Mohon tunggu...
Kemal Jam
Kemal Jam Mohon Tunggu... Freelancer - Belajar Menulis dan Mengamati sekitar.

Mengamati apa yang nampak, dan menggali apa yang tak nampak. Kontak langsung dengan saya di k3malj4m@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Isoman 1: Curiga Vs Penyangkalan

14 Juli 2021   20:34 Diperbarui: 18 Juli 2021   12:02 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemelut batin (koleksi pribadi)

Tulisan ini adalah catatanku selama isolasi mandiri. Rencananya akan ada beberapa tulisan mengenai apa yang aku rasakan serta perenunganku selama isolasi mandiri untuk menjadi pelajaran kita semua.

Tulisan pertama ini tentang pergumulan pikiran yang kemungkinan besar dialami penderita covid-19 bergejala. Sebuah fase pergumulan antara kecurigaan dan penyangkalan-penyangkalan mengenai apa yang terjadi. Fase ini bisa sangat menyesatkan, mungkin kesalahan menentukan sikap bisa berakibat hilangnya nyawa, entah nyawa sendiri maupun orang lain.

Aku melihat banyak orang-orang sekitar terlambat mengambil keputusan rasional sehingga berdampak bagi keselamatan diri, keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Faktor-faktor psikososial, kejernihan pikiran dan kemantapan jiwa sangat menentukan pada fase ini.

Kita akan mencoba menyelami pergumulan pikiran para suspect dan penderita covid melalui perjalanan rasa dan pikiranku beberapa hari yang lalu.

Awal Gejala

Semua berawal pada Senin, 21 Juni 2021 pagi, saat bangun tidur badanku terasa meriang. Dalam hati aku mengira ini hanyalah gejala gusi bengkak yang sudah mulai muncul hampir selama 5 hari. Tapi karena masih merasa kuat aku tetap berangkat kekantor pagi itu.

Siang itu di kantor benar-benar hari yang buruk, selain gigi yang terasa ngilu, badan ini terasa pegal-pegal, suhu badan yang panas mencapai 39 derajat. Ini bukan seperti gusi bengkak yang pernah kualami sebelumnya.

Dalam kondisi lemas dan lunglai di meja kantor muncul kecurigaan di benakku "jangan-jangan aku kena covid". Namun disisi lain pikiran ini menyangkal "ah ini hanya karena sakit gigi, juga mungkin kecapekan karena kemarin muter-muter cari laptop".

Aku berpikir bila istirahat 1-2 hari mungkin akan reda enjadi lebih baik, jadi keesokan harinya (selasa) ku putuskan tidak masuk kerja. Selama di rumah terasa aneh dengan sakit ini, demamnya tinggi tidak turun. Bila minum paracetamol turun sejenak, namun saat reaksinya habis akan naik lagi. Pegal-pegal di kaki dan tangan juga tidak hilang.

Kecurigan menguat bahwa ini adalah covid. Namun pikiran yang lain menentangnya, mensugesti padaku bahwa ini adalah sakit gigi, dan kelelahan. Sempat terbersit dalam pikiranku untuk tes swab mandiri. Namun kuurungkan karena aku masih mantab berkeyakinan ini adalah sakit gusi bengkak.

Hari rabu aku memutuskan untuk pergi ke dokter gigi memeriksakan gusiku yang bengkak. Sesampainya di klinik gigi dengan prokes ketat dan APD lengkap dokter gigi memeriksaku dan memberiku obat untuk gusi bengkakku tersebut. Aku mendapatkan antibiotik sekaligus obat penurun panas dan pereda gejala lainnya.

Curiga vs Penyangkalan

Namun kecurigaan mulai terasa lebih menguat setalah sehari aku mengkonsumsi obat dari dokter gigi itu, gusi yang bengkak memang mengempis, namun suhu tubuhku tetap tidak bisa turun. Dan muncul sakit tenggorokan yang sangat mengganggu. Pikiranku berkecamuk ini semakin jelas aku terkena covid. Namun sekali lagi disisi lain pikiranku mensugesti bahwa ini adalah sakit gigi biasa. "habiskan saja dulu obatnya, mungkin kalau dihabiskan akan membaik."

Sepanjang hari kamis 24 Juni, kondisi tubuhku sepertinya semakin tidak nyaman. Radang tenggorokan semakin sakit dan terasa ngilu dan panas sepanjang waktu. Pilek tiba-tiba muncul dengan rasa pusing seperti orang kemasukan air saat berenang. Suhu tubuhku tidak pernah di bawah 37,5 derajat walaupun sudah minum obat penurun panas. Saat berjalan kepalaku terasa ringan seolah mau jatuh tersungkur.

Dalam kondisi yang semakin tidak nyaman hatiku berkecamuk apakah aku harus tes swab atau tidak. Dalam diriku terjadi pergumulan batin, seolah pikiran-pikiran dalam diriku saling berdebat sendiri. Kecurigaan dan penyangkalan berkecamuk hebat membuat rasa sesak di dada. Aku tidak tahu rasa sesak itu karena paru-paruku yang bermasalah atau karena jantungku yang bergejolak akibta pikiran-pikiran negatifku.

Pergumulan batin ini menjalar bukan sekedar tentang aku ini sakit apa, namun juga apa-apa yang mengikutinya. Seperti, kalau aku covid jangan-jangan nanti keluarga dikucilkan warga, terbayang bagaimana sulitnya harus hidup sekeluarga diisolasi. Bagaimana kalau aku dianggap menularkan ke teman-teman di kantor. Termasuk juga tanggungan biaya kalau-kalau aku benar-benar covid, seperti biaya tes PCR mandiri yang sampai 800 ribu, dll.

Nampaknya ada kabut psikologis untuk menerima bahwa aku ini (potensi) sakit covid, jadi suara-suara penyangkalan ini terasa semakin kuat. Sedangkan menganggap sakit ini hanya sakit gigi belaka terasa lebih menenangkan, tidak ada isolasi dan tidak ada rasa bersalah, dan tidak ada kerumitan sama sekali.

Dalam kecamuk keruwetan pikiran itu seolah ada yang mengarahkan aku untuk menganggap ini sekedar sakit gigi biasa. Tapi ada bagian lain dari pikiranku tidak percaya kalau ini sekedar sakit gigi. Dalam hatiku yang terdalam aku tahu bahwa aku takut mati. Seandainya aku sakit covid, aku lebih dekat peluang mati daripada sekedar sakit gigi. Ini yang seolah mendorongku untuk menerima aku ini hanya sakit gigi biasa. Namun ada pikiranku yang meragukan, kalau dugaan sakit gigi itu salah bagaimana.

Menata Hati dan Pikiran

Dalam hatiku aku tahu bahwa aku harus bisa menyingkirkan kabut yang membuatku tidak bisa melangkah dengan jernih. Saat itulah aku ingat Tuhan, aku ambil wudhu sholat lalu berzikir dan berdoa tidak putus-putus dalam hati. Aku tahu aku harus berpijak pada fakta yang solid dan pikiran yang lurus untuk bersikap.

Tuhan memberiku jalan untuk menata pikiranku dengan logika yang jelas. Jika ini hanya sekedar gusi bengkak, lantas mengapa saat gusi sudah tak lagi nyeri, namun demam ini tidak turun, selain itu sakit tenggorokan ini juga terasa semakin menyiksa, apalagi badanku juga terasa pegal-pegal terus. Pilek ini juga kenapa muncul. Ini pasti bukan sakit biasa.

Apakah ini covid? Aku tidak tahu, tapi aku tahu jika aku tes swab aku akan punya pijakan fakta yang solid untuk menyikapi kondisi tubuhku.

Akhirnya Jumat 25 Juni 2021, aku berangkat untuk tes swab mandiri di lab dekat rumah. Dimotivasi oleh perasaan ingin sembuh yang sekaligus tidak ingin mati, aku relakan uang 800 ribu untuk tes swab mandiri.

Hasilnya muncul keesokan hari Sabtu 26 Juni menunjukan bahwa aku positif covid-19. Dari situlah pergulatan curiga vs penyangkalan berakhir. Dengan sebuah kepastian terang benderang bagaimana aku harus menyembuhkan ragaku ini dan menghindari kematian.

Sebuah Pelajaran

Aku melihat beberapa fenomena orang-orang terlambat menghadapi fase penyangkalan-penyangkalan itu. Beberapa dari mereka baru bersedia dites ketika sudah dalam kondisi sesak. Ada yang bertahan tidak mau di swab padahal ciri-ciri gejalanya sudah sangat mengarah. Bahkan beberapa ada yang menolak karena takut hasilnya positif hingga akhirnya nyawanya tidak terselamatkan.

Penyangkalan-penyangkalan itu sangat dipengaruhi bagaimana penderita memaknai sikap sosial sekitarnya. Takut merasa dijauhi lingkungan. Takut di stigma pembawa penyakit ke lingkungan. Takut menyusahkan keluarga dll. Ini diperparah adanya narasi-narasi yang menyangkal keberadaan covid.

Selain itu secara internal ada dorongan takut mati. Sebenarnya mereka tahu penyakit covid bisa mengancam nyawa. Pada dasarnya mereka tidak ingin terkena covid. Daripada memastikan melalui tes swab, mereka lebih memilih untuk menganggap (menyangkal) dirinya bukan covid. Ini memang lebih menenangkan secara psikologis namun asumsi ini justru langkah yang gawat karena bisa justru mengancam nyawanya sendiri.

Aku sangat bersyukur bisa melewati fase penyangkalain ini. Namun ada yang aku sesalkan dalam fase pergulatan itu. Aku sempat berinteraksi dengan anak dan istriku, kedua orangtuaku dan ART tanpa masker selama periode itu. Aku juga sempat pergi ke dokter gigi. Lamanya pergulatan itu membuatku membahayakan banyak orang, orang tuaku, istri dan anakku, dokter gigi yang memeriksaku.

Jangan ulangi kesalahanku, jangan perpanjang episode pergumulan antara kecurigaan dan penyangkalan. Segera tes swab bila gejala-gejala semakin jelas muncul, karena semakin cepat tes hasil keluar semakin cepat Anda menyelamatkan diri Anda dan orang-orang sekitar Anda.

Sekian. Salam sehat selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun