Perbedaan pengerahan dana antara pekerja lokal dan asing terletak pada kontribusi perusahaan. Perusahaan harus mengalokasikan 12% dari gaji pekerja lokal, sementara untuk pekerja asing hanya RM5/peserta. Elemen-elemen di negara-negara tetangga terlihat di skema Tapera, walaupun persentase pengalokasian untuk Tapera jauh lebih sedikit daripada  CPF dan KWSP.
Masalah Pengimplementasian Tapera
Upaya pemerintah untuk meniru kesuksesan negara lain dalam menerapkan tabungan perumahan tidak luput dari kritik. Namun kritik utama tidak ditujukan pada adanya kelemahan pada mekanisme yang menyebabkan kemungkinan blunder dalam pelaksanaan, tetapi pada waktu penerbitan dan pelaksanaan dari Tapera yang dinilai tidak tepat. Baik berbagai serikat buruh maupun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak Tapera diadakan dalam waktu dekat karena kondisi perekonomian yang sedang lemah akibat pandemi. Untuk menjelaskannya dalam jargon ekonomi, perekonomian dunia sedang mengalami resesi sebagai akibat dari turunnya permintaan agregat.
Krisis yang berasal dari permintaan lebih susah untuk diatasi karena efeknya meliputi seluruh sektor ekonomi dan perilaku masyarakat tidak bisa diubah begitu saja dengan insentif pengurangan pajak karena ada faktor di luar ekonomi yang ikut memengaruhi (juga disebut ceteris paribus), dalam hal ini isu kesehatan. Berkurangnya permintaan memaksa pengusaha untuk memotong biaya produksi.
Cara yang paling mudah adalah dengan memecat dan merumahkan pekerja, yang akan menyebabkan pendapatan masyarakat berkurang, dan mengurangi konsumsi mereka, memperburuk lebih lanjut kondisi perekonomian. Resesi ini adalah lingkaran setan yang membutuhkan waktu cukup lama agar negara mampu memulihkan diri. Pengalaman Indonesia bisa dibilang lumayan parah karena puncak krisisnya belum tercapai, sementara negara-negara lain sudah melewati fase tersebut.
Alhasil, apabila perusahaan dipaksa untuk mengeluarkan uang lagi ketika mereka berusaha memulihkan diri untuk Tapera, hal tersebut akan membebani mereka lebih lanjut dengan pengeluaran yang tidak menguntungkan. Karena selain iuran Tapera, perusahaan juga harus membayar pajaknya, cadangan pesangon, dan iuran untuk BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan pekerjanya.
Bila ditambah dengan persentase Tapera, perusahaan harus mengalokasikan sekitar 19% dari upah untuk jaminan sosial, dibandingkan dengan 6,5% yang harus ditanggung pekerja. Pekerja yang juga terdampak akibat PHK dan pengurangan gaji sudah sewajarnya menolak, paling tidak dalam jangka waktu pendek.
Salah satu Serikat Pekerja yang mendukung Tapera adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang dibawahi oleh Said Iqbal. Dukungan itupun mensyaratkan revisi pada landasan hukumnya, seperti perubahan terhadap kontribusi buruh dan perusahaan yang tidak memberatkan buruh dan peninjauan kembali perlu masuknya pekerja asing dalam skema Tapera.
Inklusi pekerja asing dalam skema Tapera mungkin terlihat cukup aneh. Pekerja asing bukanlah WNI sehingga seharusnya mereka tidak menerima jaminan sosial yang sama seperti WNI. Meskipun mereka berkontribusi terhadap pengerahan dana, tetapi mereka mampu menarik kas negara untuk keperluan mereka ketika ingin memanfaatkan dana Tapera, padahal dana tersebut bisa digunakan untuk WNI yang jauh lebih membutuhkan.
Faktanya, temuan Ombudsman menyebutkan bahwa WNA di Indonesia rata-rata menghasilkan lebih banyak uang daripada pekerja lokal dan tidak berada dalam status MBR. Sudah bisa dipastikan bahwa pekerja asing tidak akan menerima benefit langsung di dalam skema Tapera. Tetapi, hal tersebut juga berarti bahwa WNI yang gajinya berada di atas batas MBR tidak bisa memanfaatkan dana secara langsung juga.
Dalam hal ini Tapera cukup berbeda dengan kedua BPJS dimana setiap pesertanya akan menerima benefit sesuai dengan tujuan keikutsertaan mereka. Wajar apabila banyak kalangan menengah ke atas, apalagi mereka yang bukan pekerja upah, kurang menerima skema ini karena kerumitan birokrasi tambahan untuk mengurus sesuatu yang tidak menguntungkan bagi mereka. Efek jangka panjangnya adalah penunggakan masal yang menyebabkan aset BP Tapera kurang untuk melakukan operasi, sehingga terpaksa defisit. Hal inilah yang dialami oleh BPJS Kesehatan.