Mohon tunggu...
Kelana Nusantara
Kelana Nusantara Mohon Tunggu... -

Pendengar, pengamat dan pembaca. Kemudian belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mang Lengser (1 - Gelap)

22 Maret 2017   20:49 Diperbarui: 22 Maret 2017   20:59 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mulutnya kaku, penglihatannya gelap, dan kupingnya berdenging seperti menjadi tuli seketika, tak mampu menafsirkan hingar bingar sekelilingnya. Sayup kata-kata yang dapat ia denganr adalah, SAH!!! SAAH!!! SAH!!! Dan puja-puji Tuhan kasak-kusuk berbisik berlombo memasuki rongga telinganya.

Mata yang dari tadi dirundukkan menatapi sepatu pantofelnya yang disemir mengkilap, kini mulai berani menatap sebentuk makhluk Tuhan yang dianugrahi keindahan. Berbalut busana etnik, berwiru putih dengan hiasan manik-manik mutiara yang memantulkan kilau lembut. Diselaminya dari ujung kaki, ke atas, dan berhenti pada rona merah wajah cantik mempesona. Ratu hari ini, Pita, Cintya Ananda Puspita.

Sang ratu. Menebarkan senyum terbaiknya ke khalayak yang hadir memberinya ucapan selamat. Tubuhnya yang tinggi, sangat serasi bersanding dengan lelaki di sebelahnya. Sesorang yang baru saja mengikrarkan janjinya sehidup semati, menjadi imamnya, siap menuntunnya dalam membina keluarga idaman.

Rupanya ayu, bercahaya teduh seperti rembulan. Paling terang diantara bintang gemintang. Tapi, sorot matanya, sama sekali tak bisa berbohong. Setidaknya tak bisa membohongi Dipta yang perlahan mendekat ke arah pelaminan. Kedua bola matanya layu kuyu, bedak tebal dan goresan shadow berwarna keemasan tak mampu menyembunyikan sebayang gundah di balik pelupuk matanya. Jelas, topeng kosmetik itu tak mampu menyembunyikan bagaimana rupa hatinya.

Secara perlahan, Dipta melangkah tapak demi tapak menuju singgasana pelaminan. Matanya tak lepas dari mata yang dulu jernih bercahaya, namun hari ini redup redam. Tak dihiraukannya barisan keluarga mempelai yang berjajar, hanya sepintas lalu tangan-tangan mereka disalami. Dan sampailah Dipta, di hadapan Pita.

Lidahnya kelu, ucapan selamat dan doa yang dari tadi sudah disiapkan seakan tertahan di kerongkongannya. Tangannya seakan terkunci, tak mampu menjabat tangan Pita. Perempuan yang sudah sekian lama mengisi ruang di hatinya, yang ia bina helai demi helai menjadi tumpukan rasa, dan sekarang, satu persatu ia harus mengurainya. Dan, anggukan kecil yang hanya bisa Dipta persembahkan hari ini. Saat bersitatap, keduanya hanya bersilang diam seribu bahasa. Hanya Diam. Karena rasa dalam jiwa mereka tak mampu lagi mencicip amarah, bahkan melebihi semua rasa emosi yang pernah mereka rasakan.

Dipta bergeser selangkah, menjabat tangan lelaki dihadapannya dengan mantap, pelukan erat, tiga kali saling tepuk punggung. “Selamat…” senyum yang berarti ratapan pilu dari hatinya mengembang tipis, bersikap sok akrab, kemudian segera berpaling. Secepat kilat pergi menuruni panggung pelaminan berkarpet permadani empuk berwarna merah, bersmaan dengan jebolnya bendung mata air jernih yang sedari tadi menghempas celah kecil di mata Pita.

Dipta terus melangkah mantap keluar dari gedung megah di pusat Kota Bandung. Barisan buah-buahan segar, dan aneka rupa makanan yang melelehkan ludah sama sekali tak membuatnya menoleh. Matanya dibiarkan menggantung, hatinya dibuatnya teguh untuk menguatkan air mata agar tak setitikpun menetes.

***

Rambut panjangnya berkobar, melonjak oleh langkah cergasnya menapaki trotoar. Kalut, sedih, kesal, luka, dan berbagai rasa, hasil integral fungsi cinta, mengekor setiap kemana kaki Dipta melangkah. Hatinya belum sepenuhnya percaya, Pitanya yang merah merona telah berkhianat. Isi kepalanya mengutuk dirinya sendiri, dalam bentuk berbagai macam rasa penyesalan dalam hati. Setelah sekian lama berjalan, bangku panjang di bawah rindang pohon ceri, dijadikannya sasaran melepas gundah gulana hati. Merenung, dan menimbang logikanaya, melatih ketabahannya untuk berdamai dengan hati. Belajar mengikhlaskan yang bukan menjadi ketetapan-Nya.

“Semangat..!!!!” Gumam Dipta, meskipun dia sepenuhnya sadar, bahwa sudah takdirnya, berkata akan lebih mudah daripada menjalani pahitnya kenyataan. Buktinya, bayangan Pita tahun lalu yang sedang duduk disebelahnya, seraya memotret anak-anak kecil yang sedang berlari kesana kemari seakan hadir, mengisi rongga kosong kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun