Mohon tunggu...
BIDANG KEILMUAN
BIDANG KEILMUAN Mohon Tunggu... Lainnya - HMD IESP FEB UNDIP

Bidang Keilmuan merupakan bagian dari Himpunan Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomika dan Studi Pembangunan yang bergerak di bidang kajian dan diskusi aktif terhadap dinamika ekonomi dan memiliki fungsi fasilitator untuk memfasilitasi pengembangan prestasi akademik mahasiswa IESP FEB UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mendekonstruksi dan Meneliti Urgensi PP Tapera

24 Juni 2020   15:11 Diperbarui: 24 Juni 2020   15:19 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh :

Immanuel Hugo Setiawan (IESP 2019)

Rosa Maria Simanjuntak (IESP 2019)

Sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada tanggal 20 Mei 2020, seharusnya Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat sudah bisa memungut iuran dari Aparatur Sipil Negara (ASN), buruh, hingga perusahaan swasta mulai tahun depan untuk keperluan perumahan pekerja. Namun kita mampu melihat ada penolakan dari pihak-pihak yang menjadi target implementasi Tapera.

Bila melihat dari berita mainstream, pengusaha dan sebagian besar pihak buruh sama-sama menolak karena iuran Tapera mengharuskan mereka mengeluarkan uang dari pendapatan mereka untuk iuran wajib pemerintah yang sebelumnya sudah cukup memberatkan, seperti iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Hal tersebut cukup unik karena inilah pertama kalinya sejak waktu yang lama kita melihat pekerja dan pengusaha sependapat dalam suatu isu, walaupun atas dasar yang cukup berbeda. Tetapi, bukankah penolakan tersebut, terkhususnya dari kaum pekerja, tidak logis karena Tapera adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum? Apa yang perlu diperhatikan adalah urgensi pelaksanaan jaminan sosial ini dalam kondisi masyarakat saat ini.

Sejarah Jaminan Perumahan di Indonesia

Ringkasnya, Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh pekerja secara periodik yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan urusan perumahan. Badan Penyelenggara Tapera (BP Tapera) bertugas sebagai koordinator utama dalam mengelola dan memanfaatkan dana simpanan tersebut.

Sebelumnya, konsep Tapera sudah ada sebagai mandat sedari masa Orde Baru, dengan Keputusan Presiden (Keppres) no. 14 tahun 1993 tentang Taperum PNS. Dengan menerbitkan UU no. 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan pemukiman dan UU no. 4 tahun 2016 tentang Tapera, pemerintah sudah memberikan dasar bagi penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat sebagai manifestasi dari hak asasi manusia untuk mendapatkan papan yang layak yang tertera di dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM. Akhirnya implementasi UU Tapera dimulai melalui PP Tapera.

Dengan keluarnya PP Tapera, kita mampu melihat bahwa ada masalah dengan jaminan perumahan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah. Sebelum institusionalisasi Tapera secara khsusus melalui BP Tapera, jaminan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dipegang oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk program Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP) dan Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP). Mekanisme dalam PUMP/PRP, diindikasikan oleh namanya, hanya berkutat pada pinjaman.

Hal tersebut membuat penyaluran dana tidak optimal ataupun mendukung pembiayaan urusan perumahan secara jangka panjang, memperparah isu perumahan di Indonesia sering dicirikan dengan ketidakmampuan banyak MBR untuk membeli rumah dan kebutuhan yang terus meningkat. Dengan alasan tersebut dan alasan lainnya tercantum dalam naskah akademis UU Tapera, pemerintah berusaha menformulasikan skema pembiayaan melalui tabungan dimana masyarakat juga berpartisipasi.

Tata Cara Pelaksanaan Tapera

Dalam mekanisme Tapera, sistem pengelolaan dana dibagi menjadi pengerahan, pemupukan, dan pemanfaatan dana (PP pasal 4). Baik perusahaan maupun pekerja berkontribusi masing-masing sebesar 0,5% dan 2,5% dari pendapatan pekerja ke dalam rekening BP Tapera yang nantinya akan diolah untuk keperluan pekerja.

Suatu miskonsepsi jika kita memahami dana Tapera hanya bisa digunakan ketika iuran pribadi cukup untuk membeli rumah, karena layaknya PUMP, BP Tapera memberi pinjaman dengan suku bunga yang terjangkau bagi masyarakat (PP pasal 36 ayat 1), yang akan ditetapkan sebesar 5% oleh BP Tapera. Modal awal Tapera untuk mendukung kegiatannya didapatkan dari aset negara (PP pasal 43 ayat 1), dan kini telah memiliki Rp10,4 triliun yang berasal dari Taperum-PNS.

Selain dimanfaatkan oleh pekerja, simpanan Tapera juga akan diinvestasikan dalam bentuk SBN baik secara konvensional maupun syariah untuk meningkatkan dana (PP pasal 26). Itulah yang disebut pemupukan dana oleh PP. Semua proses tersebut nantinya kan dibantu oleh beberapa BUMN, dimana yang paling prominen adalah Bank Kustodian yang bertugas sebagai tempat penyimpanan aset BP Tapera. Posisi Bank Kustodian yang dimaksud kini dipegang oleh BRI.

Mengenai mekanisme kepesertaan, seluruh pekerja yang memiliki pendapatan sebesar UMR ke atas wajib mendaftar, wiraswasta dan pekerja informal lainnya termasuk (PP Pasal 5 ayat 3). Bahkan definisi pekerja di UU Tapera juga memasukkan WNA yang telah bekerja di Indonesia selama minimal 6 bulan (PP pasal 1 ayat 11). Namun, untuk MBR yang bergaji di bawah UMR, kepesertaan tidak bersifat wajib (PP pasal 5 ayat 4). Pelaksanaan Tapera akan dilakukan secara bertahap kepada kelompok pekerja tertentu, dengan fokus pelaksanaan dalam urutan berikut : ASN, pekerja BUMN/BUMD, anggota TNI/Polri, dan pekerja swasta.

ASN dijadikan fokus pertama karena keanggotaannya sudah tercatat di Taperum PNS, sehingga implementasinya akan berlangsung lebih cepat. Pekerja yang ingin menerima manfaat dari dana Tapera hanya harus menggunakannya untuk pembelian/pembangunan/renovasi rumah pertama. Namun, peserta yang mampu mengklaim manfaat ini hanyalah dari golongan MBR, yang bergaji UMR hingga 8 juta/bulan.

Untuk peserta bergaji di atas batas tersebut, mereka hanya mampu mengambil benefit melalui pemupukan dana setelah pensiun. Adapun juga urutan prioritas pembiayaan yang mengkriteriakan kelayakan peserta untuk menerima pinjaman tersebut sebagai berikut : lamanya masa kepesertaan, kelancaran membayar simpanan, kemendesakan kepemilikan rumah, dan ketersediaan dana pemanfaatan. (PP pasal 39).

Dasar Konsep Tapera

Sistem Tapera yang digunakan didasari oleh sistem-sistem jaminan perumahan di negara lain, terutama Singapura. Dalam Naskah Akademis UU Tapera, perancang UU memberikan dua sistem utama untuk dipertimbangkan, yaitu sistem kontraktual, yang sering dipakai oleh negara-negara eropa, dan housing provident fund (HPF), yang populer di Asia.

Perbedaannya terletak pada kewajiban masyarakat untuk mengikuti jaminan perumahan. Negara-negara Asia seperti Singapura, RRT, dan Malaysia yang memiliki intervensi pemerintah cukup tinggi dalam urusan rakyatnya mewajibkan pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta. Hal ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan papan seperti pemukiman kumuh di negara yang belum memiliki ekonomi semaju Eropa, dimana mereka mampu untuk mengandalkan mekanisme pasar saja dan intervensi pemerintah minim (meskipun sekarang kondisi perumahan di Eropa juga tidak terlihat bagus).

Singapura, contohnya, adalah salah satu negara yang paling sukses dalam memberikan perumahan pada rakyatnya, dimana 80% dari perumahan Singapura yang dikondensasi dalam bentuk Rusun dimiliki oleh pemerintah. Jaminan perumahannya yang merupakan program dari Central Provident Fund (CPF) sebagai badan utama penyelenggaraan. Pekerja dan perusahaaan harus mengalokasikan masing-masing 20% dan 15,5% dari gaji pekerja pada CPF, yang nantinya akan diatur untuk berbagai jaminan pekerja, termasuk jaminan perumahan.

Dengan pengaturan pasar perumahan melalui Housing and Development Board (HDB),  pemerintah Singapura mampu menjamin perumahan yang berkualitas dan terjangkau bagi setiap bagian dari masyarakat. Malaysia, di sisi lain, memiliki situasi yang hampir sama dengan Singapura. Tetapi, satu hal yang unik adalah Malaysia memperbolehkan pekerja asing untuk mendaftar di dalam skemanya di bawah lembaga Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP).

Perbedaan pengerahan dana antara pekerja lokal dan asing terletak pada kontribusi perusahaan. Perusahaan harus mengalokasikan 12% dari gaji pekerja lokal, sementara untuk pekerja asing hanya RM5/peserta. Elemen-elemen di negara-negara tetangga terlihat di skema Tapera, walaupun persentase pengalokasian untuk Tapera jauh lebih sedikit daripada  CPF dan KWSP.

Masalah Pengimplementasian Tapera

Upaya pemerintah untuk meniru kesuksesan negara lain dalam menerapkan tabungan perumahan tidak luput dari kritik. Namun kritik utama tidak ditujukan pada adanya kelemahan pada mekanisme yang menyebabkan kemungkinan blunder dalam pelaksanaan, tetapi pada waktu penerbitan dan pelaksanaan dari Tapera yang dinilai tidak tepat. Baik berbagai serikat buruh maupun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak Tapera diadakan dalam waktu dekat karena kondisi perekonomian yang sedang lemah akibat pandemi. Untuk menjelaskannya dalam jargon ekonomi, perekonomian dunia sedang mengalami resesi sebagai akibat dari turunnya permintaan agregat.

Krisis yang berasal dari permintaan lebih susah untuk diatasi karena efeknya meliputi seluruh sektor ekonomi dan perilaku masyarakat tidak bisa diubah begitu saja dengan insentif pengurangan pajak karena ada faktor di luar ekonomi yang ikut memengaruhi (juga disebut ceteris paribus), dalam hal ini isu kesehatan. Berkurangnya permintaan memaksa pengusaha untuk memotong biaya produksi.

Cara yang paling mudah adalah dengan memecat dan merumahkan pekerja, yang akan menyebabkan pendapatan masyarakat berkurang, dan mengurangi konsumsi mereka, memperburuk lebih lanjut kondisi perekonomian. Resesi ini adalah lingkaran setan yang membutuhkan waktu cukup lama agar negara mampu memulihkan diri. Pengalaman Indonesia bisa dibilang lumayan parah karena puncak krisisnya belum tercapai, sementara negara-negara lain sudah melewati fase tersebut.

Alhasil, apabila perusahaan dipaksa untuk mengeluarkan uang lagi ketika mereka berusaha memulihkan diri untuk Tapera, hal tersebut akan membebani mereka lebih lanjut dengan pengeluaran yang tidak menguntungkan. Karena selain iuran Tapera, perusahaan juga harus membayar pajaknya, cadangan pesangon, dan iuran untuk BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan pekerjanya.

Bila ditambah dengan persentase Tapera, perusahaan harus mengalokasikan sekitar 19% dari upah untuk jaminan sosial, dibandingkan dengan 6,5% yang harus ditanggung pekerja. Pekerja yang juga terdampak akibat PHK dan pengurangan gaji sudah sewajarnya menolak, paling tidak dalam jangka waktu pendek.

Salah satu Serikat Pekerja yang mendukung Tapera adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang dibawahi oleh Said Iqbal. Dukungan itupun mensyaratkan revisi pada landasan hukumnya, seperti perubahan terhadap kontribusi buruh dan perusahaan yang tidak memberatkan buruh dan peninjauan kembali perlu masuknya pekerja asing dalam skema Tapera.

Inklusi pekerja asing dalam skema Tapera mungkin terlihat cukup aneh. Pekerja asing bukanlah WNI sehingga seharusnya mereka tidak menerima jaminan sosial yang sama seperti WNI. Meskipun mereka berkontribusi terhadap pengerahan dana, tetapi mereka mampu menarik kas negara untuk keperluan mereka ketika ingin memanfaatkan dana Tapera, padahal dana tersebut bisa digunakan untuk WNI yang jauh lebih membutuhkan.

Faktanya, temuan Ombudsman menyebutkan bahwa WNA di Indonesia rata-rata menghasilkan lebih banyak uang daripada pekerja lokal dan tidak berada dalam status MBR. Sudah bisa dipastikan bahwa pekerja asing tidak akan menerima benefit langsung di dalam skema Tapera. Tetapi, hal tersebut juga berarti bahwa WNI yang gajinya berada di atas batas MBR tidak bisa memanfaatkan dana secara langsung juga.

Dalam hal ini Tapera cukup berbeda dengan kedua BPJS dimana setiap pesertanya akan menerima benefit sesuai dengan tujuan keikutsertaan mereka. Wajar apabila banyak kalangan menengah ke atas, apalagi mereka yang bukan pekerja upah, kurang menerima skema ini karena kerumitan birokrasi tambahan untuk mengurus sesuatu yang tidak menguntungkan bagi mereka. Efek jangka panjangnya adalah penunggakan masal yang menyebabkan aset BP Tapera kurang untuk melakukan operasi, sehingga terpaksa defisit. Hal inilah yang dialami oleh BPJS Kesehatan.

Dalam masa pandemi seperti sekarang, kita juga tidak akan melihat pembayaran iuran yang banyak dari sektor swasta dalam waktu dekat. Melihat banyaknya pekerja yang dianggurkan, mereka tidak bisa menjadi peserta karena tidak menerima upah apapun. Pihak BP Tapera sendiri paham kalau mereka tidak bisa tergesa-gesa dalam pengimplementasian Tapera;BP Tapera menargetkan 3 tahapan pertama kepesertaan selesai pada tahun 2023, ditambah dengan digitalisasi layanan.

Bagi pekerja sektor swasta yang wajib menjadi peserta, diberikan waktu 7 tahun sejak pemberlakuan PP Tapera untuk mendaftar. Jika tidak, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan di PP Tapera. Namun, rintangan utama bagi realisasi tersebut adalah penolakan Apindo yang cukup tegas. Kritik yang dilancarkan oleh Apindo, selain berkutat pada pemulihan iklim bisnis, juga mempermasalahkan tumpang tindihnya PP Tapera dengan bantuan perumahan pada jaminan hari tua BPJS Ketenagakerjaan (PP no. 55 tahun 2015 pasal 37A). Kritik ini cukup logis karena keberadaan dua skema yang berbentrokan akan menimbulkan kebingungan administratif dan pengeluaran biaya yang tidak perlu.

Tetapi dibalik semua permasalahan tadi, Tapera tidak akan berjalan dengan baik jika rumah yang hendak dibeli oleh peserta tidak ada. Untuk sekarang BP Tapera belum menunjukkan kejelasan mengenai sistem pengadaan rumah yang akan mereka pakai. Kementerian PUPR sebagai koordinator utama pembangunan perumahan rakyat sudah memiliki berbagai program pembangunan rumah seperti program sejuta rumah yang membangun rumah deret dan rumah susun (rusun).

Pada tahap ini pemerintah sering terkendala tahap-tahap birokratis untuk melakukan pembangunan, apalagi bila terjadi sengketa lahan dengan rakyat. Contoh yang tidak lama terjadi adalah penggusuran pemukiman kumuh Tamansari di Bandung untuk keperluan rumah deret, yang sampai sekarang masih ditolak walaupun oleh beberapa KK saja.

Pembangunan perumahan berkelanjutan hendaknya dibangun di area yang memiliki populasi yang lebih membutuhkan, seperti di perkotaan. Hal ini dikarenakan wilayah urban biasanya menampung populasi yang lebih tinggi dan padat, sehingga urgensi keberadaan pemukiman juga semakin tinggi. Karena program perumahan murah yang minim sebelum reformasi, maka rakyat yang bermigrasi ke kota terpaksa membangun pemukiman kumuh sendiri untuk tempat tinggal.

Oleh karena itulah penolakan rakyat terhadap penggusuran cenderung keras, karena mereka harus memulai hidup baru dengan pekerjaan baru yang sulit dicari, apalagi jika ganti rugi dari pemkot tidak sampai-sampai. Dengan target peserta hingga 13 juta, pemerintah masih perlu untuk membangun banyak rumah dan lebih baik dalam mengurus isu sengketa lahan.

Optimisme untuk Masa Depan

Kita mampu melihat bahwa Tapera adalah upaya pemerintah dalam memberikan kemudahan papan bagi masyarakat. Pemanfaatan dari Tapera akan lebih terlihat dalam jangka panjang, sehingga tidak ada salahnya untuk pemerintah mengesahkan PP Tapera pada masa pandemi, karena dari pihak BP Tapera sendiri sudah mempersiapkan rencana yang memperhatikan kondisi perekonomian dan jaminan sosial yang sudah ada, termasuk dampak-dampak dari pandemi. Namun, ada beberapa permasalahan yang mampu membuat implementasi dari Tapera menjadi kacau.

Beberapa di antaranya adalah kemungkinan defisit yang tinggi karena masyarakat enggan membayar, tumpang tindihnya program dengan program lain yang berpotensi menyebabkan pembiayaan tidak perlu, dan kesiapan perumahan itu sendiri apabila peserta sudah mulai mengajukan pemanfaatan dana. Harapannya adalah Tapera mampu menjadi contoh baik bagi penerapan kebijakan jaminan sosial, dan jaminan-jaminan sosial lainnya yang masih memiliki permasalahan dapat melihat Tapera untuk memperbaiki layanannya.

Daftar Pustaka

Pertiwi, Suryani Wandari Putri. 2020. Dukung Tapera : KSPI Minta PP No. 25 Tahun 2020 Diperbaiki. Diakses di www.mediaindonesia.com pada tanggal 16 Juni 2020.

Pratama, Wibi Pangestu. 2020. BP Tapera Tunjuk BRI sebagai Bank Kustodian. Diakses di www.finansial.bisnis.com pada tanggal 16 Juni 2020.

Choirul, Muhammad. 2019. 12 Juta Jiwa Nunggak, BPJS Kesehatan Siap Gedor Pintu Rumah. Diakses di www.cnbcindonesia.com pada tanggal 17 Juni 2020.

Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. 2018. Gaji TKA di Indonesia Lebih Tinggi dari TKI di Luar Negeri, Mengapa?. Diakses di www.ekonomi.kompas.com pada tanggal 17 Juni 2020

Foo, Sing Tien. 2019. Commentary: A look at HDB flat affordability after recent housing policy moves. Diakses di www.channelnewsasia.com pada tanggal 17 Juni 2020.

Bayu, Dimas Jarot. 2020. BP Tapera Targetkan 13 Juta Peserta pada 2024. Diakses di www.katadata.co.id pada tanggal 18 Juni 2020.

Sholihah, Imas. 2016. "Polemik Undang Undang Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera)". Diakses di www.rechtsvinding.bphn.go.id pada tanggal 18 Juni 2020.

RCUS. 2017. "Report to UN Special Rapporteur on Adequate Housing Context: Indonesia, Jakarta, Solo, Makassar, Surabaya, Yogyakarta". Diakses di www.ohchr.org pada tanggal 18 Juni 2020

Pemerintah Indonesia. 2020. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 136. Sekretariat Negara. Jakarta.

Pemerintah Indonesia. 2016. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Diakses di www.dpr.go.id pada tanggal 16 Juni 2020

Pemerintah Indonesia. 2016. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 55. Sekretariat Negara. Jakarta.

BP Tapera. 2020. BP Tapera : Menghimpun Dana Murah Jangka Panjang (Presentasi PowerPoint), diakses di https://www.tapera.go.id/press-briefing.html  pada tanggal 18 Juni 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun