Mohon tunggu...
Keiko Hubbansyah
Keiko Hubbansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Refleksi Krisis Finansial di Amerika: Optimalisasi Pasar bagi Indonesia

25 Juli 2016   11:05 Diperbarui: 25 Juli 2016   11:14 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Nilai tukar Rupiah per Dollar yang demikian ini bahkan tercatat sebagai yang terendah sejak krisis moneter 1997/1998 yang melanda Indonesia. Penurunan nilai tukar yang terlalu dalam akan berdampak pada terganggunya kegiatan ekonomi produksi nasional, mengingat cukup tingginya penetrasi bahan modal dan bahan baku impor dalam komposisi produksi Indonesia. Oleh karena itu, perbaikan kondisi ekonomi yang terjadi saat ini, seperti yang diindikasikan dari turunnya rasio defisit transaksi berjalan terhadap PDB, lebih dikarenakan oleh faktor kelesuan kegiatan ekonomi produktif daripada perbaikan pada sisi kinerja struktural ekonomi. Artinya, perbaikannya relatif tidak berkualitas.   

Beranjak dari situasi di atas, dibutuhkan upaya pembenahan ekonomi yang sifatnya struktural oleh pemerintah Indonesia di masa mendatang. Setidaknya dari krisis ekonomi global saat ini dapat diketahui dua faktor yang melemahkan kondisi ekonomi Indonesia, yakni pertama, terlalu menitikberatkan sektor ekspornya pada komoditas primer yang sejatinya bernilai tambah rendah. Yang kedua, terlalu terkonsentrasinya pasar ekspor nasional yang hanya meliputi beberapa negara tujuan ekspor utama. Oleh karena itu, upaya struktural yang dapat dilakukan untuk mengatasi, atau setidaknya mengurangi ekses negatif yang ditimbulkannya, adalah melakukan optimalisasi pasar alternatif bagi ekspor Indonesia. 

Optimalisasi pasar dapat dilakukan dengan mengadakan dua hal, yakni pendalaman dan pengembangan pasar. Pendalaman pasar dapat dilakukan dengan cara meningkatkan nilai tambah produk yang diekspor. Peningkatan kualitas produk dengan nilai tambah yang mumpuni hendaknya segera dilangsungkan. Dalam hal ini, pemerintah sudah mengupayakannya lewat UU Minerba. Inti dari UU Minerba adalah memperkuat hilirisasi produk, sehingga ekspor nasional, khususnya komoditas, tidak dijual dalam bentuk bahan mentah yang rendah nilai tambahnya. Sesuai dengan amanat UU ini, pemerintah tidak akan mengizinkan ekspor mineral mentah atau konsentrat. 

Sebabnya, pemerintah selama ini merasa dirugikan dengan banyaknya perusahaan yang mengekspor hasil tambangnya, tanpa diolah terlebih dulu di pabrik pemurnian atau smelter. Karenanya pemerintah hanya mendapat porsi kecil dari pajak ekspor bijih mentah yang dibayarkan oleh perusahaan. Menurut penulis upaya ini perlu untuk terus diperjuangkan, terutama diawasi, oleh karena tingginya desakan dari pelaku pasar asing yang meminta pemerintah untuk tidak melarang ekspor dalam bentuk komoditas, seperti pengusaha otomotif asal Jepang yang ribut, karena pasokan aluminum di pasar berkurang drastis yang menyebabkan meningkatnya harga aluminium di pasar internasional.

Upaya pendalaman pasar juga dapat dilakukan dengan cara meningkatkan intensitas perdagangan dengan negara yang telah ada. Menurut penulis, perwujudan Masyarakat Ekonomi Asean adalah upaya yang dilakukan negara-negara pada level regional, termasuk Indonesia, untuk memperdalam cakupan pasarnya. Pendalaman pasar yang terjadi seiring dengan dilaksanakannya MEA pada akhir 2015 akan berdampak positif bagi kinerja ekonomi nasional apabila dapat termanfaatkan dengan baik. Untuk itu, sebagai prasyaratnya diperlukan penguatan pada sisi industri nasional agar dapat bersaing di pasar internasional, khususnya MEA. 

Untuk itu, sebagai prasyaratnya, pemerintah perlu mengadakan kebijakan pengaturan perindustrian yang lebih reformatif dan kondusif untuk mencapai perkembangan industri yang berdaya saing dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencapai hal itu, adalah perlu segera dibentuknya lembaga pembiayaan industri, seperti yang ada di Taiwan, Korea Selatan, India, Thailand, dan lainnya. Selama ini masalah pembiayaan industri masih menjadi masalah yang krusial dalam upaya peningkatan daya saing industri nasional. 

Pembiayaan industri selama ini berasal dari sektor perbankan yang sumber pembiayaannya berasal dari dana pihak ketiga yang berjangka pendek. Sebagai akibatnya, sektor industri nasional menanggung beban biaya modal yang tinggi dalam bentuk pengenaan tingkat suku bunga kredit yang tidak kompetitif. Yang dalam hal ini, beban biaya tinggi menghambat terjadinya peningkatan investasi, sehingga kegiatan pengembangan pada sektor industri pun menjadi terganggu. Selain itu, beban biaya tinggi juga menyebabkan daya saing produk industri nasional menurun. 

Dengan demikian, melalui lembaga pembiayaan industri akan dihasilkan skema pembiayaan yang kompetitif dengan biaya modal yang lebih murah dari bunga bank komersial, baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja, yang akan meningkatkan kinerja industri nasional. Skema pembiayaan kompetitif dapat dimulai dari industri-industri unggulan seperti kakao, tekstil, otomotif, dan sebagainya. Secara kelembagaan, wacana perwujudan lembaga pembiayaan industri sudah difasilitasi di dalam UU terbaru tentang Industri pada 2014 yang lalu. Dengan begitu, hambatan dari aspek legal telah dihilangkan. Artinya, harapan akan terbentuknya lembaga pembiayaan industri sudah selangkah lebih dekat.    

Lebih lanjut, aspek yang juga menarik dalam upaya pembenahan secara struktural kondisi ekonomi Indonesia adalah melalui pengembangan pasar. Pengembangan pasar dapat diartikan sebagai upaya untuk memperluas cakupan pasar ekspor Indonesia agar tidak terkonsentrasi hanya pada beberapa negara tujuan ekspor saja. Akibat yang ditimbulkan dari terbatasnya negara tujuan ekspor nasional adalah tingkat risiko ekspor nasional yang tinggi. Kondisi yang demikian ini membuat sisi ekspor Indonesia akan sangat rentan terhadap shock ekonomi yang terjadi khususnya di negara-negara tujuan ekspor tersebut. 

Dengan kata lain, negara tujuan ekspor yang diversifikatif dibutuhkan untuk mengurangi tingkat risiko ekspor dan meningkatkan kestabilan ekspor nasional. Salah satu potensi yang dapat diberdayakan oleh Indonesia, menurut penulis, adalah kedudukannya sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dengan posisinya yang demikian itu, Indonesia harusnya lebih dapat berperan di dalam Organisasi Kerja Sama Islam (dulu dikenal dengan Organisasi Konferensi Islam), yakni organisasi perkumpulan negara-negara Islam di dunia yang terdiri dari 57 negara anggota lintas benua. Penguatan peran yang dimaksud tidak hanya terkait dengan peran-peran keagamaan semata, tetapi juga penguatan peran perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota OKI untuk dapat saling memperkuat struktural ekonomi masing-masing negara anggota.

Hal ini karena potensi OKI sebagai pasar ekonomi sesungguhnya sangat besar. Pertama, bila dilihat dari ukuran pasarnya, total populasi negara-negara OKI mencapai 1.6 miliar orang (meliputi hampir seluruh orang muslim di dunia) dengan total akumulasi GDP mencapai US$ 9.3 triliun pada 2014. Berdasarkan data yang ada, ukuran pasar yang besar tersebut juga didukung oleh tingginya proporsi kelompok usia produktif dalam masyarakat negara-negara anggota OKI, yang bahkan porsinya mencapai 56 persen dari total populasinya. Artinya, dari populasinya yang besar itu, sebagian besarnya adalah penduduk usia produktif yang tentu punya efek positif terhadap kegiatan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun