Mohon tunggu...
Fauzan Ammar Fata Yusuf
Fauzan Ammar Fata Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Amateur Writer | A Longlife Learner

Masih butuh belajar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Polemik RUU Minerba: Pro Korporasi, Malapetaka untuk Rakyat dan Lingkungan

6 Juni 2020   09:46 Diperbarui: 6 Juni 2020   09:49 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bilamana pembangunan  dengan kebijakan "negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang berkonsekuensi ternasionalisasinya hak-hak lokal (yang disebut hak-hak adat, khususnya yang berobyekkan tanah dan sumber-sumber agraria lain), maka terlihat jelas bahwa sebenarnya tidak ada kebijakan yang pro the (local) people (in the periphery) itu.

Jika kita kilas balik, pemerintah sudah meneken meneken UU No. 16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement. Artinya dalam Undang-undang itu Indonesia menyatakan untuk ikut komitmen mencegah bencana perubahan iklim, dengan cara pengurangan emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor maupun dengan memajukan pembangunan berkelanjutan. Tapi, selama ini apakah pemerintah menjalankan dengan sungguh-sungguh?

Setelah keluarnya UU No. 16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement, Indonesia malah berencana menambah pembangkit listrik batu bara. Padahal, batu bara adalah salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terparah di dunia. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan evaluasi komitmen perubahan iklim Indonesia 2019, Indonesia tidak mempertimbangkan penghentian batu bara, justru berniat untuk memasang pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 6 gigawatt pada 2020 dan menggandakan kapasitasnya pada 2028.Industri batu bara disubsidi besar-besaran, baik subsidi langsung lewat jaminan pinjaman, pembebasan pajak, royalti dan tarif pajak, maupun subsidi tidak langsung lewat penetapan batas harga batu bara.

Di mana komitmen Indonesia terhadap UU No. 16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement?

Alih-alih ingin mengurangi emisi gas rumah kaca, malah industri batu bara dikuatkan dengan adanya Revisi UU Minerba. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), sebanyak 90 persen isi dan komposisi RUU (Minerba) ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batu bara. Penambahan, penghapusan, dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan.

"Tidak ada pasal yang mengatur batasan operasi pertambangan di seluruh tubuh kepulauan yang sudah dipenuhi dengan perizinan, tumpang tindih dengan kawasan pangan, berada di hulu dan daerah aliran sungai, menghancurkan kawasan hutan, dan tumpang tindih dengan kawasan berisiko bencana," kata Walhi.

Di himpun dari berbagai sumber, berikut adalah pasal-pasal yang dipermasalahkan :

  1. Pasal 169A dan 169B menyebut pemegang Kontrak Karya (KK) dan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) akan memperoleh kemudahan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan perpanjangan IUPK tanpa melalui proses lelang yang berpotensi seenaknya. Jika perpanjangan tanpa lelang ini akan menguntungkan pengusaha. Padahal, dengan lelang pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap pengelolaan tambang tersebut.
  2. Pasal 47 (a) menyebut jangka waktu kegiatan operasi produksi tambang mineral logam paling lama adalah 20 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Ini terlalu lama, perusahaan tambang semakin lama berdiri.
  3. Pasal 100 (b) menyebut Menteri atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang dengan dana jaminan yang diberikan oleh Pemegang IUP dan IUPK. Pasal ini bisa memungkinkan pihak tambang akan lepas tangan untuk tidak mengurus reklamasi dan pasca tambang dengan adanya pihak ketiga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak tambang bisa seenaknya dengan menyediakan uang begitu saja, tanpa mengurus reklamasi dan pasca tambang.
  4. Pasal 102 dalam revisi UU Minerba juga menghilangkan kewajiban pengusaha batu bara untuk melakukan hilirisasi serta memberikan segala insentif fiskal dan non fiskal bagi pertambangan dan industri Batubara.
  5. Pasal 4 ayat 2, mengatur bahwa penguasaan mineral dan batu bara diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dalam UU lama, pasal itu juga memberikan kewenangan untuk pemerintah daerah. UU Minerba baru ini mengatur semua kewenangan perizinan tak lagi ada di pemerintah daerah, melainkan ditarik ke pusat. Sentralisasi ini dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
  6. Pasal 22 (a) dan (b), kriteria menetapkan WPR telah membuka ruang bagi penambangan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar, setelah mengubah luas maksimal sebelumnya 25 hektar.
  7. Pasal 42 dan Pasal 42A, Pasal ini dianggap mempermudah pengusaha pertambangan mineral dan batu bara dalam menguasai lahan dalam jangka waktu yang lebih lama untuk keperluan eksplorasi. Sebelumnya waktu yang diberikan untuk eksplorasi adalah 2 tahun.
  8.  Dihapusnya Pasal 165 UU Minerba Lama. Pasal 165 dalam UU Minerba lama memuat sanksi pidana bagi pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pasal itu menyebut, "Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah)" Namun ketentuan ini hilang dalam UU baru. Sejumlah pihak menilai hilangnya UU ini membuka celah bagi korupsi di bidang minerba.
  9. Pasal 162 dan pasal 164, dua pasal ini dinilai membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Pasal 162 menyebut bahwa setiap orang yang mengganggu kegiatan tambang yang sudah sesuai syarat dan ketentuan akan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Adapun Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162. Sanksi tambahan itu berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun