Salah satu contoh mencolok adalah harga vaksin COVID-19 yang bervariasi di pasar, meskipun sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan produsen. Harga yang tidak terkontrol ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana proses kebijakan dipengaruhi oleh lobi industri farmasi. Praktik semacam ini berisiko mengorbankan kepentingan publik, mengingat akses terhadap obat dan vaksin yang terjangkau adalah salah satu hak dasar masyarakat, terutama di masa krisis kesehatan global.
Penyebab Policy Capture
Beberapa faktor utama yang memungkinkan terjadinya policy capture diantaranya:
- Ketergantungan Finansial Partai Politik
Partai politik sering kali bergantung pada dana dari donatur besar, baik individu maupun perusahaan. Ketergantungan ini menciptakan hubungan timbal balik di mana donatur merasa memiliki hak untuk memengaruhi kebijakan yang dihasilkan oleh partai atau pejabat yang didukungnya. Praktik ini membuka peluang terjadinya policy capture, di mana kebijakan yang seharusnya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat justru lebih berpihak pada kepentingan finansial donatur.
Hubungan semacam ini berisiko mengarah pada kebijakan yang tidak adil atau tidak berpihak pada kepentingan rakyat, terutama dalam hal distribusi sumber daya dan perlindungan sektor-sektor ekonomi yang lebih rentan. Sebagai contoh, donasi dari perusahaan besar dapat memengaruhi kebijakan perpajakan, regulasi lingkungan, atau kebijakan ketenagakerjaan, yang pada akhirnya menguntungkan segelintir pihak, sementara masyarakat luas atau sektor-sektor kecil mungkin justru dirugikan.
- Kelemahan Sistem Pengawasan
Pengawasan oleh lembaga-lembaga non pemerintah sering kali tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk memeriksa praktik policy capture dengan efektif. Ketidaktransparanan dalam proses legislasi juga semakin memperburuk situasi ini, menciptakan ruang bagi kelompok berkepentingan untuk memanipulasi kebijakan demi keuntungan mereka sendiri. Selain itu, kendala dalam hal sumber daya, baik manusia maupun teknis, serta tekanan politik yang sering dihadapi oleh lembaga-lembaga tersebut, memperlemah upaya pengawasan terhadap praktik-praktik ini.
Kurangnya transparansi dalam proses pembuatan kebijakan sering kali menyulitkan masyarakat atau pihak lain untuk mengidentifikasi adanya potensi konflik kepentingan atau pengaruh luar dalam pembuatan kebijakan. Hal ini semakin memperburuk kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pengawas, serta mengurangi efektivitas upaya pemberantasan korupsi dan praktik kebijakan yang tidak adil. Jika sistem pengawasan ini tidak diperkuat, maka kebijakan yang dihasilkan akan terus didominasi oleh kepentingan segelintir pihak yang memiliki kekuatan, sementara kebutuhan masyarakat luas semakin terabaikan.
- Kurangnya Partisipasi Publik
Minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan membuat kebijakan cenderung menjadi arena eksklusif bagi kelompok elit. Meskipun sudah ada undang-undang keterbukaan informasi publik, akses masyarakat terhadap proses legislasi dan perumusan kebijakan sering kali terbatas, baik karena kendala teknis maupun birokratis. Kurangnya saluran yang efektif bagi publik untuk memberikan masukan atau mengkritisi kebijakan menciptakan ruang kosong yang dimanfaatkan oleh kelompok berkepentingan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan sesuai dengan kepentingan mereka.
Selain itu, rendahnya kesadaran politik dan pendidikan publik yang terbatas mengenai proses legislasi juga menjadi penghalang bagi masyarakat untuk terlibat aktif. Hal ini semakin memperburuk ketidaksetaraan dalam representasi kepentingan, di mana kebijakan yang dihasilkan lebih menguntungkan segelintir pihak yang memiliki akses dan pengaruh. Dengan minimnya partisipasi publik, policy capture menjadi semakin sulit untuk diidentifikasi dan dilawan, sehingga kebijakan yang dihasilkan seringkali tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat luas.
Dampak Policy Capture terhadap Pembangunan
Pertama, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak efisien karena tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok tertentu seringkali tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan atau dampak jangka panjang bagi masyarakat luas. Sebagai contoh, kebijakan yang mempermudah izin usaha bagi perusahaan besar tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan atau kesejahteraan pekerja dapat merugikan sektor-sektor lain yang lebih rentan, seperti UMKM atau komunitas lokal.