media-media baru . Penemuan Gutenberg pada mesin cetak melahirkan media cetak pada abad 18, munculnya radio tahun 1920-an melahirkan jurnalisme radio, begitu juga dengan kehadiran televisi pada pertengahan abad 20 melahirkan jurnalisme broadcasting.
Perkembangan zaman yang diikuti dengan perkembangan teknologi sangat mempengaruhi lahirnyaSetiap zaman jurnalisme mempunyai tantangan yang berbeda-beda, tantangan yang berbeda tersebut muncul karena perbedaan medium penyampaian pesan terus berkembang mengikuti zaman, selain itu setiap medium juga memiliki karakteristik masing-masing.
Pada tahun 1957, USSR meluncurkan Sputnik ke luar angkasa sebagai satelit artifisial pertama di dunia, dan diikuti oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang membentuk Advanced Research Projects Agency (ARPA) untuk pengembangan pada bidang sains dan teknologi untuk keperluan militer.
Pengembangan jaringan komunikasi berbasis komputer pada tahun 1960-an yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat melalui proyek Advancend Research Project Agency Netwrok (ARPANet) yang digagas oleh Departemen Pertahanan Amerika menjadi cikal bakal dari internet.
ARPANET mulai beroperasi tahun 1969, memasuki tahun 1970-an ARPANET makin berkembang dengan ditemukannya host dan memiliki koneksi internasional yang pertama.
ARPANET sempat mengalami sedikit kemunduran yang disebabkan adanya virus tahun 1980-an, lambat laun akhirnya ARPANET menghilang pada tahun 1990-an, menghilangnya ARPANET tidak membuat internet ikut hilang, tetapi internet semakin berkembang dan dikenal masyarakat.
Internet juga dikenal sebagai media baru (new media) karena kemampuannya dalam melengkapi tiga media tradisional (Radio, Televisi, dan Media Cetak) serta dapat memberikan penggunanya kekuasaan untuk mempublikasikan informasi dengan cepat, instan, dan biaya kecil.
Pada lingkungan jurnalisme, kehadiran internet melahirkan jurnalisme daring dan media daring. Jurnalisme daring merupakan aktivitas jurnalisitk yang dilakukan secara daring berdasarkan jaringan internet, dan diproduksi secara ekslusif untuk dihadirkan dan disebarkan melalui World Wide Web sebagai elemen grafis internet (Widodo, 2020)
Jurnalisme daring telah mengubah proses pemberitaan yang menjadikan kecepatan sebagai faktor utama, kecepatan tersebut membuat sebuah berita bukan lagi sebuah peristiwa yang 'telah berlangsung' tetapi berubah menjadi peristiwa yang 'sedang berlangsung' (Widodo, 2010).
Kecepatan produksi jurnalisme daring mempunyai dampak besar bagi kehidupan sebuah media daring yang memanfaatkan kunjungan pembaca (Traffic).
Ketika sebuah situs media daring semakin banyak dikunjungi dan semakin banyak aktivitas yang dilakukan di situs tersebut, membuat traffic situs tersebut semakin tinggi, traffic tersebut akan ditawarkan kepada para pengiklan untuk memasang iklannya di situs media daring.
Kemudian, bagaimana traffic berhubungan dengan jurnalisme daring? Pertama, traffic didapatkan dari daya pikat suatu situs kepada pembacanya, daya pikat itu bisa jadi adalah kredibilitas berita yang diinformasikan, karena kredibilitas informasi yang disampaikan membuat banyak pembaca datang untuk mengunjungi portal berita media daring tersebut.
Karena media daring memungkinkan adanya komunikasi dua arah, maka traffic bisa didapatkan dari diskusi yang berlangsung pada halaman-halaman komentar. Tidak sedikit pembaca yang membuka satu berita berkali-kali hanya untuk mengikuti diskusi di halaman komentar.
Traffic juga bisa dihasilkan dari layanan-layanan interaktivitas lain di luar berita, seperti games, atau blog yang disediakan oleh portal berita daring.
Persaingan untuk mendapatkan keuntungan dan traffic tinggi membuat media-media daring melakukan berbagai cara agar dapat memikat pembaca, mulai dari adu cepat berita antar media daring, menggunakan judul yang yang menarik, atau menulis berita dengan sepotong-sepotong untuk menaikan jumlah pageview suatu situs media daring.
Produksi berita-berita semacam itu memunculkan persoalan etik jurnalistik antara kecepatan atau akurasi berita, adu cepat tersebut seringkali membuat para pembuat berita lupa dengan akurasi berita.
Padahal Kovach dan Rosenstiel (dalam Margianto dan Syaefullah) menyatakan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, sedangkan prinsip pertama jurnalisme adalah pengejaran akan kebenaran yang tidak berat sebelah dan disertai dengan verifikasi, verifikasi adalah syarat mutlak untuk akurasi.
Contoh Kasus
Proses pemberitaan yang menjadikan kecepatan sebagai faktor utama dalam jurnalisme daring pada praktiknya ditemukan beberapa dugaan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dalam berita yang dimuat oleh media lokal NuansaPos, khususnya akurasi berita.
Pertama pada judul berita "Memalukan...!!! Fakta Baru Dugaan Perselingkuhan Bupati Poso" Menurut Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) disebutkan "Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk"
Penggunaan diksi "memalukan" pada judul tersebut merupakan bentuk pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 1 karena penggunaan diksi "Memalukan" Â merupakan kata yang bersifat menghakimi, dapat merugikan nama baik Bupati dan pihak yang diberitakan dalam berita tersebut belum melakukan konfirmasi langsung kepada media yang memberitakan.
Kedua, Pemberitaan mengenai tindakan asusila tersebut diberitakan sebanyak lima kali berturut-turut. Berita yang pertama berjudul " Bupati Poso Didera Isu Perselingkuhan, Polda Sulteng Usut Akun Gilian Mahardika" (dimuat pada edisi 15 Mei 2019).
Berita kedua berjudul "Memalukan...!!! Fakta Baru Dugaan Perselingkuhan Bupati Poso" (edisi 16 Mei 2019). Berita ketiga berjudul "Dugaan Perselingkuhan Bupati Poso, Dalam Sorortan Akademisi, Advokat, dan Agamawan" (edisi 17 Mei 2019).
Berita keempat berjudul "Terkait Dugaan Perselingkuhan Bupati Poso, Komnas HAM: Itu Sangat Tidak Patut" (edisi 18 Mei 2019). Kelima, berita berjudul "Dugaan Selingkuh Bupati Poso, Dalam Bayangan Kisah 4 Bupati yang Digoyang Skandal Asmara" (edisi 22 Mei 2019)
Pemberitaan secara berturut-turut tersebut menurut penulis sudah melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga" karena judul berita yang dimuat tidak berimbang, dan memuat opini yang menghakimi serta pihak media terus menerus memuat pernyataan negatif tentang perbuatan asusila tersebut tanpa ada upaya klarifikasi.
Informasi yang didapat dalam berita tersebut hanya bersumber dari rekaman suara dan pengakuan salah satu warga yang istrinya dituduh terlibat dalam perbuatasan asusila (Perselingkuhan) dan pihak media tidak melakukan konfirmasi kepada pihak yang diberitakan (Bupati) ketika berita tersebut diterbitkan.
Selain melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), pihak media juga sudah melakukan pelanggaran Kode Etik Wartawan Indonesia poin pertama "Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar" karena pihak media memberitakan secara terus menerus, padahal pihak yang diberitakan belum melakukan konfirmasi mengenai berita tersebut.
Saran
Berdasarkan Pedoman Pemberitaan Media Siber, pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi, pihak media wajib melakukan konfirmasi terlebih dahulu karena berita tersebut tidak berisi kepentingan publik yang bersifat mendesak, apalagi berita tersebut bisa berpotensi merugikan pihak yang diberitakan.
Jika pihak media ingin menerbitkan berita tersebut tetapi belum diberikan klarifikasi oleh pihak yang diberitakan, harusnya pihak media memberikan keterangan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut, penjelasan tersebut bisa dimuat pada akhir dari berita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H