#BoycottJapan sedang menjadi kata yang sangat populer di kalangan pegiat media sosial di Korea Selatan (Korsel). Ada apa dengan kata tersebut?Â
Setelah saya telusuri, ternyata #BoycottJapan adalah bentuk protes dari warga Korsel dengan menolak menggunakan ataupun membeli segala produk yang berasal dari Jepang. Usut punya usut ternyata hal tersebut dilatarbelakangi oleh keputusan Jepang yang membatasi ekspor material-material kimia pokok macam fluorinated polymide, photosensitising agent resist, dan hydrogen fluoride ke Korsel.
Walaupun saya baru mengetahui nama-nama material tersebut ketika menulis artikel ini, tapi satu yang jelas material itu biasa digunakan oleh perusahaan-perusahaan Korsel semacam LG, Samsung, SK Hynix, dll untuk memproduksi berbagai gawai cerdas, cip, dan semiconductors. Jelaslah pembatasan tersebut memukul industri hi-tech Korsel yang kini sedang hot-hotnya. Ini dibuktikan dengan merosotnya harga saham dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Adakah alasan kenapa Jepang melakukan tindakan yang mengkhianati prinsip perdagangan bebas tersebut? Lagi-lagi usut punya usut, tindakan Jepang ini dilatarbelakangi oleh putusan final Mahkamah Agungnya Korsel beberapa waktu yang lalu. Intinya adalah menuntut perusahan-perusahaan Jepang yang beroperasi di Korsel waktu Perang Dunia II berlangsung untuk memberikan kompensasi sebesar 1 hingga 1,5 miliar rupiah kepada masing-masing survivor tenaga kerja lokal.Â
Sudah menjadi kewajiban Jepang untuk melindungi perusahaan-perusahaannya. Maka dari itu, terjadi semacam tit-for-tat antara Jepang-Korsel.Â
Korsel menuding Jepang khususnya perusahaannya melakukan sistem kerja paksa kepada para warganya waktu perang lalu. Korsel merasa sangat dirugikan. Walhasil, Korsel mendorong warganya yang menderita akibat sistem tersebut untuk mengajukan ganti rugi. Dibuka lah jalur pintu pengadilan bagi warga-warga tersebut.
Sebenarnya, Jepang bukanlah negara yang gampang ngambek sebagaimana halnya Amerika Serikat. Akan tetapi, Jepang merasa dipermainkan oleh Korsel di dalam "Perjanjian 1965". Perjanjian yang memang dilakukan pada tahun 1965 tersebut juga menyepakati adanya ganti rugi kepada Korsel oleh perusahaan-perusahaan Jepang akibat Perang Dunia II.
Bedanya, perjanjian ini menyepakati ganti rugi yang hanya melibatkan perusahaan-perusahaan Jepang kepada pemerintahan Korsel. Ya, hanya perusahaan ke pemerintah. Bukan langsung kepada tenaga kerjanya yang mana adalah subjek sebenarnya yang dirugikan.
Nah, celah itu yang kini sedang diperjuangkan oleh Korsel melalui warga negaranya. Terkesan serupa tapi tak sama. Terkesan licik tapi juga tak ada salahnya. Dapat dipastikan legal. Jepang pun mengakuinya. Tapi tetap saja merasa dipermainkan oleh Korsel.
Maka dari itu, sekarang kondisinya gantian perusahaan Jepang yang meradang. Apalagi fakta bahwa warga Korsel terkenal berumur panjang jelas menambah beban yang harus ditanggung oleh perusahaan Jepang. Sekitar 300 perusahaan Jepang yang beroperasi di Korsel waktu perang terjadi. Ada yang sudah bangkrut. Namun, masih banyak juga yang sampai sekarang masih eksis. Malahan menjadi perusahaan yang mendunia saat ini.