Mohon tunggu...
Keilmuan Raushan Fikr
Keilmuan Raushan Fikr Mohon Tunggu... Editor - Bidang Keilmuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Raushan Fikr

Merawat Akal, Mempertajam Nalar, Ghirah Raushan FIkr

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Humanize Human

9 Februari 2022   20:48 Diperbarui: 9 Februari 2022   21:01 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis : Muhammad Taufiqur Rochman, Mahasiswa : Universitas Muhammadiyah, Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Raushan Fikr. (9/2/22)

Pendidikan secara tidak langsung adalah usaha untuk memperoleh sebuah informasi baru dalam lingkup formal dan non formal. Pendidikan juga bisa diartikan sebagai usaha sadar dan terencana yang dimana secara orientasi sadar adalah menciptakan ruang lingkup dimana terpusat pada peseta didik dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh mereka, Secara tidak langsung pula disimpulkan bahwa pendidikan adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan potensi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.

Pendidikan tentunya dalam perkembangan zaman merupakan faktor utama dalam memperoleh sebuah informasi baru baik secara fundamental dan orientasi dasar.

Peran Orang tua dalam mendidik mereka secara non formal dari usia dini merupakan modal awal bagi seorang anak dalam melihat banyaknya hal baru yang belum mereka ketahui, bahkan dalam kemajuan zaman ini pendidikan dapat dijadikan sebagai alat untuk menggapai sebuah popularitas terutama dalam pendidikan formal dan tentunya ini sangat tidak relevan dikarenakan kita ketahui kembali bahwa pendidikan adalah sebuah usaha sadar dalam mengetahui hal baru, kita pikirkan bersama dalam keadaan sosial sekarang terutama dalam lingkup perkotaan bahwa perilaku orang tua dalam lisan ke lisan yang membanggakan anaknya dikarenakan bisa mensekolahkan anaknya kedalam sekolah yang memiliki tingkat popularitas yang tinggi dan tak khayal bahwa kekuatan finansial yang tinggi pada perekonomian mereka sebagai rasionalisasi utama dalam memberikan argumen tersebut pada khalayak orang banyak disekitar mereka.

Menurut penulis pendidikan yang baik adalah pendidikan humanisme yang sekarang sudah mulai menurun dikarenakan semua terfokus pada pendidikan teoritis yang dimana tak semua anak dapat memahami apa yang disampaikan oleh pendidik akan tetapi lebih kedalam selesainya tugas guru yang sebelumnya sudah dibuat dalam regulasi kompetensi pendidikan formal.

Humanisme adalah paham yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Dalam aplikasinya, humanisme tidak memandang bangsa, agama, daerah, suku, warna kulit dan sejenisnya. Ia memperlakukan dan berusaha membantu siapa pun itu manusianya karena manusia merupakan makhluk yang paling unik jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Ini disebabkan oleh adanya potensi dan kemampuan yang dimilikinya.

Potensi dan kemampuan itulah yang mengantarkannya pada kesempurnaan dan kebahagiaan. Diantara keunikan tersebut ialah sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa tokoh filsafat, yaitu Socrates mengemukakan bahwa pada diri manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan dunia. Tetapi seringkali manusia itu tidak menyadari bahwa dalam diri terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan yang dipertanyakannya. (Sarlito Wirawan Sarwono, 1978: 30)

Plato mengatakan bahwa jiwa manusia adalah entitas non-material yang dapat terpisah dari tubuh. Menurutnya, jiwa itu ada sejak sebelum kelahiran, jiwa itu tidak dapat hancur alias abadi. Lebih jauh dia mengatakan bahwa hakikat manusia ada dua yaitu rasio dan kesenangan (nafsu). Dua unsur yang hakikat ini dijelaskan oleh Plato dengan perumpamaan seseorang yang makan kue atau minum sesuatu. Ini kesenangan, sementara rasionya tahu bahwa makanan dan minuman itu berbahaya baginya. Karena m

nikmati kelezatan (kesenangan) itu hakikat maka rasiopun juga hakikat. Bila ada konflik batin pada seseorang, pasti terdapat petentangan dua elemen kepribadian pada orang tersebut. (Ahmad Tafsir, 2010: 9-10)

Penulis juga mengatakan bahwa pola pendidikan yang baik juga adalah pola pendidikan yang ber- Raushan Fikr oleh sang penggagas yaitu doctor Ali Syari'ati. Siapa yang dikatakan Rushan Fikr itu dan   bagaimana ciri-cirinya? Orang yang sadar akan keadaan manusia di sekitarnya dan meneguhkan hatinya untuk saling bertukar pikiran untuk mengajarkan kebenaran dalam misi sosial itulah orang yang memiliki jiwa Raushan Fikr, tidak semua orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi adalah Raushan Fikr akan tetapi orang yang memiliki kemampuan sadar secara bathiniyah lah yang paham akan keadaan sekitar dan memberikan sebuah kebenaran akan hal apapun yang terlihat nyata sesuai analisa lingkup sekitar.

Kalau kita konstektualisasikan dalam lingkup pendidikan sekarang, Sangat sulit menemukan seseorang seperti Ali Syari'ati dalam memberikan pengajaran yang sebenarnya, karena semua terkekang oleh sebuah sistem secara realistis perkembangan zaman dan faktor pendidikan teoritis adalah hal utama yang harus diterapkan dalam aturan regulasi kita dan pendidikan formal juga wajib diterapkan sejak dini, jika tidak kita akan dicap sebagai orang yang tidak berpendidikan dilihat dari perbedaan sebuah informasi teoritis yang diterima dalam segala aspek terutama mendapatkan fasilitas luar dalam pendidikan formal yaitu sekolah.  

Adapun tanggung jawab Rushan Fikr yang paling besar adalah menentukan sebab-sebab keterbelakangan, kemandekan dan kebobrokan rakyat. Ia harus mendidik masyarakat yang bodoh dan tertidur mengenai alasan-alasan dasar tentang sosio-historis mereka yang tragis, lalu dengan berpijak pada sumber-sumber, tanggung jawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakat ia harus menetukan pemecahan-pemecahan rasional yang memungkinkan rakyat memahami itu dari kelompok yang terbatas kepada masyarakat secara keseluruhan. Sama artinya dengan kondisi sekarang yang dimana apabila seorang anak yang ingin menuntut ilmu akan tetapi adanya aspek latar belakang yang menjadi keterbatasan mereka dan tidak ada yang membantu proses pengetahuan anak tersebut maka hanya satu presepsi dari orang-rang yaitu anak itu bodoh dan akan terus begitu sebelum mendapatkan sebuah pendidikan.

Pendidikan humanize human berarti Pendidikan yang memanusiakan manusia dimana pendidikan yang mengantarkan manusia pada perkembangan yang signifikan dalam menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan kesempurnaan kemanusiaannya. Segala muatan pembelajaran, informasi yang diberikan, serta proses belajar menjadi media yang menantang tubuh, pikiran, jiwa, dan perasaan menemukan dinamikanya dengan seimbang.

Di bawah ini dijabarkan penelusuran mengenai peran pendidikan dalam memanusiakan manusia dan pendidikan yang memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia berarti menghantar manusia menemukan kesempurnaannya melalui kesadaran pertama-tama akan kesatuan dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan, juga kesadaran akan kebebasannya sebagai manusia untuk memilih dan bertindak. Melalui pembahasan terdahulu mengenai istilah kesempurnaan dalam cacat cela, membuka pemahaman mengenai peran pendidikan dalam membuat cacat cela itu menjadi sebuah batu loncatan menuju kesempurnaan.

Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan manusia. Kemanusiaan manusia tercapai melalui pengembangan dimensi kemanusiaan secara seimbang. Pemahaman mengenai kemanusiaan manusia ini menjadi dasar bagi penyusunan model pembelajaran yang berorientasi pada kemanusiaan manusia. Model pembelajaran dibangun dalam ruang-ruang yang mefasilitasi pembelajar untuk mengembangkan dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan.

Pertama, perkembangan pikiran. Perwujudan tertinggi dalam pengembangan pikiran, menurut Stephen Covey adalah visi. Visi adalah hasil dari pikiran yang menjembatani antara kebutuhan dengan kemungkinan kemungkinan. Samples, dalam bukunya Revolusi Belajar, setuju dengan pemikiran Fuller yang menggambarkan bahwa pikiran manusia adalah pikiran dengan sistem terbuka (2002: 43). Ironisnya, pendidikan tak menyadari bahwa didikannya yang berupa indoktrinasi merupakan sistem tertutup sehingga pikiran berkembang sangat terbatas yang sulit menghasilkan karya yang kreatif. Sedangkan visi, adalah hasil dari pikiran terbuka.

Di dalam visi, segala hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Karya kreatif tercipta melalui visi. Visi terwujud dari manusia yang berpikir di luar kotak. Visi memampukan kita melihat apa yang terlihat (tindakan orang lain) dan berkaitan dengan segala kemungkinan. Visi menolong kita dapat memisahkan antara tindakan dan sebagai pribadi. Pemisahan ini membuat kita dapat memperlakukan seseorang tanpa syarat, tanpa dipengaruhi oleh stimulus yang tercipta dari perlakuannya terhadap kita. Kita mampu memaafkan walaupun telah berkali-kali ia melukai kita karena kita mampu melihat kebutuhan nya untuk dimaafkan. Kita mampu mengasihi setelah berulang kali dikhianati karena kita mampu melihat kebutuhannya untuk dicintai. Kita mampu menerimanya tanpa mendasari pada perlakukannya kepada kita.

Pendidikan yang memberi ruang bagi pengembangan pikiran, adalah pendidikan yang menciptakan visi dalam diri setiap peserta didiknya. Bukan sekadar ia dapat menyelesaikan persoalan, lebih dari itu menolong peserta didik meraih visi dalam menyelesaikan persoalan.

Di kelas, seorang guru yang memberi masalah kepada peserta didiknya tidak sekadar memberi masalah dan bagaimana pemecahannya, lebih dari itu yaitu mengajak peserta didiknya menciptakan visi melalui persoalan yang akan dipecahkan. Menciptakan visi dapat dilakukan dengan menantang atau mengarahkan peserta didik sesuai dengan jenjangnya, untuk dapat menjawab mengapa saya harus memecahkan persoalan ini, mengapa saya harus belajar topik ini, mengapa saya harus menghafal, mengapa saya harus mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa saya harus mengumpulkan tugas tepat waktu, mengapa saya harus berusaha sebaik-baiknya dalam mengerjakan tugas.

Pendidikan Humanize human lebih menekankan kepada bentuk penyadaran dari kita terutama yang akan berkecimpung dalam lingkup pendidikan bahwa memang semua orang wajib mendapatkan pendidikan, bentuk perhatian secara praktik sangat ditekankan terutama kepada masyrakat yang memang masih mendapatkan pendidikan yang terbilang kurang/minus. Seperti kutipan presiden soekarno yang dapat kita filosofikan dan sangat relevan untuk dijadikan sebagai reverensi yaitu :

"Aku lebih senang dengan pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang hanya memikirkan diri sendiri".

Penulis : Muhammad Taufiqur Rochman

Editor : Bidang Keilmuan Raushan Fikr

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun