Mohon tunggu...
BIDANG KEILMUAN
BIDANG KEILMUAN Mohon Tunggu... Lainnya - HMD IESP FEB UNDIP

Bidang Keilmuan merupakan bagian dari Himpunan Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomika dan Studi Pembangunan yang bergerak di bidang kajian dan diskusi aktif terhadap dinamika ekonomi dan memiliki fungsi fasilitator untuk memfasilitasi pengembangan prestasi akademik mahasiswa IESP FEB UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mendekonstruksi dan Meneliti Urgensi PP Tapera

24 Juni 2020   15:11 Diperbarui: 24 Juni 2020   15:19 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam mekanisme Tapera, sistem pengelolaan dana dibagi menjadi pengerahan, pemupukan, dan pemanfaatan dana (PP pasal 4). Baik perusahaan maupun pekerja berkontribusi masing-masing sebesar 0,5% dan 2,5% dari pendapatan pekerja ke dalam rekening BP Tapera yang nantinya akan diolah untuk keperluan pekerja.

Suatu miskonsepsi jika kita memahami dana Tapera hanya bisa digunakan ketika iuran pribadi cukup untuk membeli rumah, karena layaknya PUMP, BP Tapera memberi pinjaman dengan suku bunga yang terjangkau bagi masyarakat (PP pasal 36 ayat 1), yang akan ditetapkan sebesar 5% oleh BP Tapera. Modal awal Tapera untuk mendukung kegiatannya didapatkan dari aset negara (PP pasal 43 ayat 1), dan kini telah memiliki Rp10,4 triliun yang berasal dari Taperum-PNS.

Selain dimanfaatkan oleh pekerja, simpanan Tapera juga akan diinvestasikan dalam bentuk SBN baik secara konvensional maupun syariah untuk meningkatkan dana (PP pasal 26). Itulah yang disebut pemupukan dana oleh PP. Semua proses tersebut nantinya kan dibantu oleh beberapa BUMN, dimana yang paling prominen adalah Bank Kustodian yang bertugas sebagai tempat penyimpanan aset BP Tapera. Posisi Bank Kustodian yang dimaksud kini dipegang oleh BRI.

Mengenai mekanisme kepesertaan, seluruh pekerja yang memiliki pendapatan sebesar UMR ke atas wajib mendaftar, wiraswasta dan pekerja informal lainnya termasuk (PP Pasal 5 ayat 3). Bahkan definisi pekerja di UU Tapera juga memasukkan WNA yang telah bekerja di Indonesia selama minimal 6 bulan (PP pasal 1 ayat 11). Namun, untuk MBR yang bergaji di bawah UMR, kepesertaan tidak bersifat wajib (PP pasal 5 ayat 4). Pelaksanaan Tapera akan dilakukan secara bertahap kepada kelompok pekerja tertentu, dengan fokus pelaksanaan dalam urutan berikut : ASN, pekerja BUMN/BUMD, anggota TNI/Polri, dan pekerja swasta.

ASN dijadikan fokus pertama karena keanggotaannya sudah tercatat di Taperum PNS, sehingga implementasinya akan berlangsung lebih cepat. Pekerja yang ingin menerima manfaat dari dana Tapera hanya harus menggunakannya untuk pembelian/pembangunan/renovasi rumah pertama. Namun, peserta yang mampu mengklaim manfaat ini hanyalah dari golongan MBR, yang bergaji UMR hingga 8 juta/bulan.

Untuk peserta bergaji di atas batas tersebut, mereka hanya mampu mengambil benefit melalui pemupukan dana setelah pensiun. Adapun juga urutan prioritas pembiayaan yang mengkriteriakan kelayakan peserta untuk menerima pinjaman tersebut sebagai berikut : lamanya masa kepesertaan, kelancaran membayar simpanan, kemendesakan kepemilikan rumah, dan ketersediaan dana pemanfaatan. (PP pasal 39).

Dasar Konsep Tapera

Sistem Tapera yang digunakan didasari oleh sistem-sistem jaminan perumahan di negara lain, terutama Singapura. Dalam Naskah Akademis UU Tapera, perancang UU memberikan dua sistem utama untuk dipertimbangkan, yaitu sistem kontraktual, yang sering dipakai oleh negara-negara eropa, dan housing provident fund (HPF), yang populer di Asia.

Perbedaannya terletak pada kewajiban masyarakat untuk mengikuti jaminan perumahan. Negara-negara Asia seperti Singapura, RRT, dan Malaysia yang memiliki intervensi pemerintah cukup tinggi dalam urusan rakyatnya mewajibkan pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta. Hal ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan papan seperti pemukiman kumuh di negara yang belum memiliki ekonomi semaju Eropa, dimana mereka mampu untuk mengandalkan mekanisme pasar saja dan intervensi pemerintah minim (meskipun sekarang kondisi perumahan di Eropa juga tidak terlihat bagus).

Singapura, contohnya, adalah salah satu negara yang paling sukses dalam memberikan perumahan pada rakyatnya, dimana 80% dari perumahan Singapura yang dikondensasi dalam bentuk Rusun dimiliki oleh pemerintah. Jaminan perumahannya yang merupakan program dari Central Provident Fund (CPF) sebagai badan utama penyelenggaraan. Pekerja dan perusahaaan harus mengalokasikan masing-masing 20% dan 15,5% dari gaji pekerja pada CPF, yang nantinya akan diatur untuk berbagai jaminan pekerja, termasuk jaminan perumahan.

Dengan pengaturan pasar perumahan melalui Housing and Development Board (HDB),  pemerintah Singapura mampu menjamin perumahan yang berkualitas dan terjangkau bagi setiap bagian dari masyarakat. Malaysia, di sisi lain, memiliki situasi yang hampir sama dengan Singapura. Tetapi, satu hal yang unik adalah Malaysia memperbolehkan pekerja asing untuk mendaftar di dalam skemanya di bawah lembaga Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun