Dalam persahabatan selalu ada titik balik. Karena satu dan lain hal, yang tadinya bersahabat bisa jadi bermusuhan. Sebaliknya, yang tadinya bermusuhan justru bisa jadi bersahabat. Jika yang terakhir bermakna positif, kondisi yang pertama punya potensi desktruksi yang masif. Oleh karena, sahabat adalah mereka yang pada dasarnya sangat dekat dengan kita. Mereka mengenali dengan baik kekuatan dan kelemahan kita. Tentu, dari perspektif peperangan, musuh yang demikian sangatlah berbahaya.
Dalam politik, sahabat yang bertransformasi menjadi musuh seringkali terjadi. Terakhir, apa yang terjadi di Turki pada hari Jumat kemarin juga terkait dengan fakta di atas. Kasus kudeta berdarah di Turki yang diinisiasi sekelompok militer hingga menewaskan sedikitnya 161 jiwa, pada dasarnya, tidak terlepas dari perseteruan dua mantan sahabat, yakni antara Recep Tayyip Erdogan dan Fethullah Gulen. Fakta ini muncul ke permukaan setelah Erdogan sendiri yang mengatakan kepada pers bahwa otak intelektual dari kudeta adalah Gulen –ulama karismatik yang mengasingkan diri ke Pennsylvania, Amerika Serikat. Meski, Gulen telah membantah merencanakan kudeta terhadap Erdogan. Tetapi, kesan yang tertangkap sudah demikian kuat. Apalagi kudeta militer – yang gagal ini – kabarnya dipimpin oleh Kolonel Muhammad Kose, salah seorang loyalis Gulen di struktur militer.
Konflik antara Erdogan – Gulen ini menarik. Sebab, Gulen pada awalnya sangat mendukung Erdogan – yang karir politiknya menanjak dari mulai menjabat walikota Istanbul, Perdana Menteri, hingga terpilih sebagai Presiden Turki pada 2014 lalu. Dukungan Gulen pada awal karir politik Erdogan menjadi penting karena besarnya pengaruh Gulen di masyarakat Turki. Ini karena, sebagai ulama karismatik yang mengajarkan semangat demokrasi, edukasi, pendidikan, dan toleransi beragama, Gulen memiliki banyak pengikut mulai dari kelompok grass root sampai dengan elite.
Secara aktif pengikut Gulen mengadakan gerakan sosial keagamaan – yang dinamakan hizmet group. Gerakan ini tercatat telah memiliki lebih dari 1.000 lembaga pendidikan dari semua tingkatan yang tersebar di sekitar 100 negara – dimana 150 sekolah diantaranya berada di Amerika Serikat. Tak heran dengan segala atribut yang dimilikinya, Gulen memiliki pengaruh yang sangat besar. Diperkirakan sekitar 10 persen penduduk Turki terafiliasi dengan gerakan dan menjadi pengikut Fethullah Gulen.
Jika diparalelkan, pada mulanya hubungan Erdogen-Gulen mirip dengan relasi keluarga kerajaan Saudi dengan kelompok Wahabi. Di dalamnya sama-sama ada pembagian tanggung jawab untuk berbagai urusan kenegaraan. Bekerjasama untuk saling menguatkan satu sama lain. Akan tetapi, jika dalam konteks Saudi-Wahabi, simbiosis mutualisme itu dapat bertahan, tidak halnya dengan Erdogan-Gulen.
Tidak mudah mengidentifikasi siapa yang memulai perpecahan. Yang pasti, tanda-tanda perpecahan antara keduanya sudah mulai terlihat sejak Februari 2012. Kala itu Menteri Muda Hakan Fidan dari National Intelligence Organisation diminta untuk mencari bukti adanya promosi sejumlah politisi partai AKP yang terafiliasi dengan Gulen. Ini diisukan sebagai upaya kelompok Gulen untuk menguasai struktur partai. Isu tersebut muncul setelah pada beberapa waktu sebelumnya, Gulen melancarkan kritik keras terhadap Erdogan terkait kasus kapal Mavi Marmara.
Berlanjut pada Juni 2013, Gulen dari kediamannya di Pennsylvania menyatakan dukungan terhadap protes massal di Gezi Park yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk perlawanan atas tindakan otoriter pemerintahan PM Erdogan. PM Erdogan menolak aspirasi masyarakat yang memintanya mengubah sejumlah kebijakan yang dinilai otoriter. Lebih jauh bahkan Ia menuduh bahwa kelompok protestan merupakan pendukung gerakan teroris DHKP-C dan menamakannya sebagai “para penjarah”. Para pemrotes disikapi dengan penuh kekerasan. Untuk menekan ekslasi massa, Polisi menembakkan gas air mata dan water cannon. Tercatat sedikitnya 11 orang meninggal dunia, dan 8.000 orang mengalami luka-luka. Sekitar 3.000 orang ditahan. Cara penyikapan PM Erdogan ini dikecam komunitas internasional. Komunitas Eropa, misalnya, sampai menunda pembahasan keikutsertaan Turki ke dalam Uni Eropa.
Dukungan Gulen terhadap gerakan massa di Gezi Parkberimbas dengan adanya upaya pengajuan legislasi oleh pemerintah untuk menutup sejumlah lembaga bimbingan belajar (cram school) yang sebagian besarnya dimiliki Gerakan Gulen – yakni hizmet group. Segera saja upaya legislasi ini ditentang kelompok Gulen dengan menyebutnya sebagai “kooptasi pendidikan”. Salah satu dugaan kenapa sekolah yang terafiliasi dengan Gerakan Gulen direncanakan untuk ditutup adalah ketakukan (paranoia) dari pemerintah – atau Erdogan sendiri – terhadap isu dilangsungkannya indoktrinasi gagasan Gulen di sana. Yang karenanya, meski dikritik banyak pihak, bahkan oleh orang-orang dipartainya sendiri, tanpa bergeming Erdogan tetap memproses pengajuan legislasi.
Setelahnya, setiap ada usaha yang berupaya untuk mendiskreditkan pemerintah, oleh Erdogan dituduh sebagai inisiatifnya kelompok Gulen. Termasuk skandal korupsi yang menyerang kabinet Erdogan pada penghujung tahun 2013. Akibat skandal itu, Erdogan mengganti hampir separuh anggota kabinetnya. Seluruhnya, ada 10 menteri yang ditukar. Isunya bahkan mengarah ke anak Erdogan, Bilal. Skandal korupsi yang terkuak ini sempat menggoyahkan pemerintahan Erdogan. Merebaklah protes dimana-mana yang meminta Erdogan untuk turut mengundurkan diri. Erdogan menuding kelompok Gulen sebagai otak di balik semua skandal ini. Kelompok Erdogan meyakini kalau pengusutan kasus korupsi dilakukan oleh orang-orangnya Gulen. Mereka dituduh memanipulasi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Gulen, beserta kelompoknya, oleh Erdogan dituding telah melakukan kudeta mini. Peristiwa skandal korupsi membuat relasi Erdogan-Gulen berakhir, sekaligus memburuk.
Gulen membantah tudingan di atas dengan cara yang tak kalah skeptisnya. Dikatakan olehnya dalam suatu liputan televisi – yang pada dasarnya jarang ia lakukan – bahwa terkuaknya skandal korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat merupakan semata-mata hasil penyidikan penegak hukum yang independen. Tanpa ada intervensi darinya. “Bagaimana mungkin saya bisa mempengaruhi proses penyidikan? Lalu apa yang salah dengan penyidikan ini? Saya baru tahu kalau di Turki saat ini masalah korupsi tidak lagi menjadi tindak pidana”, katanya.
Kristalisasi konflik antarkeduanya mewujud dalam pelabelan kelompok atau pengikut Gulen dengan “struktur paralel”, atau bahkan “negara dalam negara”. Kelompok “struktur paralel” dan “negara dalam negara”ini, oleh Erdogan, dipercaya sebagai pihak yang mendalangi berbagai macam peristiwa negatif yang dihadapi pemerintah.