Mohon tunggu...
kelvin ramadhan
kelvin ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Sleepy man

Kaum burjois jogja | Bertekad minimal sekali sebulan menulis di sini | Low-battery human| Email : Kelvinramadhan1712@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tradisi "Asal Forward, Baca Belakangan" Para Tetua Keluarga di Grup WhatsApp

23 Februari 2020   18:58 Diperbarui: 24 Februari 2020   00:11 3588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gebrakan Menteri Kesehatan yang Baru DR Terawan". Begitulah judul pesan berantai singkat yang dibagikan melalui Whatsapp (WA) oleh salah satu tetua di grup WA keluarga besar saya. Lucunya, tidak berselang lama kemudian, salah satu anggota keluarga besar saya yang berprofesi sebagai direktur salah satu rumah sakit swasta di Jakarta langsung membalas pesan singkat itu dengan pesan berbunyi "hoax.. dari dulu sudah begini. Ini bukan hal baru untuk pelayanan RS". 

Tontonan menggemaskan yang melibatkan dua anggota keluarga ini, terutama para tetua yang berusia 50-60 tahun, seringkali menghiasi chat room di grup keluarga besar kita sendiri.

Tidak sepatutnya juga bagi para anggota sebuah grup percakapan daring untuk menyebarkan berita berantai yang sumbernya belum mereka ketahui sebelumnya, terlepas apabila berita tersebut benar adanya.

Kebiasaan "asal forward, baca belakangan" para tetua ini menurut saya lama-kelamaan membuat risih sebagian anggota grup keluarga lainnya.

Malahan, terkadang jamak saya mengamati bahwa pesan-pesan berantai lebih sering muncul daripada pesan sederhana seperti menanyakan bagaimana kabar keluarganya sendiri.

Patut dipahami bahwa cekcok mengenai validitas informasi yang dibagikan di grup keluarga itu memperburuk hubungan antar anggota keluarga. Terutama, hubungan yang vertikal, seperti pakde-keponakan, nenek-cucu, dan segala hubungan vertikal yang eksis dalam sebuah keluarga. Ketika diadakan sebuah arisan keluarga besar, kerapkali para tetua yang terlibat cekcok itu terlihat canggung satu sama lain.

Apalagi, sudah menjadi tipikal anak muda untuk merasa risih terhadap serbuan pesan-pesan berantai di grup keluarga besarnya.

Akibatnya, pasukan anak muda di dalam sebuah grup keluarga bertindak apatis dengan mengambil posisi bodo amat terhadap segala tindak tanduk anggota keluarganya di grup, persis seperti kiprah saya dan sepupu di grup keluarga besar hingga saat ini.

Saya dan para sepupu malahan menjadikan hal itu sebagai candaan dalam sebuah obrolan ketika bertemu. 

Efek buruk lainnya adalah mengubah struktur percakapan dua arah yang "seharusnya" dihadirkan di dalam sebuah chat room, terlebih itu adalah grup keluarga besar, malah menjadi zona pertunjukkan siapa yang paling "nampak" paling up to date di kalangan tetua kita.

Tujuan adanya Grup WA untuk mendekatkan komunikasi keseluruhan keluarga besar yang terpisah jauh kini malah semakin menjauhkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun