Ramainya brand produk di Indonesia yang berbondong-bondong menjadikan artis ternama dari Korea Selatan sebagai model atau Brand Ambassador memicu perdebatan di berbagai platform sosial media seperti Twitter, Instagram, dan masih banyak lagi. Hal yang menjadi faktor utama dari hal ini adalah fenomena Korean-Wave yang sudah tersebar ke seluruh belahan dunia, terutama Indonesia.Â
Korean-Wave sendiri didefinisikan sebagai sebuah istilah yang merujuk pada tersebarnya budaya pop Korea secara global yang memicu banyak orang-orang di negara lain untuk mempelajari bahasa Korea dan kebudayaan Korea. Namun, di era modern, Korean-Wave ini tidak terbatas pada pengertian diatas. Kini budaya pop Korea begitu mempengaruhi dari berbagai segi kehidupan termasuk dari segi marketing produk.
Apabila dikaji berdasarkan data statistik yang disajikan oleh Web Official Twitter, menyelam lebih dalam ke dalam kesibukan Tweet, analisis Twitter mengungkapkan negara teratas yang paling banyak mengirim Tweet tentang K-Pop adalah Indonesia. Selain itu, jumlah penggemar K-Pop di Indonesia berhasil memuncaki data statistik penggemar K-Pop di seluruh dunia pada posisi kedua, setelah negara Korea Selatan itu sendiri.
Namun seperti peribahasa "Semakin tinggi pohon menjulang, maka semakin kencang angin menghempas", pengaplikasian unsur-unsur berbau pop Korea ke seluruh aspek kehidupan menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Beberapa netizen mengungkapkan ketidaksetujuan mereka terhadap fenomena brand-brand Indonesia yang beramai-ramai menggunakan artis ternama Korea Selatan sebagai media promosi di kolom komentar di berbagai sosial media.
Ketidaksetujuan mereka sangat kentara ditujukan bagi brand-brand skincare, "Kulit orang Indonesia kan tidak sesuai dengan tipe Kulit masyarakat di Korea. Kenapa harus Artis Korea yang jadi modelnya? Terlalu mendewakan K-Pop, kan modelnya jadi ngga relevan lagi dan bisa bikin produknya nggak laku loh!" dan masih banyak lagi. Pertentangan ini muncul karena terlalu banyak Artis Korea yang dijadikan Brand Ambassador dan model pada produk anak bangsa.Â
Bagi sebagian orang, ada baiknya kita menggunakan artis dalam negeri. Namun, ternyata berdasarkan observasi dari penulis, justru hal ini mengundang ketertarikan dari konsumen dan memicu melambungnya angka penjualan produk tersebut. Bahkan, konsumen ini tidak hanya datang dari dalam negeri melainkan mencapai penggemar dari seluruh belahan dunia.Â
Sebagai pelengkap, berikut ini saya sediakan daftar beberapa brand Indonesia yang memiliki Brand Ambassador atau model iklan artis Korea baik yang populer akibat aspek musik, drama, maupun perfilman. Tokopedia, Gojek, Azarine, Somethinc, Whitelab, Everwhite, Sasa, Mie Sedaap, Nutriville, Sim Invest, Lemonilo, Y.O.U. Beauty, Scarlett Whitening, MS Glow, Shopee, Lazada, Blibli, Luwak White Koffie, Avoskin, dan masih banyak lainnya berhasil menggandeng berbagai artis Korea dan hal itu langsung meningkatkan daya tarik dan popularitas produk mereka.
Observasi ini dapat dibuktikan keabsahan dan kredibilitasnya melalui wawancara mendalam yang saya lakukan kepada beberapa pihak dari komunitas penggemar artis ternama Korea Selatan. Beberapa pernyataan mereka akan saya rekam dalam artikel ini.
1. Penawaran merchandise idol dari brand-brand terkait menambah daya tarik produk tersebut.
Mereka mengaku bahwa sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka untuk membeli produk tersebut dan intensitas pembelian produk terkait juga meningkat secara signifikan. Disini dapat dilihat sesuatu yang menjadi begitu valuable bagi para penggemar adalah merchandise tersebut karena bagi mereka merchandise ini menjadi alasan yang menyokong kegiatan pembelian mereka. Namun, ketika produk tersebut dinilai memiliki kualitas yang baik maka kedua benda tersebut menjadi valuable bagi mereka. Mereka mengaku tidak akan melakukan pembelian untuk kesekian kalinya apabila kualitas yang dimiliki produk tersebut tidak bersaing.
Penggemar artis Korea Selatan ini juga memiliki karakteristik yang loyal terhadap idola mereka dan rela melakukan apa saja untuk menjadi sama dengan idolanya. Mereka percaya melalui pembelian ini, secara tidak langsung mereka memberikan kontribusi dukungan terhadap idola mereka tersebut. Sehingga, tak jarang dalam waktu yang begitu singkat produk-produk ini akan sold out. Selain itu merchandise dari freebies produk ini juga dinilai lebih terjangkau (affordable) dibandingkan membeli merchandise official dari store agensi masing-masing.
2. Beberapa pihak tetap melakukan pembelian pertama walaupun produk mendapatkan review yang buruk.
Beberapa dari mereka ingin melakukan konsumsi pertama terhadap produk tersebut karena memiliki spekulasi bahwa selera tiap orang berbeda-beda, apabila dinilai memang tidak berkualitas beberapa memutuskan untuk menghentikan proses konsumsi dan mengaku sedikit menyesal.Â
Ada pula beberapa individu memutuskan melanjutkan tingkat konsumsi sampai masa promosi telah berakhir atau telah mencapai kepuasan maksimal (maximum utility) atau bisa dikatakan ketika mereka berhasil mendapatkan seluruh jenis merchandise yang disediakan maupun ketika masa promosi artis tersebut terhadap brand yang terkait telah berakhir. Namun, tidak ditemukan pihak yang beralih dari brand yang sudah digunakan sejak dahulu ke brand baru dengan Brand Ambassador atau model artis Korea tersebut, apabila produk tersebut dinilai tidak memiliki kualitas yang bersaing atau tidak lebih baik dari brand yang dipakai sebelumnya.
Dengan mengkaji dari sudut pandang sosiologis, perilaku penggemar ini bisa diidentifikasikan sebagai imitasi, mereka berusaha menjadi sama dengan idola mereka dengan melakukan tindakan peniruan untuk memodifikasi diri bergabung dalam sebuah komunitas dan berinteraksi. Selain itu, sugesti juga mengambil peranan dalam fenomena ini. Beberapa responden melakukan suatu tindakan tanpa pertimbangan, mengingat beberapa responden mengaku menyesal tidak mempertimbangkan beberapa faktor dalam melakukan pembelian produk tersebut.
Teori interaksionisme simbolik yang merupakan buah pikiran dari Herbert Blumer, George Herbert Mead dan Max Weber juga terlihat dalam peristiwa ini, suatu benda berupa merchandise Artis Korea dimaknai secara serupa oleh komunitas para penggemar secara luas. Selain itu, mengkaji dari teori lima hierarki kehidupan yang dikemukakan Abraham Maslow dan teori solidaritas sosial Emile Durkheim dikatakan bahwa pengaruh fanatisme dapat membentuk solidaritas sosial dikarenakan berawal dari kesamaan suka pada suatu hal menjadikan sifat tolong menolong mendukung informasi sosiologis terkait fenomena ini.
Dengan mengetahui bahwa marketing merupakan peranan dan fungsi lembaga ekonomi yang harus dijalankan dengan baik dan efektif agar kebutuhan dan tujuan tertentu dari lembaga ekonomi juga dapat terpenuhi, pemanfaatan fenomena Korean-Wave ini bisa menjadi alternatif solusi untuk teknik pemasaran.Â
Ditafsir dari salah satu artikel, Steven Calvin Victory, Chief Executive Officer iStyle.id mengatakan "Kita pernah melakukan survey untuk penggunaan Brand Ambassador, ternyata masyarakat kita memiliki hubungan erat antara si idol atau Brand Ambassador tersebut. Jadi hal itu dimanfaatkan brand untuk membantu meningkatkan daya tarik dan popularitas produk," kata Steven saat acara 50 Tahun Hubungan Indonesia-Korea Selatan di Jakarta Selatan, (15/2/2023).Â
Jadi, selagi idol tersebut memiliki citra yang baik, metode pemasaran ini sah-sah saja dan dipercaya dapat mendongkrak angka penjualan. Apabila hal ini bisa mengoptimalkan pendapatan nasional Indonesia dan memperluas pasar penjualan produk dalam negeri hingga ke luar negeri, mengapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H