Berumur 20 tahun memang tergolong usia yang muda. Bahkan penulis pun baru saja menginjakkan kaki di umur sedemikian. Akan tetapi semangat untuk menjaga muruah konstitusi tidak boleh pudar begitu saja. Sejarah yang tercatat akan menjadi tolok ukur untuk melangkahkan kaki ke depannya. Disrupsi yang hadir di hadapannya akan menjadi tantangannya. Saran dan kritik masyarakat akan menjadi semen dan pasir yang mengokohkan pendiriannya.
Menjadi sebuah pembuka bagi tulisan ini, penulis ingin mengucapkan selamat memperingati hari lahir Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Semoga ke depannya, MKRI akan terus dan tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga dan menegakkan muruah konstitusi Indonesia. Tak hanya di dalam persidangan, akan tetapi juga di luar itu.
Bisa dibilang dalam 20 tahun ini, MKRI sudah melalui banyak drama dan tentunya sampai menyita perhatian publik. Keberhasilan MKRI untuk menyita perhatian publik menjadikan penulis ingin untuk memaparkan beberapa harapan. Tentunya opini yang penulis bangun adalah dengan "alasan-alasan" dan bukan "asal-asalan". Namun sebelum masuk ke kolom opini, ada baiknya untuk mengulas terlebih dahulu sejarah panjang MKRI itu sendiri.
Kelsen, Parlemen, dan Amandemen
Mahkamah Konstitusi, meskipun merupakan lembaga yang tergolong baru di Indonesia, namun konsep yang serupa sudah ada lebih dulu. Ialah Hans Kelsen yang mencetuskan konsep bahwa pengujian undang-undang terhadap konstitusi atau yang akrab disebut sebagai constitutional review harus dilakukan melalui suatu lembaga di luar badan legislatif. Konsep ini kemudian dituangkan ke dalam sebuah lembaga yang ada di Austria dengan nama Verfassungsgerichtshof yang simpelnya berarti "Mahkamah Konstitusi".Â
Kelsen menggagas konsep mahkamah konstitusi, bukan constitutional review itu sendiri. Hal ini penting untuk diketahui karena di Amerika Serikat, sebelum adanya konsep Kelsen itu, doktrin mengenai pengujian konstitusionalitas itu sudah ada. Bedanya adalah jika Kelsen membutuhkan mahkamah konstitusi untuk memutus hal tersebut, di Amerika Serikat wewenang itu ada pada Supreme Court (Mahkamah Agung) berdasarkan kasus Marbury v. Madison (1803). Bahkan Perancis memiliki model yang berbeda yakni melalui Conseil Constitutionnel yang diadakan melalui Konstitusi Perancis 4 Oktober 1958.
Cukup sudah kita membahas sejarah konsep mahkamah konstitusi secara umum. Lalu bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Secara historis, Mahkamah Konstitusi tidak dilahirkan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Undang-Undang Dasar pada awalnya hanya mengatur bahwa Kekuasaan Kehakiman dijalankan oleh "Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman." Moh. Yamin suatu saat pernah mengusulkan bahwa pengujian undang-undang dilimpahkan kepada Balai Agung, akan tetapi pendapat itu disanggah oleh Soepomo.Â
Ketiadaan mahkamah konstitusi itu berlanjut hingga ke tahun 2000. Melalui Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, MPR memiliki wewenang  untuk melakukan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang. Konsep yang semula seharusnya dimiliki oleh kekuasaan kehakiman justru dijalankan oleh suatu parlemen. Jauh berbeda dengan apa yang digagas oleh Hans Kelsen.Â
Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada 9 November 2001, UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen yang ketiga. Baru pada saat itulah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (secara konstitusional) lahir di Indonesia. Secara konstitusional artinya bahwa MKRI belum sepenuhnya terbentuk dan baru sekadar termaktub pada UUD 1945. MKRI sendiri terbentuk pada tanggal 13 Agustus 2003 melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Perjalanan panjang menuruti konsep Kelsen itu akhirnya berhasil melalui amandemen ketiga UUD 1945.Â
Das Sollen, Das Sein
Sebelum menginjak pada bagian berikutnya, pembaca yang budiman akan penulis ajak untuk memahami konsep sesuai sub-judul kali ini yakni das sollen dan das sein. Secara sederhana, das sollen artinya adalah "apa yang seharusnya terjadi" dan das sein berarti "apa yang terjadi". Simpelnya, pasti kita semua pernah mengharapkan sesuatu. Harapan itu dapat dipersamakan dengan das sollen. Sedangkan apa yang ada sekarang disebut sebagai das sein. Das sein dapat sejalan dengan das sollen maupun tidak.Â
MKRI sendiri dilahirkan bersama dengan beberapa wewenang yakni melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, terdapat kewajiban MKRI untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden. Jika kita kaitkan wewenang tersebut dengan konsep das sollen, maka tentu kita perlu menilik kenyataan MKRI sekarang atau das sein melalui catatan perjalanannya.
Track Record Mahkamah Konstitusi
 Di antara isu-isu yang ingin penulis angkat adalah sengketa hasil pemilu. "Lo, bukannya sudah jelas bahwa MKRI berwenang untuk menangani hal tersebut?" Benar! Tetapi apakah pilkada termasuk dalam pemilu yang ada di UUD 1945? Bahkan dosen penulis pun berpendapat bahwa hal tersebut berbeda--terima kasih Pak Dr. Syaiful Aris. Singkatnya beliau berpendapat bahwa pemilu dan pilkada merupakan dua rezim yang berbeda dan menekankan pada urgensi pembentukan lembaga khusus penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Lalu bagaimana dengan sikap MKRI sendiri? Walaupun pada mulanya Majelis Hakim memiliki putusan yang berbeda-beda, namun hal tersebut bermuara pada putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menjadi "jalan buntu" bagi gagasan pembentukan lembaga khusus di atas. Kewenangan tersebut akhirnya tetap pada Mahkamah Konstitusi dan pembentukan lembaga khusus tersebut dinilai inkonstitusional.
Penulis yang bahkan belum lulus Sarjana Hukum tidak dapat berkomentar banyak. Akan tetapi sejauh pemahaman penulis, MKRI sudah berada pada jalan yang tepat. Lembaga khusus di atas itu, bagaimanapun juga, akan menemui jalan buntu karena memang MK berwenang memutus di tingkat pertama dan terakhir. Jika pembaca pernah melayangkan rayuan "kaulah yang pertama dan yang terakhir", apakah akan ada pasangan selain dirinya semata?Â
Namun jalan buntu tersebut sebenarnya masih bisa dibenahi dengan cara yang lain. Penulis setuju dengan pendapat Bagir Manan bahwa apabila memang ingin terdapat lembaga khusus, adakan saja amandemen kelima UUD 1945. Toh hal tersebut juga tidak bertentangan dengan konstitusi kita. Daripada semakin banyak UU yang harus dilayangkan ke MK untuk diuji, ada baiknya parlemen mengusulkan untuk mengamandemen konstitusi kita.
Selain itu, putusan yang penulis anggap sebagai salah satu bukti bahwa Mahkamah Konstitusi tetap, dan akan terus tetap menjadi penegak muruah konstitusi adalah pada saat UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Penulis tidak mempermasalahkan substansi dari UU tersebut. Justru apresiasi besar untuk MK karena mendorong pemerintah agar memasukkan teknik penyusunan undang-undang secara omnibus. Terbukti bahwa pasca putusan itu, maka teknik omnibus disisipkan ke dalam peraturan perundang-undangan (melalui UU 13/2022). Andaikata MK bersikap acuh tak acuh, justru akan memperparah kerancuan dalam sistematika perancangan perundang-undangan.Â
Dalam 20 tahun itu pula, Mahkamah Konstitusi telah melewati berbagai tantangan yang harus dihadapi dengan berani. Maka mungkin ada beberapa harapan yang akan penulis sampaikan. Harapan ini nantinya tidak hanya terkait dengan kaidah hukum, namun juga bagaimana tindak tanduknya dalam menyongsong pribadi Indonesia yang cerdas dalam hukum.Â
Harapan Ke Depannya
Tidak banyak yang dapat penulis sampaikan dalam bagian terakhir ini. Beberapa harapan yang penulis ingin sampaikan adalah terangkum dalam kalimat "Jadilah Mahkamah Konstitusi yang Dinamis." Mengapa dinamis? Mahkamah Konstitusi dituntut untuk terus berinovasi dalam menemukan kaidah hukum baru. Penulis mempelajari betul bagaimana dari putusan yang hanya konstitusional atau tidak, sampai ditambahkan kata 'bersyarat' di belakangnya. Itu adalah salah satu contoh kedinamisan MKRI dalam menyongsong kepastian hukum di Indonesia. Bahkan mungkin ke depannya, MKRI juga akan diberi wewenang untuk melakukan tak hanya constitutional review tapi juga preview. Daripada banyak Undang-Undang yang harus diuji, mengapa tidak sedari awal dicocokkan dengan konstitusi?
Kedinamisan itu juga tidak terbatas pada penemuan kaidah hukum baru. Bisa jadi Mahkamah Konstitusi akan menerpakan konsep e-court membangun gedung di tiap Ibu Kota Provinsi agar proses persidangan yang dilakukan secara daring itu akan lebih mudah dan dapat memangkas banyak biaya yang harus dikeluarkan. Mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi juga harus berperan dalam menyongsong era digitalisasi ini.Â
Harapan lain adalah Mahkamah Konstitusi akan terus mencerdaskan bangsa dengan berbagai kegiatan yang diusungnya. Sosialisasi maupun kegiatan aktif lainnya akan sangat membantu anak-anak bangsa agar lebih melek terhadap konstitusi dan hak-hak yang mereka miliki sejak dini. Masih banyak dari masyarakat kita yang belum mengenal UUD 1945 secara benar. Inilah tugas MKRI untuk benar-benar menanamkan nilai-nilai konstitusi ke dalam sanubari generasi penerus bangsa.
Akhir kata, apakah tidak boleh untuk melihat ke belakang sejenak? Apalah yang menghentikan seseorang untuk memberi catatan? Dan siapa yang akan melarang seseorang untuk berharap? Kuatkanlah kaki-kaki untuk melangkah lebih pasti, dan jangan terjebak dalam romansa masa lalu demi tujuan bangsa yang dinanti. Ada harapan besar bagi penulis supaya MKRI tetap tegak berdiri, menjadi Sang Penegak Muruah Konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H