Mohon tunggu...
Mustaqimah Isnani
Mustaqimah Isnani Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

seorang perempuan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Strategi Peperangan

29 Juli 2011   02:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:17 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

2. Ada beberapa titik yang digunakan untuk masuk para bandit, lalu mengupayakan solusi terhadap titik-titik tersebut.

3. Titik pertama rupanya pada bagian pintu masuk. Dibuatlah semacam parit yang cukup lebar serta dipagari dengan kayu-kayu.

4. Titik kedua, pada jembatan penyeberangan yang akhirnya dihilangkan jembatannya, lalu dipagari juga dengan kayu-kayu buat melihat keadaan musuh dan sebagai tameng.

5. Titik ketiga ternyata bagian belakang dekat hutan. Titik ini dijadikan tempat menjamu musuh. Dibiarkan tetap terbuka, namun disanalah mereka menempatkan banyak pasukan.

6. Titik ketiga ini hampir mirip cara kerjanya dengan formasi lingkaran yang ada diatas. Membiarkan beberapa musuh masuk, lalu dibunuh didalam. Lalu menamenginya lagi dengan jumlah pasukan yang lebih banyak.

Kalo sebelumnya pernah melihat jewel in the crown, dong yi, disana banyak sekali beberapa siasat "mengecoh lawan". Lawan akan berpikir bahwa lawannya sedang membuat strategi A, ternyata mereka sedang menggunakan strategi B. Sangat asyik memang jika membicarakan strategi-strategi peperangan. Kalau melihat Indonesia sekarang ini-pun, saya pikir mereka-mereka yang kena masalah pun memiliki strategi pula. Namun kebanyakan salah satu strateginya adalah money politic. Asal uang ada, maka semua peperangan bisa terjamin menang. Walau butuh waktu yang panjang untuk bisa melunakan pikiran rakyat yang kadang berada pada tensi rendah maupun tinggi. Jika mereka hanya berpikir secara personal terus-menerus (yang berkuasa), maka bisa jadi Indonesia tetap akan semakin bermasalah. Ada baiknya yang berkuasa melihatlah kejadian-kejadian yang lampau ketika elit politik banyak berbuat curang, mereka pun terjerembab. Namun rupanya yang diambil hikmatnya justru mereka masih meneruskan dosa-dosa para pendahulunya. Bukankah lebih baik mikul dhuwur, mendhem jero. Yang baik diambil, yang buruk dibuang. Eh ini malah mikul sing jero, mendhem sing dhuwur.

Sun Tzu said that "Kenalilah musuhmu, seperti mengenali dirimu sendiri"

Wallahua'alam

Jogja, 29 juli 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun