Mohon tunggu...
Keisya Permana
Keisya Permana Mohon Tunggu... Lainnya - Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran

Semoga semesta selalu mengizinkan tulisan-tulisan ini lahir ke bumi untuk membersamai manusianya.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Budi Pekerti: Dalam Layar, Dalam Cuitan, Satu Per Satu Hilang

28 Juni 2024   15:00 Diperbarui: 29 Juni 2024   10:36 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuitan ini juga bukan hanya datang dari masyarakat, melainkan  dari keluarga Bu Prani sendiri. Keegoisan juga ditandai dalam adegan kepala sekolah yang meminta Gora untuk membuat klarifikasi terkait alasannya pergi ke psikolog, sedangkan Bu Prani sudah mengatakan Gora tidak perlu membuatnya. Dalam adegan ini, Wregas dengan baik memvisualkan bentuk egois dari realita yang ada. 

Selain warna kuning, warna biru juga menjadi dominan lainnya. Arti warna biru sering diidentikkan dengan simbol kekuatan, tanggung jawab, dan kepercayaan. Penggambaran kekuatan ini sangat tepat untuk keluarga Bu Prani yang tertimpa musibah. Warna biru pun menggambarkan sebuah perasaan dan pikiran yang tenang, serta merangsang kemampuan dalam berkomunikasi. 

Makna biru, tersirat saat seluruh tenaga pendidik sekolah berkumpul membahas video dari pria berkaus elang yang memberi somasi pada Bu Prani, seolah terpancar adanya keinginan untuk memberi Bu Prani kekuatan sekaligus meminta pertanggungjawaban atas tindakannya. Meski Bu Prani menjelaskan dengan detail, kepercayaan yang didapat hanya sepercik. Tone warna biru yang menggambarkan perasaan menyendiri sekaligus ketenangan, tergambar pada adegan Bu Prani yang mendengarkan earplug-nya di tengah keramaian dan juga saat malam hari sewaktu memutar rekaman suara. Penggunaan warna biru sangat saya rasakan maknanya bahwa Wregas ingin mengirim sinyal kedinginan itu pada penonton. Wregas ingin penonton untuk tenggelam dalam kedinginan badai yang menimpa Bu Prani dan keluarganya.

Budi Pekerti di Tengah Gerimis Hujan dan Peran Animalia  

Banyak adegan dalam film Budi Pekerti yang berada di bawah gerimis hingga hujan deras. Hal yang paling tersoroti adalah repetisi adegan yang disuguhkan oleh Wregas. Saat pertama Bu Prani mengantar murid perempuannya bersama dengan murid yang lain di Sekolah Dasar dan saat yang berkebalikan, murid-muridnya lantas mengantar Bu Prani untuk akhirnya kembali pulang setelah keluar dari sekolah. Repetisi ini bukan hanya sekadar adegan, melainkan bentuk nyata dari ketulusan yang berakhir dengan ketulusan pula. Dalam repetisi ini, dibersamai dengan turunnya hujan deras, tetapi dengan dua makna berbeda. 

Hujan dalam adegan pertama menggambarkan bentuk kebahagiaan dan berkah ketika pulang bersama untuk membantu sesama, sedangkan hujan selanjutnya menggambarkan bahwa dalam setiap langkah berat itu, ada beribu harapan yang takkunjung sampai. Adegan penuh hujan juga terjadi saat Bu Prani mencari rumah Uli, saat Gora dan Bu Prani berada di kolam, hingga bagian terakhir ketika Bu Prani sekeluarga meninggalkan rumah lama mereka.

Selain hujan, yang erat dalam film Budi Pekerti ini adalah peran animalia. Wregas pun menceritakan tentang metafora unggas yang ia gunakan, terutama bentuk masker yang seperti paruh burung sebagai bentuk cuitan dari masyarakat kepada keluarga Bu Prani. Beberapa bagian juga menunjukkan tingkah Pak Didit, Tita, terutama Muklas yang beradegan seperti unggas. Tanpa disadari, animalia memiliki banyak keunikan dan juga sifat yang bisa diikuti untuk meningkatkan moral dan menjaga kesehatan jasmani. 

Misalnya, Muklas yang mengajak pengikutnya untuk mengikuti perilaku burung unta, yaitu menyembunyikan kepala di dalam tanah untuk melindungi diri dari predator atau menghindar dari pemburu. Sifat unik ini dapat menjadi ilmu kehidupan  bahwa ketika kita tidak melihat sesuatu, bukan berarti orang lain juga tidak melihatnya. Jika kita tidak melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Ia melihat semua makhluk-Nya.

Animalia lain yang menjadi semiotika dalam film ini adalah burung elang dan ikan lele. Ikan lele mulai tampak ketika Pak Didit berkata ingin beternak lele dan akhirnya pergi ke tempat budidaya ikan lele. Dalam realitanya, ikan lele ini memiliki bayak manfaat dengan harga yang murah dan pemeliharaan yang mudah. Sebagai seorang kepala keluarga, sangat ideal untuk memulai usaha dengan biaya sederhana. Selain itu, burung elang yang terdapat di baju yang dikenakan oleh pria di pasar yang menyerobot antrian Bu Prani juga menjadi penanda. Burung elang dikenal memiliki pandangan tajam yang mampu membidik mangsanya. Seolah dalam Budi Pekerti, Bu Prani berhasil terkena bidikannya yang membawanya mendekat ke jurang masalah. Burung elang ini juga digambarkan dengan jelas untuk membuat fokus bukan hanya penonton di luar layar, tetapi juga dalam layar.

Budi Pekerti, Dari Mata ke Mata 

Penanda lainnya dalam Budi Pekerti adalah makna gerakan tangan Bu Prani dengan dua jarinya, yaitu telunjuk dan jari tengah. Gerakan ini menjadi tanda kedekatan dan suatu hubungan tanpa darah tanpa jarak. Bu Prani menggunakan gerakan ini bersama murid-muridnya. Menunjuk dari mata dirinya sendiri ke mata muridnya. Penanda ini dapat dimaknai sebagai dari mata ke mata lantas turun ke hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun