Kebijakan publik seharusnya berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat, tapi pada kenyataannya sering kali justru menunjukkan hal yang berbeda. Dalam banyak kasus, kebijakan justru dikuasai oleh kepentingan kelompok tertentu, baik itu perusahaan besar, elit politik, maupun aktor-aktor lain yang memiliki kekuatan finansial atau jaringan strategis. Fenomena ini dikenal sebagai policy capture, yaitu situasi di mana proses pengambilan kebijakan didominasi oleh kelompok berkepentingan sehingga hasilnya lebih menguntungkan mereka daripada masyarakat umum secara luas.
Konsep Policy Capture
Secara teoretis, policy capture dapat dijelaskan melalui pendekatan teori kepentingan kelompok (interest group theory). Mancur Olson, dalam karyanya The Logic of Collective Action (1965), menjelaskan bahwa kelompok kecil dengan kepentingan spesifik sering kali lebih efektif dalam mengorganisasi sumber daya mereka untuk memengaruhi kebijakan dibandingkan masyarakat umum yang memiliki kepentingan lebih luas dan heterogen. Akibatnya, kebijakan publik sering kali mencerminkan kepentingan kelompok elit ini daripada kebutuhan mayoritas rakyat.
Fenomena ini semakin diperkuat oleh kerangka institusional yang lemah, ketergantungan partai politik pada dana kampanye, dan kurangnya transparansi dalam proses legislasi. Selain itu, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan kebijakan membuka celah yang dimanfaatkan oleh kelompok berkepentingan untuk memengaruhi keputusan-keputusan strategis yang seharusnya untuk kesejahteraan umum. Dalam konteks ini, policy capture tidak hanya mengurangi efektivitas kebijakan, tetapi juga dapat merugikan sektor-sektor yang lebih membutuhkan perhatian pemerintah.
Contoh Policy Capture di Indonesia
- Sektor Energi dan Sumber Daya Alam
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, namun pengelolaannya sering menjadi contoh nyata dari fenomena policy capture. Sebagai ilustrasi, laporan dari Publish What You Pay Indonesia (2020) mengungkap bahwa perusahaan tambang besar kerap memengaruhi kebijakan terkait izin eksplorasi dan eksploitasinya. Contoh yang paling mencolok adalah kebijakan relaksasi ekspor bijih nikel pada 2017, yang sempat menimbulkan polemik karena dinilai lebih menguntungkan perusahaan tertentu daripada menjaga keberlanjutan sumber daya alam nasional. Kebijakan ini mendapat kritik keras dari berbagai kalangan, karena dianggap lebih memperhatikan kepentingan jangka pendek industri, sementara berpotensi merugikan masa depan sektor pertambangan dan industri hilir yang lebih luas.
Penyimpangan dalam kebijakan ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kelompok berkepentingan dalam merumuskan kebijakan yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat banyak. Kebijakan yang lebih berpihak pada industri besar ini tidak hanya dapat menambah ketimpangan ekonomi, tetapi juga mengancam keberlanjutan sumber daya alam Indonesia, yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Sebagai hasilnya, peran pemerintah dalam melindungi kepentingan nasional dan lingkungan semakin tergerus oleh pengaruh segelintir aktor yang memiliki kekuatan finansial dan lobi yang kuat.
- Kebijakan Insentif Pajak
Pada sektor perpajakan, praktik policy capture terlihat jelas dalam pemberian insentif pajak yang sering kali tidak disertai analisis mendalam mengenai dampak ekonominya. Sebuah studi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2021 menunjukkan bahwa sejumlah insentif pajak diberikan kepada perusahaan besar dengan akses lobi yang kuat, meskipun kontribusinya terhadap perekonomian tidak signifikan. Insentif pajak yang diberikan tanpa kajian yang komprehensif ini justru lebih menguntungkan kelompok elit ekonomi daripada meningkatkan kinerja sektor riil secara keseluruhan.
Di sisi lain, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang sejatinya menjadi tulang punggung perekonomian nasional, sering kali kesulitan mendapatkan dukungan fiskal yang memadai. Praktik ini tidak hanya memperburuk ketimpangan dalam dunia usaha, tetapi juga menghambat upaya pemerintah untuk menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Tanpa adanya perhatian serius terhadap sektor UMKM, yang sebagian besar membutuhkan insentif dan dukungan finansial, kebijakan perpajakan yang pro-korporasi besar ini berpotensi merugikan perekonomian domestik dalam jangka panjang.
- Regulasi dalam Sektor Kesehatan
Contoh lain dari fenomena policy capture dapat ditemukan dalam pengaruh perusahaan farmasi terhadap penentuan harga obat dan regulasi distribusi alat kesehatan. Pandemi COVID-19 menjadi momen di mana praktik policy capture di sektor ini semakin tampak. Penentuan harga obat dan vaksin, misalnya, sering kali tidak transparan, sehingga menimbulkan dugaan adanya tekanan dari kelompok tertentu untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka. Beberapa kebijakan yang terkait dengan distribusi vaksin dan pengadaan alat kesehatan juga terkesan lebih menguntungkan perusahaan farmasi besar daripada memastikan akses yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.