Saya terima nikah dan kawinnya Cintya Ananda Puspita binti Arif Rais dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai. “Sah! Sah! Sah!” Mantra sakti dirapal, runtut, lengkap, jelas, mantap, penuh percaya diri oleh mempelai pria yang pagi tadi pucat pasi. Tapi, kini sumringah, menebar senyum ke seluruh tamu undangan yang tiada henti silih berganti naik turun panggung pelaminan untuk memberikan ucapan selamat. Pelaminan megah hasil karya wedding organizer kenamaan di Kota Bandung. Kelir berwiru dominan merah jambu dengan kombinasi putih bersih mencitrakan diri dengan rasa cinta kasih yang sedang tumbuh bersemi. Suci dan bersih.
***
Bulan sudah tergelincir di kaki langit barat, ditindih sinar matahari yang mulai merajut cahaya pagi dibalik fajar yang menggaris cakrawala di ujung timur. Dipta terjaga semalan, sedetikpun tak mampu tenggelam dalam peraduan. Tampias sinar matahari yang menerobos kain korden berwarna krem menyilaukan matanya yang bulat besar, bermahkotakan alis tebal hitam legam. Jantung dan hatinya merintih tak menentu, berdebur seperti ombak yang bergejolak, bergemuruh seperti merapi yang menghambur pijaran api. Dipta menyingkap selimut yang mengungkungnya, membebaskan tubuhnya terjamah dingin AC dari kamar hotel berbintang tiga di pusat kota.
Rambut yang menyentuh pundak seakan menari seperti ombak mengiringi tubuh tinggi tegapnya keluar ke teras kamar hotel. Tangannya menjinjing cangkir kopi yang, seharusnya mampu membangkitkan semangat oleh aroma sedap yang tercium oleh hidungnya yang bangir. Kumis tipisnya melengkung, mengikuti gerak bibirnya menyisip kopi. Sambil menyandarkan diri pada sandaran kursi, logikanya mencoba mempengaruhi hatinya yang belum bisa berlaku santai menghadapi hari ini. Hari yang akan menjadi satu dari sekian banyak hari yang begitu berkesan dalam hidupnya.
***
Lelaki paruh baya melenggak-lenggok, bersetelan hitam-hitam, berkebat sarung bercorak kotak setinggi lutut, dan blangkon batik ceper menangkupi kepalanya. Baju hitamnya, berlis putih selebar satu setengah ruas jari pada ujung lengan dan landasan kancingnya, yang dibiarkan terburai. Lis berwarna putih yang dihiasi rajutan berpola kujang, senjata tradisional ranah pasundan. Lelaki itu bercakar ayam, bibirnya berkecap- kecap menahan cangklong tanduk rusa yang disumpal dengan rajangan tembakau kering, menggulun kepulan asap. Pernik gelang bergelambir di lengan, dan kalung tali tambang dengan bandul kantong blacu berwarna hitam menambah penampilannya yang nyentrik pagi ini.
Mang Lengserpanggilan kehormatannya. Energik menghentak-hentakkan kaki, tangannya direntang memanjang. Sendi pergelangan tangan kanan kemudian dikokang tinggi ke atas meliak liuk, sementara tangan kirinya meregang hampir tegak lurus dengan tubuhnya yang pecicilan tak mau diam. Gerakannya eksotik, nyeni, enak dipandang, terus celedang-celedok mengikuti lantunan irama sunda yang bertalu dari kombinasi peralatan musik yang beraneka ragam. Mang Lengser,menjadi semacam pemandu arak-arakan rombongan yang beranggotakan hampir lima puluh orang.
Rombongan yang tak satu orang pun bibirnya mengatup rapat, karena harus sesekali membuka lebar, menarik ujung simpulnya ke atas, dan menunjukkan deret gigi depan. Iya, inilah rombongan temanten pria, yang di tuntun oleh tarian jenaka dari Mang lengser.Dipta, lelaki yang namanya mengesankan nama seorang perempuan, menjadi bagian rombongan itu. Hati dan jantungnya belum berubah, persis seperti semalam, saat rasa kantuk seakan murtad dari jiwa dan raganya. Menyisakan kantung mata yang menghitam.
Lantunan lagu-lagu berbahasa sunda dengan sarat pemaknaan akan cinta dan semangat menjalin kasih, mendayu sahdu dari bibir manis seperempat lusin sinden yang berayun serasi seperti tertiup angin. Parade adat terus berlanjut, dan tampaknya masih akan berjalan sangat panjang. Raut wajah Dipta tampak jelas menunjukkan ekspresi kebosanan. Cukup masuk akal, bagi Dipta yang Jawa totok, kelahiran Jogja.
Ritual adat seakan berjalan sangat lambat di penglihatan Dipta. Dituntun oleh sinden senior dengan dandanan serba menor, prosesi berlanjut acara mapag, kemudian prosesi tembung trima yang, pastinya hanya formalitas. Bayangkan, kalau saat prosesi pernikahan adat yang serba ribet ini, tembung dari temanten pria tidak disambut terima oleh pihak temanten perempuan. Tak dapat lagi dibayang, baratayudha era milenium semacam apa yang akan pecah.
Tak mau terbenam dalam kebosanan, Dipta belajar menyesuaikan diri dengan berusaha menikmati tahapan demi tahapan. Saat kepalanya mulai ikut bergoyang mengikuti ritme musik dalam prosesi pernikahan sunda yang njlimet, jiwa raganya seakan tersengat oleh daya listrik berkekuatan ribuan volt. Hatinya seakan membeku, saat pemandu acara membacakan adicara berikutnya. Pelaksanaan ijab qobul, ruang rasanya kembali bergejolak liar. Sebentuk keringat sebesar biji kacang bergelantungan di kening dan pelipisnya.
Mulutnya kaku, penglihatannya gelap, dan kupingnya berdenging seperti menjadi tuli seketika, tak mampu menafsirkan hingar bingar sekelilingnya. Sayup kata-kata yang dapat ia denganr adalah, SAH!!! SAAH!!! SAH!!! Dan puja-puji Tuhan kasak-kusuk berbisik berlombo memasuki rongga telinganya.
Mata yang dari tadi dirundukkan menatapi sepatu pantofelnya yang disemir mengkilap, kini mulai berani menatap sebentuk makhluk Tuhan yang dianugrahi keindahan. Berbalut busana etnik, berwiru putih dengan hiasan manik-manik mutiara yang memantulkan kilau lembut. Diselaminya dari ujung kaki, ke atas, dan berhenti pada rona merah wajah cantik mempesona. Ratu hari ini, Pita, Cintya Ananda Puspita.
Sang ratu. Menebarkan senyum terbaiknya ke khalayak yang hadir memberinya ucapan selamat. Tubuhnya yang tinggi, sangat serasi bersanding dengan lelaki di sebelahnya. Sesorang yang baru saja mengikrarkan janjinya sehidup semati, menjadi imamnya, siap menuntunnya dalam membina keluarga idaman.
Rupanya ayu, bercahaya teduh seperti rembulan. Paling terang diantara bintang gemintang. Tapi, sorot matanya, sama sekali tak bisa berbohong. Setidaknya tak bisa membohongi Dipta yang perlahan mendekat ke arah pelaminan. Kedua bola matanya layu kuyu, bedak tebal dan goresan shadow berwarna keemasan tak mampu menyembunyikan sebayang gundah di balik pelupuk matanya. Jelas, topeng kosmetik itu tak mampu menyembunyikan bagaimana rupa hatinya.
Secara perlahan, Dipta melangkah tapak demi tapak menuju singgasana pelaminan. Matanya tak lepas dari mata yang dulu jernih bercahaya, namun hari ini redup redam. Tak dihiraukannya barisan keluarga mempelai yang berjajar, hanya sepintas lalu tangan-tangan mereka disalami. Dan sampailah Dipta, di hadapan Pita.
Lidahnya kelu, ucapan selamat dan doa yang dari tadi sudah disiapkan seakan tertahan di kerongkongannya. Tangannya seakan terkunci, tak mampu menjabat tangan Pita. Perempuan yang sudah sekian lama mengisi ruang di hatinya, yang ia bina helai demi helai menjadi tumpukan rasa, dan sekarang, satu persatu ia harus mengurainya. Dan, anggukan kecil yang hanya bisa Dipta persembahkan hari ini. Saat bersitatap, keduanya hanya bersilang diam seribu bahasa. Hanya Diam. Karena rasa dalam jiwa mereka tak mampu lagi mencicip amarah, bahkan melebihi semua rasa emosi yang pernah mereka rasakan.
Dipta bergeser selangkah, menjabat tangan lelaki dihadapannya dengan mantap, pelukan erat, tiga kali saling tepuk punggung. “Selamat…” senyum yang berarti ratapan pilu dari hatinya mengembang tipis, bersikap sok akrab, kemudian segera berpaling. Secepat kilat pergi menuruni panggung pelaminan berkarpet permadani empuk berwarna merah, bersmaan dengan jebolnya bendung mata air jernih yang sedari tadi menghempas celah kecil di mata Pita.
Dipta terus melangkah mantap keluar dari gedung megah di pusat Kota Bandung. Barisan buah-buahan segar, dan aneka rupa makanan yang melelehkan ludah sama sekali tak membuatnya menoleh. Matanya dibiarkan menggantung, hatinya dibuatnya teguh untuk menguatkan air mata agar tak setitikpun menetes.
***
Rambut panjangnya berkobar, melonjak oleh langkah cergasnya menapaki trotoar. Kalut, sedih, kesal, luka, dan berbagai rasa, hasil integral fungsi cinta, mengekor setiap kemana kaki Dipta melangkah. Hatinya belum sepenuhnya percaya, Pitanya yang merah merona telah berkhianat. Isi kepalanya mengutuk dirinya sendiri, dalam bentuk berbagai macam rasa penyesalan dalam hati. Setelah sekian lama berjalan, bangku panjang di bawah rindang pohon ceri, dijadikannya sasaran melepas gundah gulana hati. Merenung, dan menimbang logikanaya, melatih ketabahannya untuk berdamai dengan hati. Belajar mengikhlaskan yang bukan menjadi ketetapan-Nya.
“Semangat..!!!!” Gumam Dipta, meskipun dia sepenuhnya sadar, bahwa sudah takdirnya, berkata akan lebih mudah daripada menjalani pahitnya kenyataan. Buktinya, bayangan Pita tahun lalu yang sedang duduk disebelahnya, seraya memotret anak-anak kecil yang sedang berlari kesana kemari seakan hadir, mengisi rongga kosong kepala.
“Mungkin beginilah caranya berdamai,” Dipta bergumam, sambil beranjak dari tempat duduk. Kemudia berjalan pelan menapaki setiap sudut yang, tahun lalu menjadi saksi rencana besarnya dengan Pita.
***
Bandung – Bogor, jalan tol padalarang padat merayap, hari libur, semua ingin berlibur. Dalam perjalanannya, Dipta masih meratapi kisah cintanya yang harus tandas. Merasakan kesia-sian perjuangan dan pengorbanan yang selama ini ia lakukan. Memandangi pegunungan kapur di sebelah kiri jalan tol, fikirannya mencabik hati dan perasaanya. Berkelebat liar berputar ke tahun-tahun yang penuh drama.
Tak mau larut, Dipta memejamkan mata, menarik nafas dalam dan menghembusnya pelan menimbulkan embun tipis di kaca. Jajaran jerami padi yang di tumpuk menggunung saat bus tiba di daerah cikarang, menjadi saksi, betapa hari ini Dipta merasakan emosi yang tak menentu. Akhirnya Dipta pasrah pada hatinya yang menyelam liar ke sudut-sudut rumit yang bernama, masa lalu.
***bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H