Secara ideal, perkembangan ekonomi negara-negara di dunia merupakan sekuensi dari kondisi negara berpendapatan rendah – yang umumnya berbasis agrikultur – menuju negara berpendapatan tinggi – yang umumnya berbasis high tech industry and services.Hanya saja pada prakteknya, proses transisi – yakni, transformasi dari negara berpendapatan rendah menjadi berpendapatan tinggi – tidak mudah dilakukan.
Seringkali malah pada prosesnya, negara-negara tersebut terjebak dalam kondisi yang dinamakan dengan middle-income trap atau jebakan pendapatan menengah. Middle-income trapatau perangkap pendapatan menengah diasosiasikan dengan kegagalan suatu negara untuk naik level dari pendapatan rendah ke pendapatan tinggi.
Negara-negara yang mengalami middle- income trapakan terstagnansi pada level negara middle income. Umumnya, kondisi middle-income trap diawali terlebih dahulu dengan fase pertumbuhan ekonomi yang tinggi, untuk kemudian mulai melambat dan stagnan pada satu level pendapatan tertentu (Aiyar, et.al, 2013).
Secara kualitatif, fenomena middle income trapdapat dijelaskan sebagai berikut. Pada mulanya, perekonomian suatu negara berada pada tahap pendapatan yang rendah – terminologi ekonomi-politik untuk negara semacam ini adalah “negara berkembang”. Negara dalam tahapan ini dicirikan oleh kondisi masyarakatnya yang masih tradisional, terbelakang dan menghadapi persoalan poverty gap.
Akan tetapi, negara berpendapatan rendah memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional dengan memproduksi barang-barang berbiaya rendah. Kelompok negara dengan kategori ini umumnya menggunakan teknologi yang diimpor dari luar. Pada saat perekonomian meningkat menjadi negara berpendapatan menengah, negara tersebut mendapatkan hasil produktivitas melalui realokasi tenaga kerja dari sektor agrikultur ke sektor industri manufaktur.
Perubahan ini ditandai dengan membesarnya porsi sektor manufaktur dan jasa terhadap total output dan pekerja. Ketika perekonomian masuk kategori pendapatan menengah, terjadi perubahan struktural dalam pasar tenaga kerja, level teknologi dan keunggulan komparatif. Pada pasar tenaga kerja terjadi perpindahan dari surplus pekerja menuju kekurangan tenaga kerja. Konsekuensinya, upah riil pun meningkat.
Bila kenaikan upah riil ini tidak disertai dengan level produktivitas pekerja yang meningkat, maka perekonomian akan kehilangan keunggulan komparatifnya – umumnya, pada tahap ini jenis industri yang dominan masih bersifat labor intensive. Dalam keadaan di atas, tidak mungkin lagi mengalihkan surplus tenaga kerja ke sektor industri karena biayanya yang membesar. Dampaknya, peranan sektor manufaktur terhadap perekonomian akan menurun. Perekonomian dalam kondisi ini akan mengalami middle-income trapatau perangkap pendapatan menengah (LPEM, 2015).
Van Tho (2013) di dalam jurnalnya, The Middle Income Trap: Issues for Members of ASEAN, mengklasifikasi ekonomi dunia ke dalam empat kelompok. Kelompok pertama terdiri dari negara-negara berpendapatan rendah yang masih digelayuti persoalan kemiskinan – atau poverty trap. Kelompok kedua terdiri dari negara-negara yang telah mencapai level pendapatan menengah selama puluhan tahun – bahkan dalam banyak kasus sudah selama 50 tahun – tapi kemudian menghadapi persoalan rendahnya tingkat pertumbuhan, bahkan zero growth.
Kelompok ketiga terdiri dari negara-negara yang baru saja mencapai atau mendekati level pendapatan menengah – China dan termasuk beberapa negara ASEAN termasuk ke dalam grup ini. Kelompok keempat terdiri dari negara-negara berpendapatan tinggi, seperti negara-negara OECD. Negara-negara yang berada dalam kelompok kedua, yang diistilahkan sebagai old middle-income countries, inilah yang dideskripsikan tengah menghadapi kondisi middle-income trap.
Untuk dapat menyimpulkan apakah suatu negara tengah mengalami jebakan pendapatan menengah, diperlukan adanya suatu ukuran. Dalam konteks ini, Felipe (2012) memberi batasan waktu yang jelas menyangkut berapa lama suatu negara harus berada dalam kelompok negara berpendapatan menengah untuk dapat dikategorikan sedang mengalami middle income trap.
Felipe (2012) membaginya menjadi dua jebakan (trap), yakni lower middle incomedan upper middle income trap. Jangka waktu agar suatu negara tidak dikategorikan sebagai negara yang mengalami lower middle income trap adalah 28 tahun. Sedangkan jangka waktu untuk suatu negara agar tidak dimasukkan ke dalam kelompok upper middle income trapadalah 14 tahun.
Artinya, dalam kurun waktu kurang dari 28 tahun, negara yang sudah mencapai level lower middle income harus segera mampu mencapai level pendapatan per kapita kategori upper middle income – untuk itu, suatu negara perlu tingkat pertumbuhan minimal 4.7 persen selama 28 tahun agar terhindar dari jebakan.
Kondisinya sama untuk upper middle income, dimana negara-negara dengan kategori pendapatan per kapita ini, harus dapat mencapai level high income countries kurang dari 14 tahun – untuk itu butuh pertumbuhan pendapatan sedikitnya 3.5 persen selama 14 tahun. Kalau tidak, negara-negara tersebut akan digolongkan sebagai negara yang tengah mengalami kondisi jebakan pendapatan menengah atau middle income trap, baik untuk lower middle trapmaupun upper middle trap.
Felipe (2012) mendapati bahwa – dari total 124 negara yang menjadi sampel studinya – 29 negara di antaranya tergolong ke dalam low income countries;31 negara ke dalam lower middle-income;30 negara ke dalam upper middle-income; dan 34 negara ke dalam high-income countries. Dengan mengombinasikan data Bank Dunia dan data pada Maddison (2010), Felipe (2012) menemukan bahwa, pada tahun 1950, 82 negara dari total sampelnya sebagai negara berpendapatan rendah, 33 negara sebagai negara berpendapatan menengah-bawah, 6 negara sebagai negara berpendapatan menengah-atas, dan hanya 3 negara – yakni, Kuwait, Qatar dan UEA – yang tercatat sebagai negara berpendapatan tinggi (high income countries).
Amerika Serikat, sebenarnya, telah mencapai level negara berpendapatan tinggi sejak tahun 1944. Hanya, kemudian turun menjadi negara dengan pendapatan menengah-atas (upper middle-income) karena tingkat pendapatan per kapitanya melorot disebabkan perang pada tahun 1945. Posisi Amerika Serikat kembali ke level negara berpendapatan tinggi pada tahun 1962, yang juga diikuti oleh Australia, Kanada, Selandia Baru, Swiss dan Venezuela.
Pada dekade 1950an didapati adanya lonjakan transformasi yang signifikan dari negara berpendapatan rendah (low income) ke menengah-bawah (lower middle-income).Jumlahnya mencapai 13 negara. Secara total, 42 dari 82 negara pada 1950 telah mampu keluar dari kelompok negara berpendapatan rendah menuju kelompok negara berpendapatan menengah-bawah maupun menengah-atas pada 2010. Sementara itu, pada akhir 1960an–1980, dan pada akhir 1980an–2010, yang oleh Maddison (1982) disebut sebagai golden age,didapati terjadi lonjakan yang tinggi pada kelompok negara berpendapatan tinggi (high income).
Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi transformasi perekonomian dari negara berpendapatan menengah-atas ke penda-patan tinggi. Yang menarik, negara-negara non european countries, seperti Korea Selatan, Singapura dan China Taipei berhasil mentransformasi ekonominya masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi. Secara keseluruhan, jumlah kelompok negara berpendapatan tinggi meningkat dari yang hanya 4 negara pada 1960 menjadi 21 negara pada 1980, 23 negara pada 1990 dan 32 negara pada 2010 (Felipe, 2012).
Di antara negara-negara yang berhasil melampaui thresholdhigh income countries, Korea Selatan merepresentasikan kisah yang eksepsional dalam hal transisi menuju negara maju. Korea Selatan bergerak dari kondisi income per kapita sekitar US$ 2.000 pada 1960, hingga pada 2008, besaran income per kapita-nya telah melonjak menjadi US$ 28.000 (in PPP). Proses transisi Korea yang cepat ini dimulai pada 1962. Ketika itu dirumuskan rencana pembangunan lima tahunan untuk pertama kalinya. Rencana lima tahunan ini dimaksudkan sebagai upaya koordinasi antar-sektor publik dan privat untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Korea berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonominya dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 7 persen sampai tahun 1997.
Perkembangan ekonominya ditandai dengan tingkat tabungan dan investasi yang tinggi. Politik otoritarian ketika itu melarang adanya serikat pekerja, dan ini dimaksudkan sebagai langkah untuk menekan upah kerja agar tetap rendah untuk mendukung investasi – ini disebut dengan tahap pertama pembangunan. Tahap kedua pembangunan ekonomi Korea meliputi fase krisis finansial tahun 1997-1998.
Kala itu, Korea Selatan termasuk negara yang terkena imbas krisis dengan cukup parah. Tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonominya yang negatif, meningkatnya jumlah pengangguran secara drastis – dari 2.4 persen pada 1997 menjadi 6.8 persen pada 1998 -, dan bertambahnya jumlah orang miskin – dari 11.4 persen pada 1997 menjadi 23.2 persen pada 1998. Yang menarik, Korea mampu pulih dengan cepat.
Tepat satu tahun setelah tertimpa krisis, ekonomi Korea langsung dapat bertumbuh positif 10.7 persen. Ekspor meningkat dari 9 persen pada 1999 menjadi 18.2 persen pada 2000. Tingkat pengangguran dan jumlah orang miskin turun, yang masing-masingnya, menjadi 4.5 persen dan 18 persen pada 1999. Secara berkelanjutan dari tahun 1998 – 2008, Korea berhasil mencatatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang positif sebesar 5 persen.
Salah satu alasan kenapa transisi Korea berjalan relatif mulus, dari negara berpendapatan menengah ke tinggi, di saat banyak negara lain mengalami kesulitan, adalah karena kebijakan countercyclicalmoneter dan fiskal yang dijalankan secara agresif. Selain itu, mereka juga melakukan reformasi besar-besaran pada sektor bisnis, perbankan, sektor publik dan pasar tenaga kerjanya (Foxley, et.al, 2011).
Meski didapati beberapa negara dengan kecenderungan progresif, seperti Korea Selatan, Singapura dan Taiwan –yang secara gradual mampu terus mentransformasi perekonomiannya dari negara berpendapatan rendah ke negara pendapatan tinggi, sejatinya terdapat lebih banyak negara di dunia ini yang mengalami stagnansi – atau mengalami middle-income trap. Bank Dunia (2012) melaporkan bahwa dari 101 negara yang tergolong middle incomepada 1960, hanya 13 negara diantaranya yang berhasil bertransformasi menjadi high income countries. Atau, dengan kata lain, terdapat 88 negara lainnya yang mengalami stagnansi.
Kondisi stagnansi yang paling kentara terjadi di Kawasan Amerika Latin, dengan Argentina – bersama dengan Uruguay – sebagai aktor utamanya. Di antara kelompok negara Amerika latin yang lain yang juga mengalami middleincome trap, seperti Brazil dan Chile, Argetina tercatat sebagai negara terlama yang berada di level upper middle income,yakni 51 tahun. Padahal, tingkat pendapatan per kapita Argentina pada tahun 1914, pernah lebih tinggi dari Amerika Serikat.
Namun, karena disebabkan tata kelola pemerintahan yang buruk, seperti ketidakpastian penegakan hukum dan fokus investasi yang keliru, menjadikan Argentina tidak mampu bertransformasi menjadi negara high incomeuntuk waktu yang sangat lama (Kotler, et.al, 1997).Proyeksi yang optimistik memperkirakan jika pada tahun 2020 mendatang, barulah Argentina akan masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi dengan income per kapita sebesar US$ 23.285. Itu pun dengan asumsi segala persyaratan – seperti tingkat pertumbuhan ekonomi minimum yang harus dicapai – terlebih dulu dapat terpenuhi (Foxley, et.al, 2011). Jika tidak, maka akan lebih lama lagi Argentina mengalami kondisi middle income trap.
Untuk diketahui, Middle income trap, sebagaimana dikatakan oleh Vivareli (2014), disebabkan adanya perlambatan pertumbuhan yang lebih dipengaruhi oleh faktor productivity slowdown daripada faktor decreasing returndari akumulasi kapital. Persentase pengaruh productivity slowdown –atautotal factor productivity –terhadap perlambatan pertumbuhan bahkan mencapai 85 persen, dan hanya 15 persen yang berasal dari akumulasi kapital (Eichengreen, et.al, 2012).
Oleh sebab itu, berdasarkan temuan di atas, diketahui bahwa human capital, perubahan struktural, dan inovasi adalah faktor utama yang mendorong pertumbuhan total factor productivity (TFP). Dan karenanya, sekaligus menjadi solusi atas permasalahan middle income trap. Selain itu, kesepakatan sosial dan politik juga penting untuk menghindari kondisi stagnansi. Kapasitas dari pemimpin politik dalam membangun konsensus selama pelaksanaan manajemen krisis dan reformasi struktural dibutuhkan pada tahapan post crises,dan ini sangat mempengaruhi hasil yang akan diperoleh. Karena tak dapat dipungkiri bahwa krisis merupakan siklus dalam ekonomi – sering diistilahkan dengan konjungtur. Sehingga, aspek stabilitas sosial – politik diperlukan dalam proses pemulihan, dan sekaligus pembagunan ekonomi (Foxley, et.al, 2011).
Salah satu alasan kenapa negara-negara kawasan Sub Sahara Afrika tetap tidak mampu membangun ekonominya, bahkan terus tergolong sebagai negara berpendapatan rendah dari tahun 1950 sampai saat ini – dimana 31 dari 37 negara di dunia selalu berada di level low income countries berasal dari Sub Sahara Afrika – adalah kondisi sosial – politiknya yang terus bergejolak.
Dalam konteks Indonesia, PDB per kapita Indonesia didapati terus bertumbuh, dari US$ 570 pada tahun 2000, menjadi US$ 3.420 pada tahun 2012. Selama periode yang relatif singkat, tingkat kesejahteraan penduduk mengalami perbaikan. Dengan besaran pendapatan ini, Indonesia – berdasarkan ukuran klasifikasi Bank Dunia – merupakan negara berpendapatan menengah-bawah atau lower middle income.
Berdasarkan ukuran waktu Felipe (2012) – seperti telah diuraikan di atas – sejatinya Indonesia belum termasuk negara di dunia yang menghadapi masalah middle income trap. Hal ini karena Indonesia baru selama 25 tahun menyandang status sebagai negara middle income –lebih tepatnya, lower middle income. Indonesia masih punya batas waktu 3 tahun dari yang ditentukan untuk menuju tahap lanjutan, yaitu menjadi kelompok negara upper middle income.
Apabila ingin lolos dari perangkap lower middle income trap, pendapatan per kapita Indonesia harus tumbuh rata-rata 15 persen dalam waktu yang tersisa (LPEM, 2015). Hanya, bila melihat konfigurasi saat ini, proyeksi yang paling realistis menunjukkan bahwa Indonesia cuma mampu bertumbuh maksimal 4-6 persen per tahunnya. Ini berarti bahwa potensi Indonesia untuk mengalami situasi middle income trap sangatlah besar.
Untuk dapat terus menaikkan pendapatan per kapitanya, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan cara mendorong productivity,inovasi dan perubahan struktur. Pada dasarnya, productivity,inovasi dan transformasi struktural dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia – secara khusus, kualitas tenaga kerjanya.
Peningkatan produktivitas tenaga kerja, dalam jangka menengah dan panjang, akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Meski didapati kecendrungan yang positif, yakni terus meningkatnya proporsi alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan relatif terhadap PDB, dari 2.46 persen pada 2001 menjadi 3.56 persen pada 2012 untuk bidang pendidikan, dan 2.23 persen pada 2001 menjadi 3.03 persen pada 2012 untuk bidang kesehatan, kualitas SDM Indonesia masih jauh dari kata optimal. Ini tercermin dari komposisi angkatan kerja Indonesia yang masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah.
Data BPS menunjukkan bahwa sekitar 50 persen angkatan kerja berpendidikan SD atau kurang. Hanya sekitar 70 dari 100 anak – yang masuk kelas 1 SD – yang menyelesaikan pendidikan SMP. Atau, ada sekitar 30 orang anak sisanya yang putus sekolah. Proporsi anak yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi – yakni, SMA dan perguruan tinggi – pasti jauh lebih kecil lagi angkanya. Bonus demografi penduduk yang dirasakan Indonesia – yakni, proporsi penduduk usia produktif lebih besar daripada yang nonproduktif – akan lebih dapat teroptimalkan apabila kualitas dari manusianya memadai.
Dalam konteks era knowledge-based economy, penting bagi suatu negara untuk menggalakkan kegiatan research and development.Sebab, dari kegiatan ini, akan dihasilkan inovasi-inovasi yang dapat memperkuat daya saing dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang dapat menjadi negara kelompok high income countriestanpa didukung oleh daya atau kemampuan berinovasi yang baik. Negara-negara yang paling berhasil mentransformasi perekonomiannya dengan relatif mulus menjadi high income countries, seperti Korea Selatan dan Finlandia, di awal pembangunan ekonominya memilih langkah yang berbeda dibanding negara-negara lain.
Kalau negara lain berfokus pada kapital fisik – seperti, China – Korea Selatan dan Finlandia di fase-fase awal pembangunan lebih mengarahkan investasinya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Mereka menganggarkan begitu besar dana untuk kepentingan riset. Untuk aspek ini, Indonesia relatif jauh tertinggal. Ini bisa dilihat dari bujet pemerintah untuk aktivitas keilmuan dan tenologi di Indonesia yang justru mengalami penurunan cukup tajam. Anggaran untuk riset yang dialokasikan pemerintah sejak tahun 1986-2002 menurun rata-rata 0.18 persen dari PDB.
Pada tahun 2005-2009, rata-rata anggaran untuk riset relatif terhadap PDB hanya sebesar 0.08 persen. Ini berimbas pada aktivitas riset di Indonesia yang tidak semarak, tercermin dari sedikitnya jumlah peneliti di Indonesia yang baru mencapai 100 peneliti per sejuta penduduk, atau secara total baru berjumlah 25.000 peneliti.
Padahal, untuk dapat masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi dibutuhkan sekurangnya 250.000 peneliti. Konsekuensinya adalah sangat sedikit artikel ilmiah peneliti Indonesia yang terpublikasi di jurnal-jurnal internasional. Saat ini, untuk aktivitas riset, jangankan dari Singapura atau Malaysia, dibandingkan Vietnam saja Indonesia relatif sudah tertinggal.
Sementara itu, dari sisi kesehatan, dampak dari terfragmentasinya layanan kesehatan di Indonesia adalah kondisi kesehatan di Indonesia masih terbilang kurang baik. Ini terlihat dari ukuran life expectation at birth atau angka (umur) harapan hidup waktu lahir masyarakat Indonesia yang relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga.
Berdasarkan data UNDP tahun 2012, umur harapan hidup waktu lahir masyarakat Indonesia adalah 69.8 tahun. Umur harapan hidup waktu lahir di Indonesia ini masih lebih rendah dari yang ada di Australia, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam dan Malaysia. Kehadiran JKN-BPJS yang digagas pemerintah baru-baru ini diharapkan bisa meningkatkan kadar kesehatan masyarakat.
Dengan adanya JKN-BPJS, akses layanan kesehatan relatif sudah lebih inklusif. Ini penting, karena selama ini layanan kesehatan di Indonesia berlaku diskriminatif dengan lebih mengedepankan kelompok tertentu. Layanan kesehatan di Indonesia seringkali mengeksklusi kelompok masyarakat miskin.
Padahal, kesehatan adalah hak asasi terlepas dari apapun status sosial seseorang. Bila tingkat kesehatan masyarakat rendah, maka tidak ada manfaatnya masyarakat yang cerdas. Karena tanpa sehat, seseorang tidak mungkin bisa bekerja dan produktif. Dengan kata lain, masyarakat yang tidak sehat memiliki produktivitas yang rendah, dan ini pasti berdampak pada level kesejahteraannya. Mengingat pentingnya isu kesehatan ini, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran kesehatan. Program JKN-BPJS perlu diperluas, tidak hanya dari sisi kepesertaan, tapi juga dari sisi manfaatnya.
Berdasarkan satu hasil studi diketahui bahwa agar kepesertaan JKN-BPJS dapat menyentuh seluruh penduduk Indonesia, yakni 240 juta, dibutuhkan anggaran jaminan kesehatan senilai Rp 100 triliun. Anggaran kesehatan sebesar ini, selain sudah meliputi seluruh penduduk, juga sudah mencakup seluruh jenis penyakit, termasuk penyakit terminal – yakni, penyakit yang butuh penanganan rutin, dan umumnya biayanya amat mahal, seperti cuci darah.
Jika dilihat dari nilai anggaran yang dibutuhkan, sesungguhnya tidaklah besar. Nilainya bahkan jauh lebih rendah dari subsidi BBM yang pernah mencapai lebih dari Rp 250 triliun per tahun. Padahal, subsidi BBM ini, selain hanya untuk kepentingan konsumtif – berdasarkan hasil evaluasi sejumlah lembaga – juga relatif lebih dinikmati oleh penduduk menengah atas. Bila dikomparasi manfaat sosialnya pastilah relatif lebih rendah dibandingkan subsidi anggaran kesehatan yang sejatinya lebih dinikmati dan dibutuhkan oleh kelompok masyarakat miskin – yang secara etis memang perlu dibantu kehidupannya.
Untuk aspek sosial – politik, faktor institusional perlu mendapat perhatian yang utama di Indonesia. Pentingnya faktor institusional sebagai determinan pembangunan ekonomi telah terverifikasi dari hasil studi La Porta, et.al, (1997, 1998) yang menunjukkan bahwa kualitas institusi legal dari suatu negara memiliki efek positif dalam mencegah perilaku rent seekingoleh corporate insider, sehingga mendorong terjadinya perkembangan ekonomi.
Tanpa adanya kepastian aturan formal, informal, dan penegakan hukum, kondisi sosial – politik Indonesia justru akan berdampak regresif terhadap upaya pembangunan ekonomi. Kepastian hukum, dengan penegakannya yang adil, dengan sendirinya dapat menjamin berlangsungnya stabilitas sosial dan politik. Dalam konteks ini, salah satu upaya critical yang harus dilakukan adalah meningkatkan sinergitas antarlembaga agar tidak terdapat mekanisme atau aturan yang sifatnya tumpang tindih. Sinergitas dalam pembangunan berarti keterpaduan berbagai unsur dalam pembangunan yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar.
Untuk Indonesia, dari berbagai hasil laporan menunjukkan bahwa persoalan aturan yang tumpang tindih, hingga menyebabkan birokrasi perizinan menjadi panjang dan berbelit, masih menjadi hambatan besar yang harus diselesaikan. Seringkali, faktor institusi yang kacau-balau semacam ini mendorong maraknya perilaku koruptif oleh pengambil kebijakan, baik di pusat maupun daerah. Kondisi ini menciptakan high cost economy.Ujung-ujungnya biaya tambahan yang tak terduga ini akan dibebankan ke konsumen melalui harga jual produk yang tinggi. The Political and Economic Risk Consultancy pada tahun 2005, misalnya, menunjukkan bahwa untuk dapat berinvestasi di Indonesia, seorang investor harus melalui proses perizinan yang panjang sehingga membutuhkan biaya yang besar (high cost economy).
Laporan ini didukung oleh hasil kajian Doing Business 2007yang menunjukkan kalau posisi Indonesia berada di peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, peringkat daya saing ekonomi Indonesia bahkan melorot 4 peringkat (sebelumnya peringkat 131 pada tahun 2006).
Bahkan dalam survey Global Competitive Indextahun 2013-2014, faktor institusi dan birokrasi masih menjadi persoalan yang problematis. Dari berbagai laporan tersebut dapat diidentifikasi bahwa salah satu faktor penggerus utama daya saing ekonomi nasional adalah hambatan aturan dan birokrasi (Basri, 2007).
Bergerak dari kondisi ini, upaya memudahkan izin pendirian perusahaan dan investasi agar lebih menggeliatkan kegiatan industri, perlu dilakukan. Untuk mencapai hal ini, kebijakan PTSP – atau pelayanan terpadu satu pintu – yang telah dicanangkan harus dengan serius diwujudkan. Paling tidak, dengan menawarkan berbagai kemudahan dari sisi administratif, Indonesia relatif sudah menghilangkan satu hambatan besar yang selama ini mengganggu kelancaran pembangunan ekonominya.
Faktor-faktor pendukung lain seperti stabilitas makroekonomi, ketersediaan infrastruktur yang memadai di seluruh wilayah Indonesia, penguatan struktur perdagangan internasional melalui upaya pendalaman pasar (diversifikatif), juga perlu untuk dijaga dalam besaran yang kondusif untuk mendorong pembangunan ekonomi. Kombinasi yang solid atas seluruh determinan di atas pada akhirnya akan dapat mendorong dan mengakselerasi proses transisi Indonesia dari negara berpendapatan menengah-bawah, menuju negara berpendapatan menengah-atas, bahkan tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H