Mohon tunggu...
Kelik Wardiyono
Kelik Wardiyono Mohon Tunggu... Guru - Pendidik di SMAIT Ibnu Abbas Klaten

Seorang yang menyukai bersepeda, membaca buku dan travelling untuk menambah wawasan dan kearifan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengelola untuk Perubahan yang Konstan

2 Desember 2024   07:47 Diperbarui: 2 Desember 2024   08:05 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim, (Q.S. Ali 'Imran/3:140)

Tren di lembaga pendidikan terus menerus berubah. Ketika saya kecil dulu, lembaga pendidikan Islam jauh tertinggal dari lembaga pendidikan negeri, apalagi jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh non muslim. Pada saat saya SMP, di era pertengahan 90-an, Madrasah Tsanawiyah (MTs) adalah pilihan terakhir kebanyakan warga masyarakat untuk pendidikan anaknya. 

Lebih miris lagi adalah pondok pesantren, di masyarakat saya pada masa itu, pondok pesantren dipersepsikan sebagai "bengkel akhlak" anak-anak yang orangtuanya sudah kesulitan untuk mendidik di rumah.

Kemajuan teknologi dan perubahan sosial menyebabkan perubahan lansekap lembaga pendidikan. Akhir 90-an dan awal 2000-an Sekolah Islam Terpadu (SIT) mulai muncul. Seiring dengan pergantian dari tahun ke tahun, SIT menjadi tren pendidikan dan menjadi salah satu lembaga pendidikan yang unggul di negeri Indonesia tercinta.

 Tren ini berlanjut hingga kini. Pendirian sekolah baru dengan mencantumkan "Islam Terpadu" seolah menjadi  "semacam garansi" bahwa sekolah itu bagus, walaupun kita belum tahu siapa yang terlibat, bagaimana kurikulum dan  sistem yang ada di dalamnya.

Bagaimana dengan pendidikan berbasis asrama atau bahkan pondok pesantren?. Pada saat ini  kita menyaksikan berbagai lembaga pendidikan, baik negeri dan swasta mengembangkan eksperimen pendidikan berbasis asrama dan pondok pesantren. 

Faktor darurat moral dan akhlak menjadi kekhawatiran(anxiety) terbesar orang tua  di era disrupsi teknologi Internet of Things pada hari ini. Tentu dengan tidak menafikan beberapa catatan kejadian buruk tentang moral dan akhlak yang terjadi di beberapa lembaga pendidikan berbasis asrama dan pondok pesantren. 

Demikian pula pembelajaran al Qur'an. Ketika kecil dulu, saya belajar membaca al Qur'an di musholla kecil di desa dengan buku qaidah baghdadiyyah. Era selanjutnya adalah metode  Iqro' yang tersebar di seluruh nusantara. 

Saya masih ingat foto kyai As'ad Humam di sampul belakang buku Iqro untuk menjamin keaslian. Menyusul kemudian metode Tilawati, Wafa, Muriqi, dan lain sebagainya.  Saat ini, bisa  membaca al Qur'an menjadi hal yang "ketinggalan", menghafal/tahfidz al Qur'an yang sedang menjadi "tren  kekinian". 

Kelak suatu saat, orang yang hafal al Qur'an 30 juz mungkin belum "diakui" dan dianggap mumpuni jika tidak mempunyai sanad tahfidz. Bahkan saya membayangkan, hafal al Qur'an juga harus dibarengi dengan pengetahuan dan pemahaman akan tafsir serta usaha  bagaimana mentadabburi ayat-ayat suci itu agar bisa diimplementasikan dalam kehidupan. Entah kapan masanya hal terakhir ini akan menjadi "tuntutan dan tren masa depan"

Perubahan akan selalu terjadi baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Setiap lembaga pendidikan harus dikelola untuk menghadapi perubahan yang terus menerus. Tidak ada pilihan lain, kecuali lembaga pendidikan harus terus berinovasi agar tidak kelihatan usang dan selalu kompatibel terhadap tuntuan jaman. 

Kaidah "al muhafadzatu 'ala al qodimi ash sholihi wal akhdzu bi al jadidi al ashlah" (Menjaga dan melestarikan hal-hal baik di masa yang telah lalu dan  mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik ) adalah cara kita mendamaikan antara stabilitas dan inovasi. Saya selalu ingat quote prof Rhenald Kasali yang selalu disebutkan di akhir podcast beliau; "stay relevant"

Alternatif Poin Tindakan: Pikirkan dan putuskan bagaimana lembaga pendidikan bisa terus berinovasi  secara  sistematis dan simultan. Masukkan inovasi ini dalam proses manajemen lembaga pendidikan dengan tidak mengesampingkan segala hal yang baik dalam lembaga dan perlu dilestarikan. Hal ini perlu agar kita sebagai pemimpin lembaga pendidikan tidak bekerja "seolah-olah dari titik nol/titik A lagi" sekaligus mempercepat pencapaian tujuan selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun