Mohon tunggu...
Fauzan Ammar Fata Yusuf
Fauzan Ammar Fata Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Amateur Writer | A Longlife Learner

Masih butuh belajar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Polemik RUU Minerba: Pro Korporasi, Malapetaka untuk Rakyat dan Lingkungan

6 Juni 2020   09:46 Diperbarui: 6 Juni 2020   09:49 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah 25 hari semenjak DPR menyetujui Rancangan UU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba menjadi UU.

Hanya Fraksi partai demokrat saja yang tidak setuju UU Minerba ini, yang lain malah justru menyetujui UU Minerba ini. Fraksi yang menyetujui adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PKS, PAN, dan PP. Ini menjadi sebuah pertanyaan besar, bagaimana pemikiran orang-orang yang ada di fraksi-fraksi tersebut sehingga menyetujui UU Minerba? Padahal mereka adalah dipilih oleh rakyat. Jelas-jelas UU Minerba ini menguntungkan Korporasi dan malah menjadi malapetaka bagi rakyat dan lingkungan.

Jika kita menilik kembali, sebenarnya usulan revisi UU Minerba sudah muncul sejak 2014. Pembahasan di tahun-tahun berikutnya tak pernah rampung. DPR pun menggunakan alasan tersebut yang menjadikan salah satu penyebab disahkan UU Minerba ini. Anggota Komisi Energi atau Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Maman Abdurrahman mengklaim revisi Rancangan Undang-undang Minerba mendesak untuk segera disahkan. Maman beralasan, revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu sudah dibahas sejak 2015.

"Sangat urgen (disahkan) mengingat pembahasan RUU ini sudah dari tahun 2015, ini menjadi wajah lembaga legislatif dalam menghasilkan produk UU," kata Maman dilansir dari nasional.tempo.co

Ketersediaan dokumen pembahasan RUU Minerba sangatlah kurang, yang mana seharusnya bisa diakses seluas-luasnya oleh publik. Dilansir dari pwypindonesia.org.id, hasil monitoring IPC atas ketersediaan dokumen terkait RUU Minerba di masa DPR RI Periode 2014-2019 menunjukkan bahwa akses informasi dokumen RUU secara Publik masih terbilang minim. 

Dokumen yang diupload dalam website DPR RI hanya bersifat internal antara Pemerintah dan DPR. IPC mencatat ada 11 dokumen terkait ketersediaan dokumen di DPR RI dan isinya yang tersedia dari tahun 2012 sampai 2019. Jika di cari di situs pencarian, tidak ada publikasi dari DPR berupa dokumen-dokumen pembahasan RUU Minerba. Penulis menemukan hanya DIM tahun 2018 saja, itupun dari situs berikut.

Atas dasar itulah menjadi salah satu penyebab kurangnya partisipasi dan pengawasan publik terhadap pembahasan RUU Minerba. Bagaimana mau menilai atau memberikan aspirasi jika ketersediaan dokumen pembahasan RUU Minerba tidak ada? Tidak hanya publik yang terhambat untuk partisipasi dan pengawasan terhadap RUU Minerba saja, Media pun tidak luput juga. Media mengalami kesulitan untuk memberitakan perkembangan pembahasan RUU, serta akan timbul kecurigaan publik bahwa adanya kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesepakatan di ruang "gelap".

Dilansir dari pwypindonesia.org.id, setelah melakukan permintaan data draft RUU Minerba melalui PPID dengan nomor register 1473/KIP/XI/2019, hanya diberikan Draft RUU Minerba pada tahun 2009. Akibatnya, timbullah pertanyaan besar bagi publik, transparansi seperti apa yang diinginkan DPR? Bagaimana bisa malah mengirim draf tahun 2009? Ada apa dengan DPR?

Jika DPR tidak melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan RUU Minerba dan hanya meminta bagi publik yang keberatan untuk melakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, maka ini menjadi sebuah kemunduran dalam demokrasi kita. Ketika partisipasi publik diabaikan dan hanya melibatkan partisipasi elite, ini menjadi tanda bahwa terjadi perubahan demokrasi partisipatoris menjadi demokrasi elite.

Minimnya partisipasi publik khususnya masyarakat dan pelaku usaha sekitar tambang mengindikasikan bahwa terdapat kejanggalan dalam pembahasan dan pengesahan RUU Minerba, seperti keberpihakan terhadap korporasi dan seakan-akan tutup telinga dari masyarakat. 

Seharusnya perumusan dan pembahasan RUU Minerba bisa dibuka ruang seluas-luasnya, agar bisa mendapat aspirasi-aspirasi dari seluruh elemen masyarakat. Dampak ini yang paling dirasakan adalah masyarakat sekitar tambang dan lingkungan. Partisipasi publik merupakan salah satu prasyarat dalam proses legislasi, yang secara peraturan dan perundangan menjadi kewajiban dari DPR dan Pemerintah untuk melaksanakannya.

Dilansir dari pwypindonesia.org.id, hasil monitoring IPC atas kinerja legislasi pada masa sidang V tahun 2016 terutama dalam pembahasan 4 RUU : RUU Migas, RUU Minerba, RUU Pilkada dan RUU Tax Amnesty, menunjukkan juga bahwa rapat pembahasan RUU ini lebih banyak bersifat tertutup dan jauh dari jangkauan publik. 

Lebih lanjut catatan IPC mengemukakan bahwa terdapat 48 sidang diselenggarakan untuk membahas 4 RUU tersebut, 31 diantara-Nya dilaksanakan secara tertutup, dan 27 diantara-Nya dilaksanakan di luar Gedung DPR. Hasil ini sangatlah mengejutkan. Di mana akal sehat DPR?

Sejumlah studi, menunjukkan bahwa tambang malah mempengaruhi tingkat kemiskinan masyarakat di sekitarnya.

"Di daerah tambang mana yang sejahtera penduduknya dan mandiri? Apakah DPR bisa membuktikan bahwa ada daerah tambang yang penduduknya sejahtera?" ucap Peneliti Auriga, Iqbal Damanik dilansir dari kumparan.com

Pada tahun 2015, terdapat studi yang dilakukan oleh ekonom dari Australian National University, Budi Resosudarmo, dan Sambit Bhattarcharya dari University of Sussex menunjukkan bahwasanya pertumbuhan tambang di Indonesia cenderung meningkatkan rasio penduduk miskin hingga 1,72 persen.

Pada tahun 2017, terdapat studi yang dilakukan Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara, Ahmad Zaini menyatakan bahwa sektor batu bara berkorelasi positif terhadap ketimpangan pendapatan.

Pada tahun 2013, terdapat studi yang dilakukan Alumni dan Dosen Universitas Mulawarman, Samuel Risal, DB. Paranoan, Suarta Djaja, menyatakan bahwa kesempatan bekerja bagi masyarakat sekitar tambang hanyalah skala yang sangat kecil. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari wawancara dengan 30 informan,  hanya 6 orang yang menyatakan bahwa keberadaan perusahaan pertambangan Batubara memberikan peluang berusaha, yang mana akan memberikan pengaruh terhadap pendapatan mereka. 

Selebihnya mengatakan bahwa tidak memberi peluang untuk berusaha, justru perusahaan pertambangan mematikan usah mereka di sektor pertanian, perkebunan dan perikanan. Banjir lumpur, sering merusak tanaman masyarakat, baik tanaman padi maupun perkebunan sehingga menurunkan tingkat produksi hasil pertanian para petani. Tingkat pendapatan masyarakat menjadi menurun dan tidak jarang petani di wilayah  Kelurahan tempat yang dijadikan studi ini beralih profesi ke sektor lain seperti pertukangan dan sektor lainnya.

Kegiatan pertambangan memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan. Dilansir dari buku Hukum Pertambangan (2004) karya Abrar Saleng, mengemukakan berbagai dampak negatif kegiatan pertambangan adalah sebagai berikut :

  1. Usaha pertambangan dalam waktu relatif singkat dapat mengubah topografi tanah dan keadaan muka tanah (land impact) sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya.
  2. Usaha pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, antara lain pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah air, tailing, serta buangan tambang yang mengandung zat-zat racun.
  3. Pertambangan yang dilakukan tanpa mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi geologi lapangan dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang, dan gempa.

Jika berbicara dalam konteks HAM, dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 diatur bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Maknanya lingkungan hidup yang baik sehat adalah dapat memungkinkan manusia berkembang secara optimal, secara selaras, serasi, dan seimbang. 

Adanya jaminan semacam ini memberi kemungkinan bagi setiap orang untuk menuntut kepada pemerintah agar "kebaikan dan kesehatan lingkungannya perlu diperhatikan dan ditingkatkan terus dan oleh karenanya pula adalah merupakan kewajiban bagi negara untuk selalu menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warganya dan secara terus menerus melakukan usaha-usaha perbaikan dan penyehatan lingkungan hidup.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bilamana pembangunan  dengan kebijakan "negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang berkonsekuensi ternasionalisasinya hak-hak lokal (yang disebut hak-hak adat, khususnya yang berobyekkan tanah dan sumber-sumber agraria lain), maka terlihat jelas bahwa sebenarnya tidak ada kebijakan yang pro the (local) people (in the periphery) itu.

Jika kita kilas balik, pemerintah sudah meneken meneken UU No. 16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement. Artinya dalam Undang-undang itu Indonesia menyatakan untuk ikut komitmen mencegah bencana perubahan iklim, dengan cara pengurangan emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor maupun dengan memajukan pembangunan berkelanjutan. Tapi, selama ini apakah pemerintah menjalankan dengan sungguh-sungguh?

Setelah keluarnya UU No. 16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement, Indonesia malah berencana menambah pembangkit listrik batu bara. Padahal, batu bara adalah salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terparah di dunia. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan evaluasi komitmen perubahan iklim Indonesia 2019, Indonesia tidak mempertimbangkan penghentian batu bara, justru berniat untuk memasang pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 6 gigawatt pada 2020 dan menggandakan kapasitasnya pada 2028.Industri batu bara disubsidi besar-besaran, baik subsidi langsung lewat jaminan pinjaman, pembebasan pajak, royalti dan tarif pajak, maupun subsidi tidak langsung lewat penetapan batas harga batu bara.

Di mana komitmen Indonesia terhadap UU No. 16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement?

Alih-alih ingin mengurangi emisi gas rumah kaca, malah industri batu bara dikuatkan dengan adanya Revisi UU Minerba. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), sebanyak 90 persen isi dan komposisi RUU (Minerba) ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batu bara. Penambahan, penghapusan, dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan.

"Tidak ada pasal yang mengatur batasan operasi pertambangan di seluruh tubuh kepulauan yang sudah dipenuhi dengan perizinan, tumpang tindih dengan kawasan pangan, berada di hulu dan daerah aliran sungai, menghancurkan kawasan hutan, dan tumpang tindih dengan kawasan berisiko bencana," kata Walhi.

Di himpun dari berbagai sumber, berikut adalah pasal-pasal yang dipermasalahkan :

  1. Pasal 169A dan 169B menyebut pemegang Kontrak Karya (KK) dan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) akan memperoleh kemudahan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan perpanjangan IUPK tanpa melalui proses lelang yang berpotensi seenaknya. Jika perpanjangan tanpa lelang ini akan menguntungkan pengusaha. Padahal, dengan lelang pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap pengelolaan tambang tersebut.
  2. Pasal 47 (a) menyebut jangka waktu kegiatan operasi produksi tambang mineral logam paling lama adalah 20 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Ini terlalu lama, perusahaan tambang semakin lama berdiri.
  3. Pasal 100 (b) menyebut Menteri atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang dengan dana jaminan yang diberikan oleh Pemegang IUP dan IUPK. Pasal ini bisa memungkinkan pihak tambang akan lepas tangan untuk tidak mengurus reklamasi dan pasca tambang dengan adanya pihak ketiga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak tambang bisa seenaknya dengan menyediakan uang begitu saja, tanpa mengurus reklamasi dan pasca tambang.
  4. Pasal 102 dalam revisi UU Minerba juga menghilangkan kewajiban pengusaha batu bara untuk melakukan hilirisasi serta memberikan segala insentif fiskal dan non fiskal bagi pertambangan dan industri Batubara.
  5. Pasal 4 ayat 2, mengatur bahwa penguasaan mineral dan batu bara diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dalam UU lama, pasal itu juga memberikan kewenangan untuk pemerintah daerah. UU Minerba baru ini mengatur semua kewenangan perizinan tak lagi ada di pemerintah daerah, melainkan ditarik ke pusat. Sentralisasi ini dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
  6. Pasal 22 (a) dan (b), kriteria menetapkan WPR telah membuka ruang bagi penambangan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar, setelah mengubah luas maksimal sebelumnya 25 hektar.
  7. Pasal 42 dan Pasal 42A, Pasal ini dianggap mempermudah pengusaha pertambangan mineral dan batu bara dalam menguasai lahan dalam jangka waktu yang lebih lama untuk keperluan eksplorasi. Sebelumnya waktu yang diberikan untuk eksplorasi adalah 2 tahun.
  8.  Dihapusnya Pasal 165 UU Minerba Lama. Pasal 165 dalam UU Minerba lama memuat sanksi pidana bagi pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pasal itu menyebut, "Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah)" Namun ketentuan ini hilang dalam UU baru. Sejumlah pihak menilai hilangnya UU ini membuka celah bagi korupsi di bidang minerba.
  9. Pasal 162 dan pasal 164, dua pasal ini dinilai membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Pasal 162 menyebut bahwa setiap orang yang mengganggu kegiatan tambang yang sudah sesuai syarat dan ketentuan akan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Adapun Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162. Sanksi tambahan itu berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun