Mohon tunggu...
Keiko Hubbansyah
Keiko Hubbansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pembangunan Ekonomi di Meksiko dan Relevansinya dengan Indonesia

28 Juli 2016   11:30 Diperbarui: 28 Juli 2016   11:35 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan ekonomi – yang dimaknai sebagai upaya suatu negara untuk mengembangkan aktivitas ekonomi – adalah fokus utama dari setiap pengambil kebijakan di semua negara. Pembangunan ekonomi – yang oleh Meier (1995) didefinisikan sebagai proses mendorong peningkatan pendapatan per kapita suatu negara dalam jangka panjang – menjadi penting karena sedikitnya memiliki tiga tujuan pokok yang harus dicapai. Tujuan pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok. Tujuan kedua, peningkatan standar hidup. Dan, tujuan ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial, baik bagi individu maupun masyarakat (Todaro, 2000).           

Dalam operasionalnya, salah satu pendekatan yang diambil para pemutus kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi adalah dengan mengadakan kebijakan transformasi struktural. Kebijakan transformasi struktural mengupayakan terjadinya realokasi sumberdaya (resources) di antara sektor dalam perekonomian (Herrendorf, et.al, 2013). Umumnya, kebijakan transformasi struktural memanfaatkan surplus sumberdaya – seperti, kapital dan tenaga kerja – yang terdapat pada sektor primer – atau sektor tradisional – untuk diarahkan pada sektor yang lebih produktif, yakni sektor sekunder dan tersier – atau sektor modern. Pada pelaksanaannya, proses transformasi struktural dicirikan dari tiga hal, yakni pertama, transformasi struktural menciptakan adanya perubahan pada struktur ketenagakerjaan.

Dalam hal ini, berlangsungnya proses transformasi struktural akan menyebabkan terjadinya migrasi tenaga kerja dari sektor primer – sektor pertanian – ke sektor manufaktur dan jasa. Kedua, adanya perubahan dalam struktur permintaan, dari yang sebelumnya lebih dominan pada komoditas pertanian, perlahan mengarah ke hasil produksi manufaktur dan jasa. Hal ini menyebabkan proporsi anggaran untuk belanja komoditas pertanian rumah tangga relatif menurun sepanjang waktu. Ketiga, adanya perubahan dalam struktur produksi. Perubahan dalam struktur produksi, sebagai akibat dari proses transformasi struktural, sebenarnya merupakan konsekuensi dari adanya perpindahan – atau realokasi – sumberdaya, dan perubahan dalam struktur pemintaan masyarakat. Perubahan struktur produksi ditandai dengan lebih dominannya barang-barang yang bersifat industrial dalam suatu perekonomian (Rahardjo, 1990).   

Kebijakan transformasi sektoral mengandaikan bahwa sektor modern lebih produktif, sehingga lebih relevan untuk ditumbuhkembangkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini karena pada sektor modern akan dihasilkan nilai tambah (value added) yang lebih besar dibandingkan sektor tradisional, dan oleh karena itu, surplus sumberdaya harus sepenuhnya dialokasikan ke sektor modern. Dalam kebanyakan model teoretikal dinyatakan bahwa sektor tradisional akan terserap – atau menghilang – dalam jangka panjang (Agrawal, et.al, 2013).

Dalam empirisnya, langkah transformasi struktural yang mengarah pada penumbuhkembangan sektor modern telah terbukti berhasil meningkatkan standar hidup di negara-negara dunia pertama – berdasarkan fakta historis, negara maju lebih dulu melakukan realokasi sumberdaya ke sektor modern, dan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong kemajuan mereka. Pengaruh keberhasilan penerapan kebijakan transformasi struktural di negara-negara maju inilah yang kemudian membuat pengambil kebijakan di negara-negara dunia ketiga – yakni, kelompok negara-negara berkembang, termasuk dalam hal ini, Meksiko dan Indonesia– memilih jalur kebijakan yang sama dalam rangka membangun perekonomiannya.      

Upaya modernisasi perekonomian Meksiko, seperti yang ditunjukkan dalam artikel “Despite Decades of Reform, Most Mexicans Are Still a Long Way From Wealth and Modernity”,dilakukan dalam kerangka transformasi struktural di atas. Modernisasi diarahkan untuk menciptakan perubahan struktur dalam perekonomian Meksiko melalui pengembangan sektor industri – atau kebijakan industrialisasi.

Hal ini terlihat dari geliat industri yang tumbuh dengan cepat di daerah-daerah di Meksiko. Sebagai contoh, Audi, salah satu perusahaan otomotif dunia, berencana untuk memindahkan lokasi produksi mobil Q5 dari Jerman ke Meksiko. Menariknya, lokasi produksi baru yang dipilih Audi adalah daerah pinggiran Meksiko, yakni San Jose Chiapa, Negara Bagian Puebla. Kegiatan industrialisasi yang menggeliat di daerah pinggiran Meksiko membawa dampak positif, yakni tingginya penyerapan tenaga kerja di daerah periferi atau pinggiran Meksiko.    

Sungguhpun begitu, upaya transformasi sektoral di Meksiko – sebagaimana tertulis jelas di dalam artikel – didapati menyisakan banyak persoalan. Persoalan pertama menyangkut aspek budaya. Penduduk Meksiko, khususnya yang hidup di daerah pinggiran dan yang merupakan penduduk asli – disebut dengan mexico profundo –memiliki persistensi budaya yang kuat terhadap proses transformasi yang tengah berlangsung. Penduduk San Jose Chiapa, misalnya, merasa bahwa dengan pindahnya lokasi produksi mobil Audi ke kota mereka akan berdampak buruk terhadap tingkat kriminalitas, keamanan, ataupun kesehatan lingkungan. Persoalan lain yang tak kalah pentingnya, adalah terjadinya mismatch antara jenis industri yang berkembang dengan kondisi pasar tenaga kerja yang ada di Meksiko.

Klaster industri yang berkembang di Meksiko di antaranya adalah industri mobil, pesawat, barang-barang elektronik, dan perlengkapan elektronik lainnya. Industri-industri ini berkontribusi terhadap 70 persen nilai ekspor, atau setara dengan 18 persen GDP Meksiko. Jika dilihat jenis-jenis industri di atas lebih bersifat kapital intesif, atau lebih dominan penggunaan kapitalnya daripada tenaga kerja. Kalaupun membutuhkan tenaga kerja, maka tenaga kerja yang dibutuhkan adalah yang terdidik. Ini menjadi persoalan tersendiri bagi pasar tenaga kerja Meksiko belum semuanya terdidik. Apalagi tenaga kerja yang ada di daerah pinggiran tempat kegiatan industri mulai menggeliat.

Kondisi mismatchini berdampak pada kurang optimalnya penyerapan tenaga kerja oleh sektor modern, atau dalam hal ini, sektor industri. Persoalan lain adalah kebijakan integrasi ekonomi intrakawasan dibawah pandu NAFTA tidak cukup membawa kontribusi positif terhadap perkembangan ekonomi domestik Meksiko. Meski salah satu landasan pembentukannya adalah pengentasan kemiskinan, tapi pada faktanya tujuan ini belum dapat diwujudnyatakan secara optimal. Sebab, sebagaimana terungkap, hampir setengah dari penduduk Meksiko hidup dalam kemiskinan. Khususnya di daerah-daerah yang relatif terbelakang, seperti Meksiko bagian selatan.

Lebih lanjut, proses transformasi struktural yang berlangsung di Meksiko, yang ditandai dengan adanya program industrialisasi, menyebabkan terjadinya ketimpangan kesejahteraan, baik pada level antarwilayah maupun pada interwilayahnya. Aktivitas industri di Meksiko – yang terdiri dari industri otomotif, pesawat, barang-barang elektronik dan produk elektronik lainnya – lebih terfokus di wilayah bagian utara dan tengah yang ditinggali oleh hampir 70 persen penduduk Meksiko. Nuevo Leon, daerah yang berada dekat dengan perbatasan Amerika dan menjadi daerah pusat industri Meksiko, bahkan memiliki produktivitas ekonomi yang setara dengan Korea Selatan.

Sementara itu, wilayah bagian selatan Meksiko yang kondisinya relatif tertinggal, memiliki tingkat produktivitas ekonomi yang sama dengan Honduras. Hal ini menunjukkan lebarnya kesenjangan antara wilayah bagian utara dan selatan Meksiko. Kesenjangan, pada kenyataannya, juga terjadi pada level interwilayah. Program industrialisasi yang mulai mengarah ke daerah periferi Meksiko pada faktanya lebih dinikmati oleh kelompok yang disebut dengan elite lokal. Kelompok elite lokal inilah – karena lebih adaptif – didapati lebih mampu menyesuaikan diri dengan ritme industrialisasi yang tengah berkembang, sehingga mereka bisa lebih maju, terutama dari aspek pola pikirnya, dibanding golongan lain – golongan bukan elite lokal – yang jumlahnya jauh lebih besar. Secara umum, selain persoalan spasial di atas, perbedaan antara wilayah utara dan selatan Meksiko, dalam kerangka analisis oposisi biner, dapat dinyatakan sebagai perbedaan antara yang formal dan informal; antara rule of law dan ketiadaan institusi.    

Meskipun relatif tertinggal, bukan berarti kegiatan industrialisasi di daerah bagian selatan Meksiko tidak ada sama sekali. Penduduk yang tinggal di bagian selatan Meksiko, yang dicirikan dengan tingkat produktivitas ekonomi yang lebih rendah dari Utara, sejatinya juga menjalankan kegiatan industri. Hanya skala usahanya relatif kecil. Yang disayangkan, perkembangan industri di bagian selatan Meksiko, pada prakteknya, terganggu oleh ketiadaan infrastruktur yang memadai, sedikitnya tenaga kerja berkeahlian (skilled labour), akses keuangan yang relatif terbatas, dan persoalan rendahnya kepercayaan terhadap pelaku usaha. Konfigurasi negatif yang menghambat pengembangan usaha di wilayah selatan Meksiko, memaksa pelaku usaha –khususnya yang berada di desa– untuk bermigrasi ke pusat kota.  

Jika diperhatikan kondisi yang terjadi di Meksiko di atas – dalam upaya mendorong terjadinya transformasi struktural melalui program industrialisasi– memiliki relevansi yang erat dengan kasus Indonesia. Sejak Orba –yakni, rezim yang mengedepankan tiga aspirasi, yang meliputi pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan pemerataan hasil-hasil pembangunan– berkuasa, program industrialisasi dikedepankan dalam rangka mempercepat proses transformasi struktural untuk menuju tahap lepas landas. Program industrialisasi yang dilaksanakan menghasilkan efek yang sangat positif dimana ekonomi Indonesia rata-rata bertumbuh 6.7 persen per tahun selama 1967-1996.

Perkembangan yang monumental, dalam kerangka transformasi struktural, terjadi pada 1990-2000. Pada 1990, share Indonesia atas ekspor produk manufaktur dunia mencapai 0.4 persen. Pada 2000, share-nya meningkat menjadi 0.8 persen. Secara relatif terhadap negara-negara berpendapatan menengah, shareIndonesia atas ekspor produk manufaktur meningkat dari 7 persen pada 1990 menjadi 24 persen pada 2000. Dampaknya, peran sektor manufaktor menjadi semakin penting bagi perekonomian Indonesia.

Tren dari 1985 – 2000 menunjukkan kenaikan share sektor manufaktur relatif terhadap PDB, dari 16 persen pada 1985 menjadi 27.7 persen pada 2000. Dan, ini berdampak dominannya share ekspor produk manufaktur Indonesia relatif terhadap total ekspornya, dari 13 persen pada 1985 menjadi 57.7 persen pada 2000. Meski kemudian ditemui adanya kecenderungan deindustrialisasi, dimana sharemanufaktur mengalami penurunan dari 27.7 persen pada 1990 menjadi 25 persen pada 2013 terhadap PDB, sektor manufaktur masih tercatat sebagai salah satu sektor yang dominan.

Selain perubahan struktur produksi, kebijakan transformasi struktural di Indonesia juga memunculkan terjadinya perubahan dalam struktur ketenagakerjaan. Jumlah (share) tenaga kerja yang bekerja di sektor modern, yakni manufaktur dan jasa, secara gradual terus membesar. Di sisi yang lain, share tenaga kerja yang bekerja di sektor agrikultur terus menurun. Hal Ini mengindikasikan bahwa terjadi migrasi tenaga kerja dari sektor tradisional agrikultur ke sektor modern, yakni sektor manufaktur dan jasa.  

Sungguhpun demikian, perkembangan positif di atas juga mengandung sejumlah catatan penting yang perlu perhatian serius. Seperti halnya yang terjadi di Meksiko, kebijakan transformasi struktural yang diakselerasi dengan pelaksanaan program industrialisasi di Indonesia juga menyisakan ekses negatif. Utamanya yang menyangkut dengan masalah ketimpangan. Jika di Meksiko ketimpangan terjadi antara wilayah bagian utara dan selatan, di Indonesia ketimpangan terjadi antara wilayah Jawa dan Non Jawa. Aset masih tetap terkonsentrasi di Pulau Jawa. Meski luasnya hanya sekitar 7 persen dari total wilayah Indonesia, Jawa menyumbang 57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Di tingkat provinsi, empat provinsi penyumbang PDB nasional terbesar juga terdapat di Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dengan sumbangan kumulatif PDB nasional lebih dari 50 persen, peran penting Jawa dalam pembangunan dilihat dari serapan tenaga kerja sangatlah dominan. Jawa menyerap lebih dari 80 persen tenaga kerja Indonesia periode 1976-2001. Dominasi penyerapan tenaga kerja disebabkan karena sebagian besar aktivitas Industri Besar dan Sedang (IBS) terkonsentrasi di Jawa. Bersama Sumatera, keduanya adalah dua wilayah yang sangat dominan dengan sumbangan mencapai 80 persen terhadap PDB nasional.

Sementara itu, dari unit analisis yang lebih mikro –yakni, individu– ketimpangan juga melebar. Setelah sempat terkontraksi cukup dalam pada saat krisis, Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif rata-rata sekitar 5 persen dalam 10 tahun terakhir. Tapi tidak berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini terdistribusi dan dirasakan oleh segenap masyarakat Indonesia. Kenyataannya, sedikit sekali porsi dari pertumbuhan ini yang dinikmati oleh kelompok mayoritas, yakni kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang jumlahnya mencapai 40 persen dari total populasi. Trennya bahkan terus saja menurun. Pada 2002, kelompok 40% penduduk berpendapatan rendah telah menerima 20.92% bagian pertumbuhan nasional. Pada 2011 porsinya turun hingga hanya mencapai 16.85%.

Ironisnya, di sisi lain, penurunan distribusi pendapatan di 40% kelompok penduduk berpendapatan rendah ini justru diikuti oleh kenaikan porsi pertumbuhan nasional yang dirasakan oleh 20% kelompok terkaya di negeri ini. Pada 2002 kelompok ini memperoleh porsi sebesar 42.2% dari pertumbuhan nasional, nilainya meningkat menjadi 48.4% pada 2011. Ketimpangan ekonomi antarkelompok masyarakat terus melebar. Hal ini tergambar dari naiknya indeks Gini, yang merupakan indikator ketimpangan, dimana angkanya meningkat dari 0.33 pada 2002 menjadi 0.41 pada 2011. Ketimpangan pada level individu ini mengkristal, salah satunya, disebabkan oleh faktor industrialisasi yang tidak inklusif. Hambatan mismatch dalam program industrialisasi terjadi karena sektor manufaktur yang dibangun lebih bersifat kapital intensif, dan tidak didukung oleh keberadaan sumberdaya domestik.             

Untuk mengurangi ekses negatif yang berwujud ketimpangan ini, salah satunya, adalah dengan membangun infrastruktur yang memadai di seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini penting karena infrastruktur adalah urat nadi bagi perekonomian. Salah satu alasan kenapa Jawa dipilih oleh IBS adalah karena ketersediaan infrastrukturnya yang mantap. Dengan adanya pembenahan infrastruktur di luar Jawa, maka pusat pembangunan ekonomi dapat disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Beberapa agenda pemerintah, seperti program transmigrasi dan pembangunan desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, pengembangan kawasan ekonomi khusus dan industri, penguatan interdepensi ekonomi antardaerah, pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

Penyelenggaraan sejumlah rencana kerja di atas, adalah bagian dari upaya mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah, dengan cara meningkatkan integrasi dan interkonektivitas seluruh wilayah di Indonesia yang pada gilirannya akan bermuara pada pemerataan pembangunan. Penumbuhkembangan sektor industri diluar Jawa juga perlu diperkuat dengan kebijakan fiskal, baik lewat kebijakan penerimaan ataupun belanja negara. Kebijakan insentif melalui kebijakan penerimaan negara dapat berupa pembebasan bea masuk; bea keluar; PPN tidak dipungut/dibebaskan; dan fasilitas PPh Badan. Kebijakan insentif dari sisi belanja negara dapat berupa subsidi sektor tertentu dan pajak ditanggung pemerintah.    

Pada sisi lain, proses transformasi struktrural perlu dipercepat guna mendorong tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan jasa. Kebijakan ini harus ditempuh karena kontribusi sektor pertanian sudah menyusut sangat besar terhadap perekonomian. Padahal, meski secara relatif sudah menurun, proporsi tenaga kerja yang berada di sektor pertanian Indonesia masih mencapai 38% pada 2013. Kondisi ini berakibat pada tingginya angka kemiskinan di sektor pertanian. Upaya untuk mendorong tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan jasa bukanlah hal yang mudah.

Sebab sektor industri memerlukan tenaga kerja berketrampilan dan berpendidikan, sementara 65% tenaga kerja hanya tamat SMP ke bawah –faktor rendahnya kualitas pendidikan ini menjadi determinan atas masih rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia. Ada mismatch antara kebutuhan industri dan pasar tenaga kerja yang ada. Dalam situasi ini, upaya gradual yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong penyerapan tenaga kerja oleh sektor industri adalah, pertama, membangun sektor industri dan jasa yang mengolah sektor pertanian dengan teknologi sedang, sehingga lompatan keterampilan yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi.

Kedua, perlu akselerasi yang masif untuk meningkatkan pendidikan masyarakat agar tercapai 50-60% porsi penduduk yang berpendidikan minimal SMA. Faktor ini sangat penting, karena dari kasus di banyak negara maju, diketahui bahwa keberhasilan proyek industrialisasi sangat ditentukan oleh ketersediaan tenaga kerja yang berketrampilan dan berpendidikan (Dijk, et.al, 2006). Dengan kualitas pendidikan yang lebih baik, upaya modernisasi perekonomian Indonesia –dengan cara mendorong terjadinya transformasi struktural– akan dapat dirasakan efek positifnya oleh seluruh masyarakat. Sehingga, sifat dari pembangunan ekonomi yang dicapai lebih inklusif.      

Aspek strategis lain yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengurangi coordination failures. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan sinergitas kebijakan antarkementerian dan antarlembaga terkait. Solusinya bisa dengan menyederhanakan jumlah kementerian dan lembaga. Jumlah kementerian tidak perlu banyak. Kementerian atau lembaga negara yang tugas pokok dan fungsinya bersinggungan akan lebih efektif bila digabungkan. Misalnya, antara Kementerian Perdagangan dan Perindustrian.

Jumlah kementerian yang terlalu gemuk seringkali memperburuk persoalan koordinasi. Selama ini relatif banyak kebijakan antarkementerian dan antarlembaga yang tumpang tindih. Konfigurasi seperti ini menyulitkan perkembangan sektor industri dan upaya transformasi struktural di Indonesia. Pada prakteknya, peraturan yang tumpang tindih menjadi salah satu halangan dalam mendorong efektivitas penerapan kebijakan industrialisasi nasional karena lebih mendorong terjadinya perilaku rent-seeking dan moral hazard dalam birokrasi sehingga menciptakan kondisi ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu, selain perampingan kementerian, seluruh kebijakan yang sifatnya tumpang tindih juga harus dipangkas. Sinergitas kebijakan antarlembaga perlu diupayakan agar tercipta kepastian institusi –atau hukum.            

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun