Pendapatan per kapita negara Libya termasuk salah satu yang tertinggi di benua Afrika. Pendapatan tersebut berasal dari pendapatan minyak tetap yang menjadi sumber pendapatan utama negara Libya. Pendapatan dari sektor minyak menyumbang lebih dari setengah PDB dan 97% ekspor.Â
Libya memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika dan merupakan kontributor penting bagi pasokan global minyak mentah. Bank Dunia juga menyatakan jika Libya masuk sebagai negara dengan Ekonomi Pendapatan Menengah Atas bersamaan dengan tujuh negara lain di Afrika. Dengan jumlah populasi yang sedikit, pemerintah Libya dapat memberikan jaminan sosial yang sangat baik terutama untuk perumahan dan pendidikan.
Saat Negara Libya berada di bawah pimpinan Muammar al-Qaddafi (1969--2011), pemerintah melakukan kontrol yang kuat atas ekonomi, industri perminyakan digencarkan pada 1970-an, dan serikat pekerja negara bagian dan organisasi menjalankan bisnis besar industri. Untuk mengurangi ketergantungan negara yang besar pada minyak, kebijakan ekonomi pembangunan pertanian dan industri diterbitkan.
Alih-alih keadaan Libya pasca Qaddafi menjadi lebih maju dan beradab, justru terpental mundur dalam konflik antar elit dan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan. Perang saudara menghancurkan Libya. Produksi minyak yang merupakan jantung ekonomi, terjun bebas.Â
Dari sekitar 1,7 juta barel per hari di tahun 2010 menjadi hanya 400 ribu barel per hari di 2016. Sebanyak 435 ribu orang kehilangan rumah. Lebih 100 ribu orang mengungsi ke Italia (4500 diantaranya tenggelam/tewas sebelum menginjakkan kaki di Italia). Lalu, sekitar 44 persen rumah sakit hancur total. Sebanyak 558 sekolah tidak lagi beroperasi. Dan karena konflik itu, 279 ribu anak didik tak lagi bersekolah.
Singkat cerita, ada banyak kemunduran dan kerusakan secara ekonomi, sosial, dan politik pasca tergulingnya Qaddafi. Jangankan untuk berpikir ekonomi bergerak maju, membayangkan hidup tenang tanpa desing peluru, ledakan bom, terjangan roket, itu saja sulit.
HIKMAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI KONFLIK LIBYA
Â
Arab Spring gerakan politik yang sama sekali tidak terpikirkan akan dampaknya terasa hampir disemua negara arab terjadi bisa menjadi awal mula runtuhnya kekuasaan Muammar al-Qaddafi yang telah bertahan kurang lebih 40 tahunan. Â
Dari konflik Libya kita dapat belajar bahwa penggunaan gaya kepemimpinan otoriter yang berlebihan dapat menyebabkan pemimpin dipandang sebagai orang yang mendominasi dan keras kepala. Hal tersebut dapat menimbulkan kebencian di antara rakyatnya.Â
Perang saudara tidak akan pernah menyelesaikan apapun, hal ini malah akan membuat keuntungan bagi pihak lain yang memanfaatkan situasi tersebut. Indonesia dapat belajar juga dari hal yang terjadi di Libya tentang penerapan sistem kepemimpinan dan tingkat kerugian yang dapat disebabkan dari perang saudara.Â