Mohon tunggu...
Keisha Almira Rahmaputri
Keisha Almira Rahmaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Over the course of three years in high school, I had the privilege of being part of the National Biology Olympiad team. It was a journey filled with exhilarating challenges and enriching experiences. From intensive study sessions to hands-on lab experiments, every moment contributed to my growth as a biologist. Competing at both regional and national levels not only sharpened my knowledge of biological concepts but also taught me invaluable lessons in perseverance and teamwork Joining the National Biology Olympiad team for three consecutive years was a defining experience in my high school journey. It involved rigorous preparation and dedication to mastering complex biological theories and practical skills. Competing in various biology competitions provided a platform to showcase my understanding of ecological systems, genetics, molecular biology, etc. Throughout my three-year tenure on the National Biology Olympiad team in high school, I immersed myself in a world of discovery and intellectual challenge. From dissecting specimens to designing experiments, each competition pushed me to explore new facets of biology. Representing my school at national events was a source of immense pride, highlighting not only my academic prowess but also my ability to adapt and innovate under pressure. This experience was instrumental in shaping my academic aspirations and fueling my enthusiasm for exploring the wonders of the natural world through a scientific lens.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mengatasi Stunting di Papua, Tantangan Kompleks yang Butuh Solusi Terpadu

27 November 2024   13:17 Diperbarui: 27 November 2024   13:24 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Balita Stunitng (Sumber:Kompas.id)

Stunting, atau kekurangan gizi kronis yang menyebabkan pertumbuhan fisik anak terhambat, terus menjadi salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun pada semester pertama tahun 2024, angka stunting di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan meskipun tantangan untuk menurunkan prevalensinya masih besar. 

Berdasarkan data terbaru per semester 1 tahun 2024, angka stunting di Indonesia tercatat mencapai 24,7%, yang menunjukkan penurunan kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berada di angka 27%. 

Namun, angka tersebut masih jauh dari target yang diinginkan, yaitu 14% pada 2024. Jika kita memperhatikan data provinsi, Papua menjadi salah satu wilayah dengan prevalensi stunting yang sangat mengkhawatirkan. Pada 2024, prevalensi stunting di Papua tercatat mencapai 41%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional. Angka ini memperlihatkan bahwa Papua menjadi salah satu titik fokus intervensi gizi yang sangat mendesak.

Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun ada upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi stunting, data menunjukkan bahwa perbaikan di Papua berjalan sangat lambat. Pada 2020, prevalensi stunting di Papua tercatat 45%, yang artinya ada penurunan, namun sangat sedikit dibandingkan dengan daerah lain yang mengalami penurunan signifikan. 

Fakta ini menunjukkan bahwa masalah stunting di Papua tidak hanya berkaitan dengan kekurangan gizi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang lebih kompleks. Kondisi ini mengindikasikan bahwa meski ada upaya dari pemerintah dan masyarakat, masih banyak tantangan yang harus dihadapi di wilayah Papua. Oleh karena itu, penanganan stunting di Papua harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan kesehatan di Indonesia.

Salah satu faktor utama penyebab tingginya prevalensi stunting di Papua adalah masalah gizi buruk. Banyak anak di Papua yang mengalami kekurangan gizi akibat pola makan yang tidak seimbang, keterbatasan akses terhadap makanan bergizi, dan rendahnya pengetahuan ibu mengenai pentingnya ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI). 

Selain itu, pola makan masyarakat Papua yang cenderung bergantung pada konsumsi makanan olahan dan kurangnya keberagaman dalam jenis makanan membuat anak-anak rentan terhadap kekurangan nutrisi penting. 

Meskipun sudah ada berbagai program seperti pemberian makanan tambahan dan edukasi gizi, implementasinya sering kali terhambat oleh masalah akses dan kesadaran masyarakat. Hal ini menjadikan pengentasan gizi buruk sebagai langkah awal yang sangat mendesak untuk mengurangi prevalensi stunting.

Faktor geografi dan sulitnya akses kesehatan juga berperan besar dalam tingginya angka stunting di Papua. Wilayah Papua yang luas dan berbukit-bukit membuat aksesibilitas ke layanan kesehatan sangat terbatas, terutama di daerah pedalaman. Banyak desa yang jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai, bahkan banyak yang tidak memiliki tenaga kesehatan yang terlatih. 

Selain itu, minimnya fasilitas transportasi di daerah terpencil sering kali membuat masyarakat kesulitan mendapatkan perawatan medis yang memadai, termasuk layanan kesehatan ibu dan anak yang sangat penting dalam pencegahan stunting. Akibatnya, banyak ibu hamil dan anak balita yang tidak mendapatkan perhatian medis yang tepat pada saat-saat krusial, seperti masa kehamilan dan 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Sanitasi yang buruk juga menjadi faktor besar dalam masalah stunting di Papua. Banyak wilayah di Papua yang masih kekurangan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak. Kondisi ini berhubungan langsung dengan masalah kesehatan, karena buruknya sanitasi dapat meningkatkan risiko diare, infeksi saluran pernapasan, dan penyakit menular lainnya yang dapat memengaruhi pertumbuhan anak. 

Kurangnya fasilitas sanitasi yang baik menyebabkan anak-anak lebih rentan terhadap infeksi, yang pada gilirannya memperburuk status gizi mereka dan meningkatkan risiko stunting. Di daerah-daerah tertentu, bahkan keluarga kesulitan untuk mendapatkan air bersih yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari, apalagi untuk kebutuhan gizi yang optimal bagi anak-anak.

Selain itu, faktor perekonomian dan lingkungan juga menjadi masalah besar dalam penurunan angka stunting di Papua. Sebagian besar masyarakat di Papua masih hidup dalam kondisi ekonomi yang kurang baik, dengan ketergantungan pada sektor pertanian tradisional yang sangat bergantung pada musim dan hasil alam. Banyak keluarga yang tidak mampu membeli makanan bergizi karena keterbatasan pendapatan. 

Ditambah lagi, ketimpangan sosial dan akses terhadap pekerjaan yang layak menjadikan keluarga-keluarga di Papua rentan terhadap krisis ekonomi yang menghambat mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk kebutuhan gizi yang baik. Perekonomian yang tidak stabil memengaruhi kemampuan keluarga untuk menyediakan makanan sehat dan bergizi bagi anak-anak mereka, yang akhirnya berdampak langsung pada kesehatan dan pertumbuhan anak.

Untuk mengatasi masalah stunting di Papua, dibutuhkan langkah-langkah strategis dan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Pemerintah perlu meningkatkan pembangunan infrastruktur kesehatan dan sanitasi di daerah terpencil untuk memastikan bahwa layanan kesehatan dapat diakses oleh semua kalangan, terutama ibu hamil dan anak-anak. 

Program pemberian makanan tambahan dan pendidikan gizi harus diperluas, dengan melibatkan komunitas lokal untuk menciptakan kesadaran tentang pentingnya gizi seimbang. 

Selain itu, peningkatan perekonomian melalui program-program pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat akan membantu meningkatkan daya beli keluarga terhadap makanan bergizi. Penyuluhan tentang sanitasi yang bersih dan pentingnya akses air bersih juga harus ditingkatkan, agar masyarakat dapat menjalani kehidupan yang lebih sehat dan bebas dari penyakit yang dapat menyebabkan stunting.

Secara keseluruhan, masalah stunting di Papua adalah tantangan besar yang memerlukan perhatian khusus dari semua pihak. Meskipun sudah ada upaya untuk menurunkan angka stunting, situasi di Papua menunjukkan bahwa masalah ini membutuhkan pendekatan yang lebih holistik, yang melibatkan faktor gizi, akses kesehatan, sanitasi, serta kondisi ekonomi masyarakat. 

Tanpa intervensi yang tepat dan berkelanjutan, dampak jangka panjang dari stunting di Papua akan terus menghambat pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, penurunan angka stunting di Papua bukan hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh elemen masyarakat dan sektor terkait.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun