yang menolak karena takut hasilnya positif hingga akhirnya nyawanya tidak terselamatkan.
Penyangkalan-penyangkalan itu sangat dipengaruhi bagaimana penderita memaknai sikap sosial sekitarnya. Takut merasa dijauhi lingkungan. Takut di stigma pembawa penyakit ke lingkungan. Takut menyusahkan keluarga dll. Ini diperparah adanya narasi-narasi yang menyangkal keberadaan covid.
Selain itu secara internal ada dorongan takut mati. Sebenarnya mereka tahu penyakit covid bisa mengancam nyawa. Pada dasarnya mereka tidak ingin terkena covid. Daripada memastikan melalui tes swab, mereka lebih memilih untuk menganggap (menyangkal) dirinya bukan covid. Ini memang lebih menenangkan secara psikologis namun asumsi ini justru langkah yang gawat karena bisa justru mengancam nyawanya sendiri.
Aku sangat bersyukur bisa melewati fase penyangkalain ini. Namun ada yang aku sesalkan dalam fase pergulatan itu. Aku sempat berinteraksi dengan anak dan istriku, kedua orangtuaku dan ART tanpa masker selama periode itu. Aku juga sempat pergi ke dokter gigi. Lamanya pergulatan itu membuatku membahayakan banyak orang, orang tuaku, istri dan anakku, dokter gigi yang memeriksaku.
Jangan ulangi kesalahanku, jangan perpanjang episode pergumulan antara kecurigaan dan penyangkalan. Segera tes swab bila gejala-gejala semakin jelas muncul, karena semakin cepat tes hasil keluar semakin cepat Anda menyelamatkan diri Anda dan orang-orang sekitar Anda.
Sekian. Salam sehat selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H