Seorang teman mengatakan jika orang Indonesia yang berotak cerdas tidak lebih dari 11 persen jumlahnya. Ia pun kemudian, dengan berapi-api, mengatakan kalau angka itu sebenarnya merujuk kepada nilai perolehan suara yang didapat JK pada saat pemilu 2009 yang lalu. Setelah apa yang dilakukan JK untuk bangsa ini, baik semasa menjabat Wakil Presiden maupun Menteri Negara, hanya mereka yang kurang pintar sajalah yang tidak memilihnya pada pilpres 2009.
Tokoh yang satu ini, harus diakui, sangatlah menarik untuk dibahas. Banyak kisahnya yang patut ditulis. Ia bukan tipikal politisi kebanyakan, yang kaya janji, tapi miskin realisasi. Ia juga bukan tipikal politisi pemikir, yang karena terlalu banyak pertimbangan, lalu lamban menjalankan aksi, sementara persoalan tak kunjung tuntas. Bukan juga politisi citra, yang suka berakting di depan kamera dan khalayak ramai demi sejumput popularitas yang semu. Jusuf Kalla, sejauh ini, telah membuktikan dirinya adalah sosok negarawan sejati, yang keberadaannya kian langka ditengah sistem kanibalisme politik negeri ini. Jusuf Kalla, sesuai akronomin namanya ‘JK’, merupakan Jalan Keluar bagi bangsa atas segenab persoalan. Ia sosok pemimpin yang mau bekerja meski tanpa kilatan cahaya kamera, dan pemimpin yang siap untuk tidak tenar dan dibenci, karena kebijakan yang diambilnya, kalau itu baik untuk masyarakat.
Salah satu kisah inspiratif kepemimpinan JK, dari sekian banyak, adalah inisiasi dan kemampuannya meyakinkan banyak pihak, termasuk Pak SBY, untuk mewujudkan pembangunan Bandara Kualanamu yang lama terbengkalai, guna menggantikan bandara sebelumnya, Polonia, yang dianggap tidak memenuhi standarisasi keselamatan penerbangan (terletak di Pusat Kota Medan, idealnya lokasi bandara berdekatan daerah lepas pantai).
Persoalan pelik yang merintangi pembangunan bandara adalah masalah lahan dan ketersediaan dana. Itulah alasan mengapa, peletakan batu pertama baru bisa dilakukan tahun 2005, meski perencanaannya sudah dibuat jauhjauh hari, yakni sejak tahun 1994, terlambat sekitar 11 tahun. Pada saat peletakan batu, JK adalah Wakil Presiden, jabatan yang baru diembannya selama setahun belakangan.
Dihadapkan pada persoalan pembebasan lahan yang tak kunjung tuntas, respon JK ketika itu,“beri uang ganti rugi yang adil. Jika tak selesai, titipkan uangnya di pengadilan, bebaskan tanahnya agar segera bisa membangun”. JK memang dikenal banyak pihak taktis dan efesien dalam menyelesaikan persoalan. Bisa jadi kemampuan ini diperoleh dari dunia bisnis yang ia geluti bertahun lamanya, sebelum aktif di pemerintahan. Kita tahu bahwa orientasi terhadap hasil adalah satu-satunya rasionalitas yang dianggap penting dalam dunia bisnis. Berbeda dengan logika birokrasi yang lebih mengedepankan ketepatan alur dan proses pengerjaan proyek, yang kadang-kala memakan waktu yang lama.
Tak berhenti disitu. Ketaktisan ala JK (kalau boleh penulis menyebutnya), juga berperan penting dalam meyakinkan Presiden, kala itu, untuk mempercayakan rancang arsitektur bangunan kepada anak bangsa sendiri, alih-alih tenaga ahli dari luar negeri, JK menolak arsitektur Perancis, Jepang dan AS, yang sebelumnya dipercaya membangun bandara di Indonesia. JK coba menepis perasaan inlander dan stigmatisasi yang tertanam kuat di kesadaran kita, bahwa segala sesuatu yang berasal dari luar lebih baik.
Bahwa anak negeri juga punya kemampuan, dan hal ini telah dibuktikkan dari pembangunan Bandara Hasanuddin, di Makassar, dan Jembatan Suramadu, di Surabaya, yang mana keduanya adalah buah hasil kreasi anak bangsa. Bukan cuma itu, karena mengutamakan komposisi yang ‘serba lokal’ ini, biayanya bisa ditekan jauh lebih rendah, dan meski begitu, hasilnya tetap memuaskan, untuk pembangunan bandara Hasanuddin, misalnya, total menghabiskan uang USD 200 juta, angka ini hanya setengah dari jumlah dana yang diminta oleh pengembang asal Perancis, yaitu USD 400 juta.
Kemudian muncul perdebatan soal penampilan Bandara Kualanamu, apakah akan mengakomodasi budaya Batak, atau Melayu, untuk mencerminkan identitas lokalnya. Pilihan apa yang diambil JK? Tidak keduanya. Daripada memfokuskan diri dalam wacana sepele bernuansa primordial, yang bisa menghambat proses pembangunannya, JK langsung saja memutuskan, kalau dirinya ingin membangun sebuah bandara berwajah Indonesia, futuristik, multifungsi, dan yang terpenting, mudah diakses oleh berbagai moda transportasi. Hanya sayang, ketika itu, tidak ada satupun pihak yang berani menandatangani rancangan bandara ini, termasuk Gubernur Sumut kala itu, Rudolf Pardede.
Dan lagi, kepemimpinan JK, terbukti solutif bagi persoalan ini. JK lah, kemudian, selaku Wapres, yang membubuhkan tanda tangannya,“saya instruksikan segara jalankan”, tegasnya . Bandara Kualanamu, bukan hanya bandara pertama di Indonesia, yang terintegrasi dengan layanan kereta api, tapi juga bandara pertama, yang pembangunannya langsung ditandatangani Wakil Presiden!
Untuk urusan dana, JK berprinsip, pembangunan bandara haruslah didanai oleh kita sendiri, jangan lagi berutang ke negara asing lain, seperti yang sudah-sudah. Bangsa ini tampak sudah terlalu manja, hingga jika dihadapkan pada masalah, prioritas utamanya meminta bantuan ke pihak asing, yang kita anggap super. Alih-alih menggunakan dana APBN atau APBD, pilihan sindikasi perbankan diambil, Perbankan diminta mendanai,“daripada uangnya terus disimpan, lebih baik dikeluarkan. Menguntungkan juga”, ujarnya, inilah kepemimpinan ala JK, doktinnya bahwa tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan selama kita punya ketegasan dan kemauan kuat (untuk menyelesaikannya). Dan, ini benar.
Dapatlah kita simpulkan, dalam proyek pembangunan bandara Kualanamu, yang adalah bagian dari upaya pembenahan infrastruktur untuk pemerataan pembangunan ini, peran JK sangatlah besar. Sedari awal. Proyek yang telah lama terbengkalai, karena kompleksitas permasalahannya (darimulai pendanaan, pembebasan lahan, ketersediaan tenaga ahli, dan seterusnya), namun di bawah komando JK, dengan kemimpinannya yang taktis dan efesien, soal yang tadinya sulit, diurai satu persatu, hingga terasa mudah untuk dipecahkan. Segala hambatan pun didapat solusinya. Meski, target penyelesaian bandara mundur 3 tahun dari yang dijadwalkan (rencana semula tahun 2010, tapi baru rampung di tahun 2013), tentu bukanlah kesalahan JK, karena sejak tahun 2009, tercatat ia tak lagi menjabat Wakil Presiden RI, hingga ia tidak punya kekuatan penekan (legitimasi struktural) seperti sebelumnya.