Mohon tunggu...
kelvin ramadhan
kelvin ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Sleepy man

Kaum burjois jogja | Bertekad minimal sekali sebulan menulis di sini | Low-battery human| Email : Kelvinramadhan1712@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Quick Qount Membuktikan Ada Jutaan Suara Ingin Kembali Ke Zaman Orde Baru

20 April 2019   07:30 Diperbarui: 20 April 2019   10:04 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu serentak telah usai pada hari Rabu, 17 April 2019 lalu. Kejutan-kejutan perlahan muncul seiring hasil quick qount yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei nasional. Salah satunya datang dari Partai Berkarya. 

Partai yang mengandalkan nama besar pak Harto atau boleh juga disebut berideologikan Soehartoisme itu memang didirikan oleh anak beliau sendiri, yakni Tommy Soeharto. Berbagai lembaga survei sepakat menempatkan partai yang baru didirikan di tahun 2016 itu pada posisi kesebelas dengan kisaran 2-2,5 persen suara. 

Hebatnya Partai Berkarya berhasil mengungguli perolehan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang hanya memperoleh suara sekitar 2 persen dan berada pada urutan keduabelas di bawah Berkarya.

Dengan perolehan kisaran 2-2,5 persen suara itu, secara teknis memang partai berkarya gagal memenuhi ambang batas 4 persen untuk masuk ke dalam parlemen (DPR).

Namun ketidaklolosan itu tidak menarik perhatian saya sama sekali. Karena pada dasarnya saya yakin Partai Berkarya pasti akan gagal memenuhi ambang batas tersebut. 

Yang menjadi perhatian saya adalah angka 2-2,5 persen suara hasil quick qount. Padahal sebelum adanya hasil quick qount pemilu legislatif, Partai Berkarya digadang-gadang oleh berberapa lembaga survei hanya mampu mendulang kisaran 0,5 persen suara. Perolehan suara quick qount Partai Berkarya pun melonjak hampir lima kali lipat dari survei sebelumnya. 

Dengan angka 2-2,5 persen tersebut berarti ada sekitaran 3,8 juta warga Indonesia yang menjatuhkan pilihannya kepada Partai Berkarya. Tentunya dengan asumsi semua pemilih yang jumlahnya 190 juta turut serta dalam pemilihan umum tersebut.

Fenomena Berkarya ini cukup menunjukkan bahwa ternyata "masih" ada saja warga Indonesia yang ingin kembali lagi ke zaman orde baru dan jumlahnya itu cukup banyak. 

Reformasi yang telah berjalan lebih dari 20 tahun ini belum mampu membuat seluruh warga kita sadar akan brengseknya zaman keotoriteran itu. Memilukan sebenarnya namun juga membuat penasaran pemilih muda seperti saya.

Fakta yang mengagetkan lagi adalah bahwa partai ini cukup minim sekali sumbangan dana kampanye dari pemilih loyalnya, yaitu hanya sejumlah dua juta rupiah saja. Paling sedikit di antara partai lainnya. Pengamatan empiris saya juga menunjukkan bahwa Partai Berkarya ini jarang sekali menampilkan spanduk ataupun poster kampanye di sepanjang jalan yang saya di kota-kota yang saya singgahi. 

Jauh berbeda dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang cukup masif dalam berkampanye di pinggiran jalan maupun dibelantara dunia online. Hal ini membuktikan bahwa para pemilih Partai Berkarya adalah orang-orang lama atau boleh disebut juga tua yang tidak membutuhkan informasi berupa spanduk ataupun poster mengenai calon-calon yang diusung. 

Yang penting  ada bau-bau Pak Harto saja sudah cukup untuk membuat mereka terpanah. Istilahnya mungkin menurut saya pribadi adalah "para militan Pak Harto". 

Para militan ini secara tidak langsung sebenarnya merindukan sosok pemimpin yang otoriter seperti Pak Harto. Yang mungkin juga membenci adanya sistem yang demokratis seperti saat ini. 

Menariknya, masyarakat dunia saat ini cenderung lebih menyukai kepemimpinan otoriter daripada demokratis. Hal ini dibuktikan dengan sosok seperti Trump di USA, Bolsonaro di Brazil, Duterte di Filipina, Xi Jinping di China, Pangeran Salman di Saudi, junta militer di Thailand, serta masih banyak contoh lainnya. 

Saat ini "virus" otoriter ini coba dibawa masuk oleh para pendukung Partai Berkarya. Dan perkembangannya cukup progresif dengan sekitar 3,8 juta warga yang terjangkit. Penawarnya hanyalah satu, yakni kesadaran diri kita pribadi untuk melihat lagi ke masa lalu mengenai dampak keotoriteran zaman Pak Harto. 

Cukuplah sosok Pak Harto  hanya ada satu saja di sepanjang negara kita berdiri. Supaya dapat dijadikan contoh bagi generasi mendatang mengenai bahayanya memiliki pemimpin yang otoriter.

Salam damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun