Mohon tunggu...
Keiko Hubbansyah
Keiko Hubbansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Refleksi Krisis Finansial di Amerika: Optimalisasi Pasar bagi Indonesia

25 Juli 2016   11:05 Diperbarui: 25 Juli 2016   11:14 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sebelum terjadinya krisis finansial 2008, dengan Amerika Serikat sebagai pusat episentrum, sejatinya situasi perekonomian dunia telah diekspetasikan secara positif untuk masa-masa mendatang. Hal ini karena, pada dasarnya, sebelum krisis perekonomian dunia tengah diliputi situasi boomingekonomi. Periode ekspansif tersebut ditandai dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang mencapai 4.7 persen pada lima tahun sebelum krisis meledak (2002-2007). Yang menjadi ironis, kondisi ekonomi yang tengah booming inilah yang justru mendorong terjadinya krisis. Karena yakin dengan stabilitas ekonomi, pelaku pasar merasa leluasa untuk melakukan tindak spekulatif, yang akhirnya menciptakan pemanasan di dalam perekonomian. 

Rekayasa finansial yang kompleks dan tidak transparan, misalnya, seperti halnya yang dilakukan di Amerika Serikat sebagai bentuk spekulasi, akhirnya memunculkan pemanasan di pasar finansial yang kemudian mendorong terjadinya krisis. Kondisi boomingekonomi yang mengarah pada krisis ini sejatinya sejalan dengan tesis di dalam Teori Siklus Bisnis. Sebagaimana digambarkan di dalam Teori Siklus Bisnis, yang dikembangkan oleh Schumpeter, bahwa pada saat boomingekonomi terjadi, kredit akan bergerak tak terkendali, moral hazard tumbuh, sehingga akan mendorong terjadinya krisis. Hal ini sejalan dengan pendapat Minsky yang menyatakan bahwa stabilitas telah menyediakan infrastruktur terjadinya ketidakstabilan (Prasetyantoko, 2008).

Di Amerika Serikat, krisis yang terjadi diketahui telah memberikan efek negatif yang luas. Bahkan, situasinya dianggap yang terburuk setelah era Great Depression pada 1929 (dikenal dengan peristiwa Black Tuesday). Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh National Economic Councilkepada Presiden terpilih Obama waktu itu, dikatakan bahwa banyak bank dan lembaga keuangan yang berhenti beroperasi, pasar saham anjlok, automotive company kesulitan berproduksi bahkan berada di ambang kebangkrutan, pasar real estate terjun bebas. Pada saat krisis itu, rata-rata PHK mencapai 800 ribu orang setiap bulannya dari November 2008-April 2009, menyebabkan angka pengangguran di AS melonjak drastis. Perekonomian AS mengalami kontraksi yang dalam, yakni sebesar 8.4 persen antara kuartal IV-2008 sampai dengan kuartal I-2009. 

Keluarga-keluarga Amerika, khususnya keluarga kelas menengah, sangat menderita karena adanya penurunan harga aset perumahan secara masif, yang totalnya mencapai US$ 7 triliun. Secara total diperkirakan kalau krisis yang terjadi berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan rumah tangga AS sebesar US$ 19 triliun. Bahkan, hingga saat ini perekonomian AS belum benar-benar terpulihkan. Hal ini diindikasikan masih berlangsungnya kebijakan moneter ekspansif oleh The Fed untuk terus mendorong kegiatan ekonomi.   

Mengingat kedalaman perekonomiannya - ekonomi Amerika Serikat berkontribusi sekitar 25 persen terhadap perekonomian dunia, krisis finansial yang terjadi di Amerika berdampak sangat luas terhadap perekonomian dunia. Yang bahkan, sampai memicu terjadinya krisis ekonomi global. Salah satu faktor yang memoderasi penjalaran krisis finansial Amerika ke seluruh dunia adalah telah terintegrasinya pasar finansial antarnegara akibat adanya kebijakan deregulasi pasar. Terbukti dari sejak adanya krisis, terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia secara signifikan. Pada 2008, ekonomi dunia tercatat hanya tumbuh 3.4 persen, atau yang terendah selama periode 1980-2007. Pada periode 2008-2011, bahkan secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 1.9 persen. Angka ini Jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia pada periode sebelum krisis yang mencapai 4.7 persen.

Bagi Indonesia, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia tidak sampai bereskalasi luas hingga berdampak pada krisis ekonomi. Banyak ahli yang semulanya berpendapat bahwa Indonesia jauh dari krisis. Hal ini terbukti pada 2008, pada saat krisis finansial di AS tengah meledak, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru berhasil tumbuh positif 6.1 persen. Bahkan pada 2011, ekonomi indonesia mampu tumbuh sebesar 6.5 persen. Akan tetapi, meski berhasil membukukan pertumbuhan yang positif, bukan berarti Ekonomi Indonesia tidak terkena dampaknya sama sekali. Jika dianalisis, sinyal adanya dampak negatif dari perkembangan situasi ekonomi global bahkan telah ada pada triwulan IV-2008. 

Pada penghujung tahun meledaknya krisis finansial di AS itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia didapati hanya sebesar 5.2 persen pada triwulan IV-2008, angka ini tercatat lebih rendah dari capaian triwulan yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 5.9 persen. Dengan kata lain, meski ekonomi Indonesia tetap dapat tumbuh secara positif, Indonesia juga menerima efek penjalaran yang negatif. Sungguhpun sempat bertumbuh sebesar 6.5 persen pada 2011, pada tahun tahun-tahun setelahnya, ekonomi Indonesia menunjukkan kecenderungan dekadensi. Itu ditandai dengan adanya perlambatan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2012, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh positif 6.2 persen. Namun angkanya terus menurun menjadi hanya 5.6 persen pada 2013, 5.1 persen pada 2014, 4.8 persen pada 2015. Yang terbaru, pada kuartal II-2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tertekan di bawah 5 persen.

Melemahnya kemampuan ekspor Indonesia, yang bahkan terjadi sampai saat ini, masih menjadi faktor utama yang menyebabkan berlangsungnya perlambatan pertumbuhan ekonomi. Penurunan kinerja ekspor Indonesia sendiri sejatinya adalah reaksi alamiah dari turunnya harga komoditas dan produk pertambangan di pasar dunia sebagai ekses melemahnya permintaan global karena krisis. Untuk beberapa produk komoditas ekspor, terutama pertanian dan pertambangan, sebenarnya penurunan kinerja ekspor lebih dikarenakan penurunan harga daripada volume permintaan.

Dengan kata lain, dari sisi perdagangan, Indonesia sangatlah rentan mendapatkan efek penjalaran negatif dari krisis ekonomi yang tengah terjadi di tataran global. Kondisi ini pada dasarnya disebabkan oleh karakteristik ekspor Indonesia sendiri yang relatif tidak diversifikatif, baik dalam hal komoditas yang diekspor maupun negara tujuan ekspornya. Komoditas andalan Indonesia, seperti batubara, nikel, CPO dan mineral lainnya, didapati tengah menurun drastis harga jualnya karena kontraksi ekonomi global. Padahal komoditas primer merupakan komposit terbesar dalam ekspor nasional. Bahkan sejak tahun 2011, harga komoditas primer di pasar internasional turun drastis, yakni sekitar 40 persen. Tambahan lagi, negara tujuan ekspor Indonesia juga sangatlah terbatas, karena hanya terkonsentrasi pada sejumlah negara saja, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Oceania, dan beberapa negara Eropa Barat lainnya. Yang kalau dianalisis, hampir sebagian besarnya dari negara-negara tujuan ekspor Indonesia adalah negara-negara maju yang terkena efek negatif krisis secara dalam -  atau paling tidak, sedang mengalami perlambatan ekonomi. 

Data yang dirilis oleh IMF membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, setelah terjadinya krisis finansial di AS, tercatat rendah, yang bahkan secara rata-rata hanya tumbuh sebesar 1.5 persen pada 2012-2014. Beberapa di antaranya bahkan mencatatkan petumbuhan yang negatif, seperti negara kelompok Uni Eropa. Kondisinya semakin sulit setelah China, yang sebelumnya adalah motor penggerak ekonomi global, kini juga mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada turunnya permintaan komoditas dari negara ini.

Pada akhirnya, tertekannya sisi ekspor nasional akan menyebabkan berkurangnya pendapatan negara. Dengan kata lain, kemampuan pemerintah di dalam mendorong kegiatan ekonomi, lewat pengeluarannya, akan terus menurun. Padahal, sebagaimana yang diutarakan Faisal Basri, kunci keberhasilan Indonesia menjaga kelancaran pertumbuhan ekonomi di tengah krisis finansial global, adalah penerapan kebijakan fiskal yang progresif dan antisiklikal. Ketika itu, konsumsi (pengeluaran) pemerintah menaik cukup tajam antara tahun 2008 dan 2009, dengan persentase kenaikan mencapai 10.4 dan 15.7 persen. Sumbangan konsumsi pemerintah terhadap PDB bahkan mencapai 28.3 persen. Dari sisi makroekonomi, kinerja ekspor Indonesia yang memburuk, salah satunya juga berakibat pada berfluktuasinya nilai tukar Rupiah, yang saat ini telah mencapai level Rp 13.339 per USD. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun